Chapter 15 - Dewi Astraea

"Apa kabar, Jean? Lama kita tak berjumpa. Oh, aku sangat merindukanmu."

Rasanya bagaikan mimpi, tetapi Jean menyaksikannya dengan jelas. Dari pergumulan api kosmik yang berkobar dari dalam tubuhnya akibat kemarahan sekaligus rasa takut luar biasa, bisikan-bisikan serta kutukan orang-orang yang menyebutnya seorang monster.

Dari serpihan debu arang puluhan tubuh teman-temannya di Essex yang tercabik-cabik, mata mereka terus mengutuk Jean bahkan di detik-detik terakhir ketika ledakan atom transparan merobek kulit mereka.

Lantas sosok itu muncul, perawakannya sama sekali tak dikenali oleh Jean tetapi dia yakin tengah menatap seorang wanita, bukan sesosok mengerikan di mimpi buruk sebelumnya yang menyerangnya setiap malam.

Ini lain…

"Si...apa?" tanya Jean terkesima saking indahnya serta jelita wajah wanita itu.

Tubuh wanita itu memancarkan sinar keemasan dari ujung kepala sampai ke kakinya. Tinggi badannya tak normal sebab Jean melihat kaki wanita itu tampak melayang di atas cahaya serta butiran-butiran debu bintang.

Dia tersenyum lembut, ketika garis bibir merahnya terkembang warna-warni kerlip bintang menyelimutinya. Dia langsung menyambut Jean ke dalam pelukan hangatnya. Hamburan pelukan itu sangat erat, seperti beban kerinduan berpuluh tahun lamanya yang akhirnya tumpah ruah, tak terbendung lagi.

"Aku telah menunggumu puluhan tahun lamanya, Jean."

Wanita itu terasa sangat nyata, ini bukanlah mimpi. Telinga Jean mendengar jelas hentakan jantung mengalun lembut dari dalam dada wanita itu. Dekapan ini merupakan satu-satunya pelukan paling nyaman dan hangat melebihi rengkuhan keluarganya di London. Entah mengapa, Jean sangat menyukainya.

Merasa sangat aman di dekat wanita misterius ini.

Tanpa diduga entah dari mana datangnya gelombang keletihan luar biasa ini, panasnya air mata langsung menggenang di pelupuk matanya. Pipi Jean berlinang butiran-butiran kristal bening. Kepedihannya benar-benar tumpah.

[ "Aku menangis?" ]

"Tidak apa, menangislah, Jean. Jika itu membuatmu merasa lebih baik. Jean… sayangku. Maafkan aku, dengan segala kesulitan yang kau alami. Pasti semuanya menyakitkan untukmu."

Suara riangnya menggema, seperti gelas pecah dari kejauhan atau suara yang tampaknya dari bintang jatuh? Begitulah suara wanita ini. Penuh kegembiraan, aura positif terpancar menggeletar hingga ke pembuluh nadi Jean dan satu-satunya yang membuat Jean tenang.

Sentuhan sapuan tangannya meraba lembut dan terasa sejuk di kulit Jean, kala mengelus surainya dan aroma paling manis dari vanilla.

Jean melepas pelukannya, wanita itu menyeka lembut tiap butiran air mata bening yang jauh membanjiri pipi.

"Anda siapa?"

Wanita itu menghela napas panjang tapi tak memupus senyumnya. Wajahnya yang berkilauan itu memperlihatkan kesedihan yang tak terungkap. Sorotan mata indahnya memuja Jean, penuh kasih sayang diringkus cinta mendalam – yang tidak pernah Jean dapatkan dari dunia manusia atau sejauh mana pun dia pergi.

"Jangan takut, aku ingin bicara denganmu. Kau tidak tahu aku sangat menunggu, waktu-waktu ini juga kedatanganmu." katanya mengecup telapak tangan Jean lembut.

"Anda sangat cantik." Jean memupus air matanya dengan punggung tangan. Megang kesadaran penuh meskipun ia tidak tahu ini ilusi, mimpi atau realita. Jean tak mampu membedakannya.

Jean mengesang pelan, membiarkan wanita anggun itu menggenggam kedua jemarinya. Keberadaan dia benar-benar menyejukkan tubuh Jean.

Wanita itu menarik jemari Jean dan meletakkan tangan mungil Jean di pipinya yang bercahaya, untuk menyesap kehangatan serta aromanya yang menyerupai sabun lemon, sentuhan hangat Jean dengan mata terpejam, beliau tampak semringah dan bahagia.

"Kau lebih cantik daripada aku, Jean. Astraea − itu namaku."

"Salam kenal, nyonya. Aku Jean Venthallow Argent." kata Jean polos.

Tawa Astraea malah terpecah, menggema riang bertabur debu bintang yang meletup warna-warni menakjubkan di sekitarnya. "Kau memang persis seperti dia."

Dahi Jean mengerut, "Dia? Siapa? Maksudnya?"

Astraea mengelus puncak kepala Jean lembut, "Bukan apa-apa. Suatu saat nanti, kau akan bertemu dengannya. Dia tidaklah jauh, aku yakin dia sangat memperhatikan dan mengawasimu dari jauh. Ketahuilah, Jean. Kami melakukan ini untukmu. Memang sulit pada awalnya, tapi aku percaya kau bisa melakukannya dan melalui semua itu."

"Aku kurang paham apa yang Anda bicarakan, nyonya."

"Jean, sayang. Jangan biarkan kekuatan luar biasa ini mengendalikanmu. Aku percaya, kau bisa lebih baik dari pada ini. Jangan menyerah, pada awalnya segalanya memang terasa sulit tetapi jika kau yakin pada dirimu sendiri, maka tak ada yang perlu kau takutkan."

Jean terpesona, entah mengapa sikapnya berubah khidmat. Astraea merupakan sosok terhormat. Pancaran berwibawa, arif, ada aura lain yang begitu besar menguar dari tubuhnya. Di mata Jean – beliau tampak seperti seorang Dewi dari dunia lain.

Langit-langit di kepala Jean berubah, kala tangan Astraea terangkat. Sebuah gambaran semacam layar proyeksi yang terbuat dari cahaya kuning berkilauan, Jean sulit menggambarkan keindahannya oleh kata-kata.

"Dunia ini telah rapuh, kejahatan dan kegelapan merajalela di mana-mana. Mulai merasuki pikiran-pikiran manusia serta mengancam keseimbangannya. Manusia tak keberatan menempuh jalan kejahatan mengerikan itu. Mereka berperang, sebabkan banyak kelaparan, penderitaan berkepanjangan, pembunuhan di mana-mana. Mereka tak tahu sedang mengancam nyawa mereka sendiri."

Jean melihat kehancuran sebuah dunia, awalnya gambaran-gambaran pemandangan indah. Lembah-lembah kehijauan, penuh banjaran pohon-pohon subur, tanaman-tanaman, fauna yang tampak damai dipandang, kemudian sesuatu terjadi. Jean menyaksikan kedatangan makhluk lain muncul dari kegelapan, parit-parit bumi terdalam, segalanya terbakar hebat. Daratan meranggas, ledakan dahsyat terjadi, gedung-gedung pencakar langit melebur jadi arang, jiwa-jiwa manusia menderita.

Dan Jean melihat wanita terkutuk berambut silver itu hadir di sana, dia yang terus menghantui tidurnya, bersama pasukan-pasukan mengerikannya. Tubuhnya diselimuti api merah. Kuku-kuku hitam legamnya memanjang, sebuah tanduk besar tumbuh di atas kepalanya, ekor hitam berujung runcing dan sepasang sayap hitam mengembang di balik punggungnya.

"Waspadalah terhadap pasukan Dark Legion, mereka punya lima jenderal terkuat. Menguasai kekuatan manipulatif dan elemental yang tak mudah dikalahkan – mereka sangat melindungi ratu terkutuk itu."

"Dia selalu hadir dalam mimpi burukku, menghantui dan menguasai pikiranku. Entah apa hubungannya denganku? Mengapa makhluk mengerikan itu terus menggangguku, Dewi?"

Senyum kerlap-kerlip Astraea terkembang, meski sebenarnya bukan sebutan itu yang diharapkannya. Tetapi cepat atau lambat, Jean akan mengetahuinya nanti. Entah apakah nanti ada kesempatan lainnya untuk bertemu lagi dengan Jean.

Astraea sangat berharap, bisa berjumpa lagi dengan Jean – di keadaan yang berbeda tentunya.

"Mannon Blackwood, dia menginginkan jiwa dan seluruh kekuatanmu, Jean. Kau harus berhati-hati, jangan sampai tubuh atau kekuatanmu jatuh ke tangan yang salah. Bahkan setetes darahmu sekali pun. Jangan sampai mereka mendapatkannya." Astraea mengelus puncak kepala Jean lembut. Sorotan matanya berkilat-kilat memohon bahwa peringatannya bukanlah main-main.

Dahi Jean mengerut, kepalanya berdenyut nyeri dan belum siap mencerna seluruhnya, "Tapi kenapa aku?"

Astraea menghela napas, wajah indahnya tertekuk murung. "Itu karena, 'Elgrimlock' yang ada di dalam tubuhmu. Mannon Blackwood mengincarnya, untuk menjadikannya kekal abadi dan tak terkalahkan. Dia berniat ingin menghancurkan dunia manusia juga netherworld untuk membangun kerajaan juga nerakanya sendiri."

Jean tak pernah menyangka menelan saliva serasa menelan bongkahan batu sekarang.

"Elgrimlock?" Jean masih kurang paham.

"Itu identitas kekuatanmu, kau memiliki kekuatan sekelas Divinity, Jean. Kau jelas menguasai lebih dari 27grade."

Jean melongo. Tertawa getir. "Maksudmu? Aku? Ba…gaimana bi…sa?"

"Waktuku sempit. Yang jelas, mereka sangat berbahaya, kau bisa bayangkan dunia ini akan hancur, tidak akan ada yang tersisa dari manusia, jiwa-jiwa tak bersalah dipertaruhkan. Jika kau gagal menghentikan mereka. Jean, masa depan dua dunia itu ada di tanganmu." Astraea menangkup kedua pipi Jean yang menggembung akibat terlampau berpikir keras.

Kepala Jean menggeleng-geleng kuat, masih tertawa getir. "Anda pasti salah, aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang gadis beranjak dewasa yang kehilangan rumah juga keluarga karena bakat berlebihan ini."

"Jean, tidak ada bakat berlebihan. Itu namanya takdir yang tak terelakkan. Alasan terbesar mengapa kau dilahirkan dengan kekuatan luar biasa ini. Karena kau mampu melakukannya. Jangan biarkan dia kendalikan dirimu."

"Bagaimana caranya? Aku bahkan enggak paham apa yang terjadi kepadaku. Yang kutahu aku marah − itu selalu berakhir buruk dan mengerikan. Aku ini pembunuh, Dewi Astraea. Aku mencabik-cabik tubuh semua orang di Essex, tanpa disengaja, tanpa kusadari. Apa anda tahu apa yang kuhadapi di sana?"

Mata Astraea berkaca. Segaris bibirnya dibebani oleh kepedihan.

"Anda tahu yang aku hadapi? Manusia menolak keberadaanku, keluargaku bahkan tega membuangku juga ingin membunuhku. Mereka menyebutku seorang monster, 'abomination', manusia itu merundungku dengan tidak manusiawi."

Sekali lagi Jean berlinang air mata, bibirnya bergetar. Dadanya sesak kala ingat tiap detil hari-harinya yang dilalui bagai menapaki bara api di neraka. Ketika mereka menertawakan penderitaannya bersama-sama, menginjak-injak harga dirinya dan menghancurkan psikisnya dengan tindakan tak manusiawi yang Jean benci membayangkannya.

"Aku bersumpah, Dewi. Aku enggak akan meminta maaf pada mereka. Aku enggak akan meminta maaf pada siapa pun. Tapi anda tahu apa yang membuatku muak? Rasa bersalah yang terus menghantuiku ini. Aku kebingungan cara mengatasinya, aku membenci manusia melebihi apapun, sejak ibuku meletuskan peluru-peluru itu. Mereka mengutukku. Menginginkanku mati. Aku hanya ingin dipahami. Aku enggak ingin melukai siapa pun. Mereka tetap membuangku, meninggalkanku. Kalau saja ibuku enggak meleset menembak senapan gentelnya, aku pasti mati." suaranya bergetar seretak kaca, terdapat duka mentah dalam intonasinya.

Astraea mengelus puncak kepala Jean pelan. Mendengarkan semua keluh kesahnya. Menyapu air mata yang banjir di pipi gadis itu. Tak ada yang lebih menyakitkan baginya, melihat Jean berlinang air mata dan terluka oleh keadaan.

"Sekarang anda memintaku untuk selamatkan mereka? Setelah apa yang mereka perbuat kepadaku? Kalau aku boleh memilih biar saja manusia itu binasa. Anda menyebutnya sebagai takdir tak terelakkan. Maka biarlah itu jadi takdir mereka."

Sekarang, Astraea mengecup dahi Jean dan memeluknya erat, tangannya mengelus punggung Jean penuh hangat, dia tersenyum manis. Debu bintang di wajahnya gemerlapan indah.

"Kudengar kau punya cita-cita mulia. Ingin membuktikan pada manusia kalau mereka salah besar. Bahwa kau tak seperti yang mereka sangka."

Jean sontak melepas pelukan itu, dahinya mengerut dalam. "Itu – bagaimana anda tahu?"

"Tentu aku tahu, sayang. Jean Venthallow Argent berambut seterang senja yang ada di hadapanku saat ini adalah sesosok gadis berhati malaikat, tangguh, pantang menyerah, tulus, baik hati. Kau dicintai semua orang, Jean. Termasuk aku. Aku sangat menyayangi, mencintaimu lebih dari apa pun. Rumah dan keluargamu ada di akademi dan akan selalu begitu selamanya."

Kalimat Dewi Astraea barusan membuat batin Jean menghangat, terselip perasaan berbunga diringkus kebahagiaan tiada tara yang menjalar ke seluruh pembuluh nadinya. Ini pertama kali bagi Jean, mendengar seseorang begitu memercayai, menghargai dan melihat keberadaannya.

Dewi Astraea menunjukkan kasih sayang dan cinta luar biasa untuknya, meski Jean masih belum memahami garis besarnya, siapa Dewi Astraea ini sebenarnya? Apa hubungannya dengan Jean? Mengapa dia di sini menemuinya dan begitu peduli sedemikian rupa terhadapnya?

Di kepala Jean terdapat puzzle besar membingungkan di mana beberapa bagiannya menghilang. Banyak pertanyaan membelenggu pikiran tetapi Jean belum sempat mengajukan beragam pertanyaan ini.

"Kau punya cita-cita mulia, tetaplah berpegang pada itu. Manusia makhluk primitif, mereka cenderung melakukan kesalahan tetapi dari kesalahan itu mereka pun belajar menjadi pribadi lebih baik, semua pantas mendapat kesempatan kedua, Jean. Termasuk kita. Mereka sama seperti kita. Tidak semua yang berbeda itu jahat, tidak semua yang sama itu baik. Di luar sana masih ada manusia berhati mulia. Jangan sampai mereka ikut dihukum karena kesalahan dari 'makhluk sesama'. Sekarang mereka mengutukmu, suatu saat nanti buat mereka menyadari bahwa itu adalah kesalahan besar."

Jean menghela napas, frustrasi. "Bagaimana caranya? Apa aku bisa melakukannya? Apa aku akan berhasil mengendalikan kekuatan mengerikan ini? Kemarahanku membunuh banyak orang, Dewi. Sekali pembunuh tetaplah pembunuh. Aku tahu penyesalanku sekarang enggak ada gunanya. Enggak akan kembalikan mereka yang kucabik-cabik. Ini sangat menyebalkan. Aku belum mampu atasi kegilaan ini!"

"Jean, pelan-pelan. Kau tidak perlu cemaskan apa pun. Aku percaya padamu, kau mampu melakukannya. Kau pasti bisa kendalikan kekuatan dahsyat ini. Sebab dulu, aku juga butuh waktu menjinakkannya." Astraea tertawa kecil lagi.

Potongan puzzle besar baru muncul di kepala Jean, "Aku enggak paham, sebenarnya siapa anda? Mengapa anda menemuiku? Enggak mungkin, kalau bukan sesuatu yang penting. Lagi pula, kenapa aku mirip denganmu?"

Cahaya kemilauan kemudian terpancar kuat dari tubuh Astraea, begitu menyilaukan dan hangat.

"Ini saatnya aku pergi. Kuharap kita bisa bertemu lagi, Jean. Saat itu terjadi, kuyakin situasimu akan jauh lebih baik."

"Tunggu, anda belum menjawab pertanyaanku."

Astraea tersenyum manis, perlahan-lahan seluruh tubuhnya memudar dan transparan. Sekali lagi, dia memeluk Jean erat dalam dekapannya.

"Jangan letih untuk tetap belajar, professor di akademi Lucelence pasti bisa membimbingmu, mereka adalah orang-orang pilihan, kompeten dan terbaik. Insiden Essex, memang sulit dilupakan tetapi itulah beban yang harus ditanggung. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya. Jangan melawannya, Jean. Tetapi berdamailah. Terimalah segala sesuatu yang terjadi dengan kebesaran hati. Hanya itu cara menghadapinya, sayang. Ingat, aku percaya padamu, Jean. Kau satu-satunya harapanku."

"Mengapa kau menggantungkannya kepadaku? Aku benar-benar enggak paham semua ini, Dewi?!"

Butiran-butiran debu itu benar-benar memudar kali ini, nyaris sepenuhnya lenyap. Tetapi sebelum cahaya keemasan indah itu pupus, Dewi Astraea tampak mengatakan sesuatu. Terdengar seperti gumaman tak jelas. Sayangnya suara wanita berwujud indah itu keburu memudar dan Jean belum sempat mendengarnya.

Lantas, mendadak segalanya gelap. Kesadaran Jean dikunci rapat oleh kebingungan dan gulita yang sulit dipahami.

.

.