Chapter 14 - Pertengkaran

"Aku bertanya padamu. Apa itu benar, Rhett?!"

Azael bertanya sekali lagi, berharap telinganya salah dengar tetapi Jeo mengatakannya dengan lantang tadi dan semua orang mendengarnya dengan jelas termasuk dirinya. Ucapan Hunter yang tadi ditertawakan olehnya mentah-mentah, ternyata malah terbukti.

Dan sekarang, dadanya perih bagai tersayat sembilu. Definisi nyeri tapi tak berdarah. Mungkin seperti ini rasanya. Ini pertama kalinya Azael memikirkan seorang gadis sedemikian rupa.

Sejak bertemu dengan Jean di malam itu, mata biru cemerlangnya seakan menghipnotis, senyum bibir ranum indahnya itu kerap membekas dalam ingatan dan suaranya yang menggemaskan selalu terngiang. Singkat, namun Jean telah tinggal di relung hati Azael.

"Bi…ar kujelaskan dulu, Zael. Aku hanya − "

Rhett kebingungan, air mukanya keruh. Menelan saliva tak pernah sesulit ini seumur hidupnya, dia melirik ke arah Jeo mengharapkan bantuan atau setidaknya pembelaan yang bisa menyelamatkannya sekarang.

[ "Ayolah, Jeo." ] pikir Rhett membatin.

Tapi dengan tampang menyebalkan, Jeo malah tersenyum miring. Kedua tangannya terlipat di dada, santai-santai saja dan sangat menunggu shadowcaster baku hantam satu sama lain. Dilihat dari cahaya matanya, Jeo benar-benar mengharapkan itu.

"Aku hanya menanyakan kabar, Jean. Itu saja. Jangan salah paham, Zael." Rhett berdeham, "Iya 'kan, Jeo?"

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Rhett." Azael menghela napas panjang, "Kau enggak perlu berkilah. Aku bisa membaca tiap detilnya, tentang Jean di pikiranmu."

"Sungguh, Zael. Sebagai teman aku peduli pada Jean dan aku menyayangimu bagai saudara." ujar Rhett tenang.

Azael menatap iris mata teduh Rhett intens, sahabatnya itu terlahir dengan ketenangan dan kebaikan hati luar biasa. Dia hangat, solid, juga penyayang. Ketampanan tak manusiawi bukan satu-satunya kebanggaan seorang Rhett Baker Valentine, selain jenius dan murah hati.

Rhett paling memahami apa pun, dia melihat dunia dengan cara pandang yang berbeda. Semacam rasa syukur yang tiada hentinya atas kehidupan yang ia dapatkan meski keberkahan itu setetes air bening.

Hatinya mulia bak malaikat. Semua itu terpancar dari sinar matanya yang jernih.

"Kalian berdua. Bisa hentikan? Ini rumah sakit. Jangan ribut di sini, sebaiknya selesaikan urusan kalian di luar." kata Jeo mengusir tanpa basa-basi, tangannya menunjuk pintu. "Itu pintu keluarnya."

Azael angkat kaki lebih dulu, "Maaf, Jeo. Terima kasih sudah merawatku. Aku jauh lebih baik sekarang. Sampai jumpa lagi."

"Ya, kalau ada keluhan silakan datang lagi." Jawab Jeo tanpa memandang wajah Azael.

Tiap hentakan langkah kaki Azael bertalu-talu bagai palu godam. Menggema di seluruh penjuru lobi rumah sakit. Napas jengkel mengembus kuat dari hidung bangirnya. Pintu di belakangnya pun terbanting keras.

"Jeo, mengapa kau tak membantuku tadi? Serius kau diam saja?" Rhett mengangkat tangannya.

Jeo mengedikkan bahunya, "Lalu kau mau aku lakukan apa? Memang benar kan? Seantero akademi Lucelence juga tahu. Tentu saja pemimpin shadowcaster pasti langsung tahu. Lagi pula itu urusan kalian, bukan urusanku. Selesaikan saja sendiri."

Rhett berdecak sebal, "Di mana kata-kata itu? Kau bilang kita bagai saudara sedarah?"

"Kapan? Memangnya aku pernah bilang? Pergilah, Rhett. Kau mengganggu pekerjaanku. Kejar Azael sana." Jeo mendengkus, kemudian tertawa kecil.

Tanpa pikir panjang, Rhett menarik diri. Menapaki jejak-jejak Azael sebelum punggung pemimpinnya itu benar-benar lenyap di pintu utama lobi rumah sakit akademi.

"Dasar, bertengkar gara-gara seorang gadis. Yang benar saja, mereka shadowcaster, tulang punggung akademi ini." Jeo berdecak tak habis pikir, fokus melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi. "Ya ampun!"

Jeo terperanjat dari kursinya, matanya melotot garang. Lupakan bagian terpenting. "Bagaimana kalau Principal tahu?! Gawat banget!"

.

.

"Azael, apa kau mendengarku? Tunggu dulu!"

Entah apa yang merasuki Azael, bertindak kasar adalah sesuatu hal paling anti baginya. Tetapi berbeda kali ini, dia telanjur dikuasai angkara murka. Sehingga ia sampai hati menepis tangan Rhett yang berupaya menahan pundaknya lembut.

Rhett sempat mematung dan tercenung cukup lama, mencerna reaksi Azael baru saja sembari menatap lekat-lekat jauh ke dalam manik mata Azael yang terus berpaling. Sebenarnya itu cukup membuatnya syok. Azael belum pernah memperlakukan sesama anggota shadowcaster dengan buruk. Dia dikenal paling pemberani, penyayang dan pelindung ketiga sahabatnya yang lain.

Menyayangi dan mengasihi bagai saudara sedarah melebihi kepada dirinya sendiri.

[ "Di mana sikapnya yang hangat? Di mana sikapnya yang murah hati dan sosok pelindung di antara kami? Sebegitu bencinya 'kah kau terhadapku, Zael? Jean?" ]

"Pergilah, Rhett. Aku sedang enggak ingin diganggu siapa pun?!"

"Mengapa kau begitu marah? Katakan padaku, Zael?"

Azael hendak pergi menggunakan pintu segel teleportasinya tetapi Rhett mencegah segel pintu itu terbongkar sampai tertutup kembali.

"Apa sih yang kau inginkan?!"

Telekinesis Azael keluar tanpa disengaja, Rhett kontan terpental. Melempar jauh tubuhnya setinggi belasan kaki hingga membentur keras di atas aspal jalan lengang wilayah tebing akademi paling belakang. Kepala Rhett berdenyut hebat, sensasi nyeri bercampur rasa panas yang membuat pandangan matanya buram akibat diserbu spektrum putih.

"Please… Zael, aku tahu kau lebih baik daripada ini." Rhett meringis, merasakan cairan kental sepanas air mendidih merembes dari kepala belakangnya.

Rhett menyadari telapak tangannya yang tremor penuh oleh darah segar, ia menatap Azael dengan sorotan mata tak percaya. "Kau enggak pernah melukai sesama saudara shadowcaster, mengapa sekarang−?"

Air muka Azael kian sulit ditebak, pemberengutan di mulutnya yang sempat dalam begitu pula dengan gurat-gurat amarahnya – kini telah lenyap. Napas api angkara murka berubah menjadi sesak bahwa ternyata Azael; seorang pemimpin shadowcaster arif dan bersahaja telah hilang kendali diri. Tak bisa dipungkiri kalau dia merasa sangat bersalah kala menyaksikan darah segar melinang ke tengkuk Rhett.

"Ma…af. Aku bilang pergi, kenapa kau terus mengikutiku?!"

Rhett berlari secepat kilat untuk menerjang, melesak maju dan menjatuhkan Azael ke atas aspal dalam satu serudukan.

Azael belum sempat menghindar, telinganya langsung berdenging kencang, dengan pandangan yang kembali berputar-putar. Sensasi nyeri menusuk ini membuatnya tak berdaya barang sesaat.

"Kenapa kau begitu keras kepala?! Enggak bisa dengarkan dulu penjelasanku?!" Rhett menekan dan mengguncang pundak Azael putus asa.

"Lepaskan aku, Rhett! Enggak ada yang perlu didengarkan. Untuk apa? Aku telah membaca segalanya! Pergi kau! Lepaskan aku!!"

Rhett benar-benar terpaksa membogem mentah rahang tajam Azael tanpa ampun, entah dari mana datangnya pikiran ini. Rhett tak pernah menyerang Azael sebelumnya sebesar apa pun masalahnya. Tetapi dia telanjur putus asa, dan kebingungan apa yang mesti diperbuatnya lagi untuk melunakkan ego pemimpinnya yang sulit diruntuhkan ini.

Azael berguling, lantas Rhett lengser. Baku hantam pun terjadi, sama-sama bergulat dan enggan mengalah.

Rhett dengan keyakinannya dan Azael yang dibakar egonya. Satu pukulan di rahang mengguncang pandangan Azael yang sempat berada di atas angin. Badannya oleng, terjengkang ke belakang di tambah tendangan kaki menghantam dadanya bagai dibebat oleh palu godam.

"Uhuk! Uhuk!"

Serangan batuk hebat membuat Azael melemah, belum sempat antisipasi serangan lanjutan. Rhett bahkan enggan menghentikan rampakannya.

"Maaf, Zael. Tapi kau harus mengerti, aku melakukan ini agar kau paham dan mau mendengarkanku!"

Tak terima begitu saja, tangan Rhett terangkat untuk lakukan serangan lain. Dia menyerang pemimpinnya untuk meredam sifat keras kepalanya. Ini benar-benar membuat Rhett frustrasi dan tak punya opsi lain. Azael terperangkap oleh kekuatan Rhett yang berkali-kali menghantamkan tubuhnya ke mana pun arah tangannya bergerak.

[ Bruuuuughhhhh! Bruaaaaaaaaaaak! Braaaaaaaaaak! ]

Azael terhempas berkali-kali, ke aspal, ke dinding beton dan berakhir lemas di bawah batang pohon raksasa oak merah berusia ratusan tahun. Azael menggeram dan menggeliat nyeri, merasakan sekujur tubuhnya seakan remuk, egonya pun runtuh seketika. Dunianya serasa oleng tak terkendali, kepalanya berputar-putar kuat hingga sempat linglung terdistorsi di tempatnya.

"Yeah – aku memang pantas mendapatkannya. Maafkan aku, Rhett…" ucap Azael susah payah bersandar di celah batang pohon oak merah, dia mengesang. Pelipisnya terkoyak dan berlinang darah kental.

Mereka sama-sama lelah, Azael mengatur napasnya. Membiarkan darah segar melinang sampai ke dagunya.

Dia ke sini berniat untuk tenangkan pikiran, Azael sering ke taman belakang akademi sebab pemandangannya luar biasa. Dia ingin menjauh sejenak dari apa pun, dari siapa pun.

Semenjak keluar dari pintu rumah sakit akademi, Rhett terus membayangi langkah kakinya. Helaan napas berat kembali terdengar kuat, air muka Azael kali ini keruh tak terbaca. Sorotan mata biru cemerlangnya kelihatan tengah menelan kekecewaan mendalam.

Tapi berada di tempat favoritnya ini, Azael tetap tak menyia-nyiakannya. Semilir angin sejuk menerpa wajahnya, udara segar bercampur aroma hutan yang teramat digilainya. Pemandangan sedap memanjakan mata, kala ia terpejam pun bayangan Jean saat dia tertawa terlintas – cukup menghangatkan batinnya.

"Kumohon, Zael. Percayalah padaku." pinta Rhett memohon dengan segenap jiwa dan raganya. Intonasinya tanpa sadar bergetar. Dia sama lelahnya, darahnya sendiri belum kering, masih merembes ke tengkuknya.

Azael meneleng kepala. Punggungnya bersandar di salah satu pilar raksasa. Merasakan nyeri hebat di dada yang sulit dipahami, ditambah rasa letih berkepanjangan dan beban pikiran yang seakan tiada habisnya.

"Rhett… kau adalah sosok saudara yang begitu kukagumi. Panutanku, teladan bagiku. Kau yang selalu menjunjung kejujuran dan kebenaran, demi malaikat. Kadangkala aku merasa kecil hati menghadapi kebaikanmu yang enggak bisa aku jabarkan lagi rasanya. Kau paling membelaku di saat orang lain meragukanku. Dan, ini pertama kalinya kau membuatku sangat patah hati."

Rhett membisu seribu bahasa. Tubuhnya bergemuruh.

"Aku selalu iri pada kebaikan hatimu. Kau dikenal berhati mulia, diingat sebagai seorang pemuda rupawan berhati emas. Principal selalu mengatakan itu berulang kali dan aku enggak pernah meragukanmu dalam hal apa pun."

Wajah tampan Azael merah padam, otot-otot rahang tajamnya melejit-lejit geram. Tetapi kemudian pundaknya yang menegang naik kini turun, sepasang matanya terpejam untuk menghembus napas tenang dan berpikir jernih. Dia tak bisa bertindak jauh, apalagi melukai saudaranya.

Pandangan mereka bertemu, Rhett menyesali segalanya dan itu semua tersirat di mata teduhnya, tetapi dia tak mampu melakukan apa-apa selain bungkam.

"Masalahnya bukan terletak kau menyukai Jean atau tidak. Jean memang gadis istimewa, dia pantas diperjuangkan dan digilai. Enggak ada yang salah persoalan urusan hati. Kita tumbuh bersama, Rhett. Hampir puluhan tahun lamanya. Aku sangat iri semua hal tentangmu sampai detik ini. Enggak pernah satu kali pun, kau membohongiku."

Azael menghela napas dalam, tertawa kecil. Ingatan tentang masa kecil mereka, saat pertama kali memijakkan kaki di akademi Lucelence, bukan hubungan mudah. Principal menghubungkan shadowcaster dengan kesabaran dan susah payah. Mereka yang memiliki karakter serba bertolak belakang.

Yang pertama kali menerima keberadaan Azael adalah Rhett Baker Valentine.

"Tapi enggak hari ini, Rhett. Mungkin kau melakukan itu untuk menjaga perasaanku. Kau tahu aku bisa membaca pikiran dan hatimu, semuanya terbaca dengan jelas tetapi kau masih menyangkalnya. Ini pertama kalinya kau membohongiku. Akan lebih mudah kalau kau mengiyakannya." Azael menyeringai lebar kala sensasi mahanyeri menusuk rusuknya.

"Aku enggak mau merusak persaudaraan kita, Zael. Kau tahu aku sangat menyayangimu, seperti kakakku sendiri. Aku sangat menyesal. Maafkan aku untuk segalanya." Rhett tertegun dalam. Duduk bersandar di dinding pembatas tebing.

Azael menggeleng, "Kau enggak perlu meminta maaf. Sejak kecil kau memang rival terberatku, dan aku sangat iri. Kau pertama kali yang bertemu dengan Jean daripada aku."

"Lalu, sekarang bagaimana? Jangan membenciku, Zael. Aku rela lakukan apa pun untukmu bahkan jika kau inginkan nyawaku." tambah Rhett memohon, matanya berkilat pedih.

"Begitu pun aku, Rhett. Kau adikku paling berharga. Hunter, Carver − Kalian keluargaku paling berharga. Urusan hati memang sulit dan rumit. Aku enggak akan pernah bisa membenci kalian." Suara Azael terdengar parau, mengatakannya tanpa pandangi Rhett.

[ "Maafkan aku, Zael. Aku sangat menyesal." ]

Azael bangkit, terseok-seok berjalan pergi. Rhett meratapi punggung Azael yang menjauh. Mentari petang menyamarkan sosok tubuhnya yang selalu gagah berani.

[ Justru aku yang iri padamu, Zael. Kau penebar aura positif, energik, pemberani dan tulus pada siapa pun. Kau seterang mentari yang dibutuhkan keberadaannya oleh banyak orang. Melihat keberanianmu menyelamatkan professor Tatum tanpa pikir panjang. Itu sudah cukup membuktikan, dan ketika Principal memujimu... membuatku sangat iri. ] pikir Rhett membatin.

Langkah kaki Azael terhenti, "Biar Jean yang memutuskan. Aku enggak akan menghalangimu, Rhett."

.

.

[ "Jean… Jean… Jean…" ]

[ "Enggak… enggak…! Pergi dari pikiranku! Pergi semuanya dari pikiranku!" ]

Lagi-lagi api kosmik, ledakan atom besar di mana seseorang muncul tak jauh dari Jean berdiri. Dia terus memangkas jarak, sementara Jean tak mampu gerakkan kedua kakinya dan hanya terduduk melihat serpihan-serpihan debu dari orang-orang yang tubuhnya tercabik-cabik melebur bersama bara api.

[ "Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!!! Pergi dari kepalaku! Pergi dari pikiranku!!! ]

[ "Jean… sayang…" ]

Ketakutan Jean mereda kala suara lembut itu mengalun tulus dan menenangkan sekujur tubuhnya, jeritan kepanikan di rongga kepalanya mengendur, kobaran api kosmik di sekeliling Jean kemudian perlahan-lahan meredup.

[ "Jean… sayangku." ]

Sesosok wanita ayu dengan segala keanggunannya, wajahnya bercahaya dan berseri diliputi cahaya menyilaukan yang belum pernah Jean lihat bahwa ada makhluk luar biasa jelita di hadapannya sekarang, dia tersenyum lembut pada Jean. Sorotan mata sebiru langitnya berkilat-kilat penuh haru. Dia bersurai panjang bergelombang, semerah sunset persis seperti surai yang dimiliki Jean.

Tangan berkilau itu, menyapu lembut pipi Jean. Menangkupnya hangat. Serbuk-serbuk bintang bertebaran di sekeliling mereka. Seketika api kosmik di sekeliling Jean padam.

Wanita itu memeluk Jean erat, penuh kasih sayang, cinta bercampur kerinduan tiada tara.

[ "Apa kabar, Jean?" ]

.

.