Chapter 13 - Dilema

"Dia belum sadar juga?"

Silas terduduk di samping ranjang kala Jean terbaring lemah, matanya yang seretak kaca berkabut pandangi wajah jelita Jean lekat-lekat. Ini hari ketiga gadis itu berada di ruangan khusus, dengan mata terpejam seperti ini jelas mengingatkan Silas pada Astraea. Hanya di hadapan Jeo dan Elvana, Silas berani menggenggam lembut jemari Jean.

Jeo menggeleng, "Demamnya sudah turun. Cuma itu kemajuan yang dia tunjukkan."

"Siapa yang tidak lelah setelah keluarkan kekuatan sehebat itu. Jean beruntung masih bisa bertahan, Silas. Kalau saja dia kalah dengan kekuatannya sendiri, dia bisa mati." Elvana melipat tangan di dada. Mengelus pipi ringkih Jean lembut.

"Ada kabar apa, Jeo? Perkembangan Jean, kau sudah tahu apa pemicunya?"

"Setelah data yang kukumpulkan dari kesaksian teman-temannya, termasuk Margo Scola teman sekamarnya. Hampir setiap malam menjelang Jean kesulitan tidur, ia alami insomnia akut. Margo tak bisa melakukan apa-apa untuk menolongnya. Hanya saja Jean enggan menceritakan mimpi buruk apa yang menghantuinya." Jeo bersandar di dinding.

"Ya, memang ada laporan kalau Jean kedapatan tidur di kelas ketika bimbingan sedang berlangsung. Itu terjadi belakangan ini." Elvana menimpali, "Dan Azael sempat berkata padaku saat dia menemukan Jean di perpustakaan tengah membaca buku tentang gangguan stress pasca trauma?"

Jeo mengangguk-angguk, simpulkan diagnosis sementara. "Bisa jadi stress itu pemicunya? Apa Jean merasa sangat bersalah atas insiden di Essex?"

Elvana mengiyakan, "Aku membaca pikirannya, dia merasa sangat bersalah dan hancur. Dia selalu berpikir bahwa dirinyalah yang pantas dihukum atas insiden itu. Menyalahkan dirinya sendiri dan sulit bagaimana caranya mengatasi perasaan beracun itu. Ini serius dan mengkhawatirkan. Kita tak boleh meremehkannya. Ada dua situasi krusial yang dihadapi Jean saat ini, selain kekuatan alamiahnya yang luar biasa. Luka batinnya kian memperburuk keadaan."

"Masalahnya mimpi buruk apa yang bisa memengaruhi emosional dan akal sehat, Jean? Ini pasti buruk." Jeo berpendapat, merenung. "Sejak kali pertama kunjungannya kemarin, aku memang sudah merasakannya. Curiga − sebab aku mendeteksi kekuatannya mulai tak wajar."

"Jean ke sini? Menemuimu? Masalah apa?" Silas menuntut jawaban.

Jeo tersenyum tipis, "Saat itu dia mengunjungi Rhett Valentine, kupikir dia hanya ingin mengucapkan terima kasih karena merasa berutang budi padanya. Tetapi Azael pernah berkata padaku – bahwa Jean berkali-kali ingin bertemu denganku. Mungkin dia mulai merasakan kebuntuan untuk hadapi kesulitannya, Principal."

Silas memijat pangkal hidungnya yang terasa berat, embusan napas panjang lolos dari bibirnya, "Belum ada kasus seperti ini sebelumnya. Astraea seringkali kehilangan kontrol pada kekuatannya itu disebabkan oleh 'Elgrimlock'nya sendiri. Bukan dibayangi karena sebuah trauma atau gangguan psikis."

"Jean memang agak berbeda, Silas. Terlepas dari segala teoretis apa pun. Inilah kenyataannya dan kita harus membantunya. Kau semestinya lebih memahami Jean, sudah saatnya, Silas. Kau katakan segalanya pada Jean. Dia berhak tahu. Kau tak boleh menunggu lagi, sebelum semuanya terlambat dan memburuk." tuntut Elvana, merasa ini waktu yang tepat.

"Kau harus percaya padaku, El. Kali ini saja, aku tahu apa yang harus kulakukan. Kau tenang saja, aku sendiri yang akan mengatakan segalanya pada Jean." Silas menggamit erat jemari lentik Jean yang terasa sedingin es.

Batin Silas diliputi kebahagiaan sekaligus kelegaan, sejak kemarin ia hanya bisa menatap Jean jauh dari ruang kerjanya. Meski puluhan tahun telah terjadi, senyum haru tak mampu ditahannya.

[ "Astraea… aku menggenggam jemari Jean saat ini." ]

Elvana menyadari itu, Silas jelas terbawa suasana bagaimana tidak? Dia sangat memahaminya. Senyum Elvana pun ikut terkembang, tangannya mengusap-usap punggung Silas sebagai bentuk dukungan. "Katakanlah secepatnya, Silas. Bukankah ini membuatmu teramat sangat bahagia?"

"Akan kulakukan secepatnya, El. Terima kasih banyak. Kau selalu mendukungku, sahabat sepertimu bagai mencari jarum ditumpukan jerami."

Elvana mendengkus, "Aku mendukungmu demi Astraea, ya?!"

.

.

"Hei! Melamun di sini. Aku mencarimu tadi ke kamar rawat, tapi kau enggak ada. Sedang apa di sini, Zael?"

Hunter menepuk pundaknya dan nyaris membuat Azael terjengkang dari kursi taman rumah sakit saking kagetnya.

"Kau membuatku terkejut!" Azael memiting leher Hunter yang terus tergelak geli.

"Okay! Okay! Aku minta maaf. Aku enggak bermaksud mengejutkanmu! Makannya jangan kebanyakan melamun."

"Menurutmu itu lucu?! Sialan, kau!"

"Ampun, Zael. Aku cuma bergurau! Lepaskan aku, aku enggak bisa bernapas!"

Azael melepas pitingannya, sentuhan terakhir sebuah jitakan sekepal tangan mendarat di kepala Hunter, hingga suara raungan lolos dari mulut sahabatnya itu. Hunter mengusap-usap pelan, sensasi panas menyengat terasa sampai ke kepala belakang.

"Belakangan ini moodmu jelek ya, Zael? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu kah?"

Azael menghela napas sembari meraup mukanya. "Yeah, ada banyak hal yang kupikirkan. Maaf ya, kalau kalian kena imbasnya."

"Sedikit sih, tanganmu juga kelihatannya sudah membaik. Masih mau berbaring malas-malasan di sini?" ejek Hunter mengecek bekas luka bakar di lengan Azael yang ternyata sembuh lebih cepat dari perkiraan. Kulitnya kembali bersih tak menyisakan bekas gosong atau lepuhan apa pun seperti insiden amukan Jean terjadi.

"Ada kabar dari Jean? Aku tanya pada Jeo, dia enggak mau jawab. Cuma cengengesan menyebalkan. Bikin aku cemas saja."

"Oww, kukira kau kesal belakangan ini karena merindukan Jean?"

Azael memutar bola matanya jengah, "Jangan sok tahu deh, Hunter. Enggak usah mengada-ada."

Kali ini tangan Hunter terlipat dalam, "Aku heran. Kau selalu membantahnya mentah-mentah, padahal dari semua tabiatmu tergambar jelas, Zael. Bahkan rumor cepat berembus di akademi. Fansmu sudah mengetahuinya, kau harus menjaga Jean baik-baik. Setelah rumor itu beredar dia jadi sasaran empuk."

"Memangnya mereka enggak melihat insiden kemarin? Masih berani mengganggu Jean? Lupa kemarin mengerikannya dia seperti apa?!"

Hunter mengedikkan bahu, "Jangan marah padaku, aku 'kan cuma sampaikan pesan. Berhati-hatilah kau."

"Menurutmu apa yang terjadi kemarin? Mengapa Jean bisa melakukan 'pelepasan' kedua. Pasti ada pemicunya 'kan? Aku memang telah menyelidikinya, kayaknya Jean tengah alami semacam gangguan emosional pasca insiden di Essex." Azael merenung lagi, pikirkan segala kemungkinan. Semakin dipikirkan rasanya kian mau pecah saja kepalanya.

Hunter mengangguk pelan, matanya memancang jauh ke depan. Iris keperakannya bercahaya di bawah langit senja yang bermandikan cahaya keemasan.

"Jean belum sadar, dia ditempatkan kamar khusus atas perintah Principal. Satu-satunya kemajuan yang kudengar adalah perihal demamnya baru saja turun. Jean beruntung bisa bertahan, dia bisa saja mati."

"Saat aku membawa Professor Tatum keluar, aku melihat kemarahannya tetapi juga rasa sakitnya. Benar-benar kekuatan mengerikan. Pasti ada pemicunya, tapi apa, ya? Percuma aku tanyakan ini pada Jeo, dia enggak akan mau jawab pertanyaanku." Azael memberengut, tangannya menyapu rambut acak-acaknya ke belakang, frustrasi.

Angin petang berembus pelan di sekeliling mereka. Temani keheningan sesaat yang membungkam permukaan udara.

Hunter menjetikkan ibu jarinya, seakan baru saja tercetus ide keren di kepalanya. "Coba kau tanyakan pada Margo Scola – teman asramanya. Barangkali dia tahu sesuatu tentang Jean. Mereka kan sekamar, tentu Scola pasti tahu persis."

"Kau benar, Hunter. Setelah keluar dari rumah sakit akademi, aku akan pergi menemuinya. Coba bertanya padanya. Syukurlah, kali ini enggak ada korban berjatuhan. Kalau sampai ada korban, mau dikemanakan mukaku, Hunter? Tindakan Principal dan Mrs. El memang cepat kemarin."

"Keberanianmu kemarin juga luar biasa, Zael. Aku pribadi enggak akan melakukan hal gila itu. Kau memang edan. Shadowcaster bangga memiliki pemimpin sepertimu." Hunter menepuk-nepuk punggung Azael, kemudian mengguncang bahunya pelan. Pertahankan senyum manis.

Lagi-lagi Azael menghela napas panjang, "Itu hanya terpikir dan terlintas saja di benakku. Semoga Professor Tatum Reddington mau memaafkanku. Bagaimana pun aku terlambat datang ke kelasnya selama insiden penyerangan 'tanpa di sengaja' itu terjadi."

Hunter pandangi Azael melalui sudut ekor matanya, sejak kemarin ada yang ingin dia tanyakan. Kebetulan baru ingat sekarang. "Zael… apa kau enggak merasa aneh dengan Principal?"

Kontan dahi Azael mengerut dalam, "Apa maksudmu?"

Diam-diam helaan napas berat lolos dari hidung bangir Hunter, walau pertanyaan ini sebenarnya berat diutarakan. Menanyakan pendapat ini pada Azael memang jelas salah sasaran.

Pemimpinnya itu 'teramat sangat' menghormati dan mencintai Principal lebih kepada dirinya sendiri. Bahkan menyayanginya bagai cinta seorang anak laki-laki terhadap ayah kandungnya. Azael rela menempuh apa pun demi Principal walau taruhannya nyawa.

"Dengarkan dulu penjelasanku, Zael. Enggak perlu marah begitu. Aku hanya heran soal perhatian yang diberikan Principal kepada Jean, apa menurutmu itu enggak berlebihan? Maksudku, aku meraba-raba sepertinya ada keterkaitan rahasia antara mereka."

Azael membisu seribu bahasa, kepalanya tertunduk untuk renungkan kata-kata Hunter barusan.

[ Memang benar sih, yang dibilang Hunter. Kupikir cuma aku yang merasakan. Hunter juga berpikir demikian? ]

"Entahlah, ada yang aneh dengan mereka. Aku merasa mereka sembunyikan sesuatu, Jeo pasti tahu, rahasia di antara mereka. Sampai-sampai Principal meminta ruangan khusus terpisah untuk Jean. Cara Principal memandang Jean berbeda dengan anak-anak lain. Bagaimana Mrs. Elvana Skylark memperlakukan Jean, itu sangat jelas. Jean benar-benar spesial di mata mereka." Hunter menggaruk tengkuk yang tak gatal, menghela napas lagi.

"Jangan berprasangka buruk, Hunter. Kau tahu bagaimana Principal dan Wakil principal memperlakukan semua murid akademi. Derajat sama, enggak ada yang dibeda-bedakan. Semua anak-anak di sini istimewa. Kasih sayang Principal pun sama. Itu sebabnya Principal membangun kastil perlindungan untuk orang-orang berkemampuan lebih seperti kita." bela Azael menyanggah firasat Hunter kali ini.

Hunter memang sudah menduganya, dia pun tersenyum miring menanggapi ucapan Azael barusan. Azael akan membela Principal lebih dari apa pun – sejak kali pertama kedatangan mereka ke akademi Lucelence.

"Yah, aku juga enggak bermaksud apa-apa. Aku cuma utarakan pendapatku. Apa kau tahu, Zael? Melihat Jean mengingatkanku pada ' tetua First Class Astraea.' Coba kau pikirkan, bukankah mereka mirip satu sama lain? Dan kekuatan Jean sekarang sama persis seperti yang dimiliki tetua sebelum perang tercetus. Sudah ada fakta-faktanya, kau masih mau mengelak juga?"

Azael menggelengkan kepalanya, "Prasangkamu enggak berdasar, kecuali kau memang punya bukti kuat untuk mendukungnya. Aku tahu kau selalu kelewat bertabiat kritis terhadap perihal apa pun, tapi menurutku ini agaknya berlebihan. Dan sifat terlalu kritismu itu kadang enggak tahu tempat juga waktu. Akan lebih baik kau melakukan hal lain yang lebih bermanfaat, Hunter."

"Yeah, terserah saja. Aku enggak memintamu untuk percaya padaku sekarang. Justru aku sangat senang kalau ada orang lain yang mendebatku. Aku masih punya ilmu medis sedikit, Zael. Jelas, aku tahu instingku enggak pernah salah. Suatu saat nanti aku akan membuktikannya padamu. Bahwa perkiraanku benar dan kau yang salah besar." Hunter tersenyum manis, menepuk pundak Azael pertanda perpisahan.

Azael enggan berkomentar lebih lanjut, Hunter bersiul pelan sembari menarik diri. Azael pandangi punggung Hunter yang menjauh pergi. Mendebat Hunter cuma buang-buang energi, selain kritis dia sangat pandai berkilah dan mengembalikan semua argumen orang lain. Bahkan kepada Zael.

"Eh, iya. Sebelum aku pergi. Ini tentang Rhett, Zael." Langkah kaki Hunter terhenti, sembari memasang senyum miring, "Sepertinya kau punya saingan. Aku mengira kalau Rhett menyukai Jean."

"Kau ngomong apa? Hunter?! Barusan kau bilang apa?!"

Hunter cekikikan, berlari ketika Azael bangkit dari kursi dan mengejarnya. Dia menganggap itu sebagai lelucon, tapi tidak untuk Azael.

"Masa kau belum tahu? Kau kan bisa baca pikiran orang lain?"

Dalam batin Azael bertanya-tanya,

[ Mungkinkah, Rhett begitu? ]

Dan ucapan Hunter sukses mencubit jantung Azael sehingga ulu hatinya terbakar oleh api cemburu.

.

.

"Jeo…"

Jeo mendongak dari silabusnya, tangannya terhenti menulis sesuatu di sana dan tersenyum hangat. "Hei, Rhett. Tumben. Mau jenguk Azael?"

Rhett tersenyum, tangannya menggaruk tengkuk yang tak gatal. Ia meneleng kepalanya pelan.

Lantas, Jeo didera kebingungan. "Lalu? Kau sakit? Mau kuperiksa?"

"Bukan itu, aku enggak sakit. Aku ke sini ingin tahu kabar Jean. Bagaimana kondisinya?"

"Kenapa kau ingin tahu?" Jeo berdeham, tersenyum jahil sembari melipat tangan di dada. "Bukankah rumor di akademi selalu cepat menyebar? Kau pasti sudah mendengar kabarnya perihal kondisi Jean."

Rhett mengedik bahu, "Memang. Tapi aku ingin mendengar langsung darimu. Kabar darimu lebih akurat dan terpercaya."

Jeo terpingkal geli, lesung pipinya tampak manis. "Ayolah, Rhett. Aku bukan penyiar berita. Aku dokter akademi. Menjaga informasi pasien adalah prioritasku. Maaf, aku enggak bisa membantumu. Pergilah, kau mengganggu pekerjaanku."

"Ayolah, Jeo. Aku shadowcaster, ucapanku bisa dijaga. Kita mengenal selama lebih puluhan tahun, masih saja meragukan aku?"

"Mengapa kau begitu memaksa? Kenapa juga kau mencemaskannya?" tanya Jeo dengan pandangan memicing, lambat-laun Jeo memasang senyum menuduh. Tahu ke mana arahnya ini.

"Siapa bilang? Aku hanya ingin tahu kabarnya. Apa itu salah?" Rhett membela diri.

"Masa? Kau dan Azael terus saja bertanya perihal Jean. Aku sampai bosan mendengarnya. Kalian menyukainya?" tanya Jeo sengaja menaikkan intonasinya, hingga suaranya menggema di lorong rumah sakit dan menyita pandangan pasien dan perawat yang sibuk berlalu-lalang.

Kata-kata itu tepat dan langsung menusuk dada Rhett, menembus ke tulang punggung bagai dihunjam pedang sepanas bara api. Entah mengapa sekarang dada Rhett sesak oleh hentakan jantung yang berdebar kencang.

"Pelankan suaramu, Jeo!" omel Rhett merasa rikuh tak terperi.

"Apa itu benar, Rhett?!"

Bagai disambar petir di siang bolong, tubuh Rhett sontak membeku di tempat kala mendengar pertanyaan sinis itu datang tanpa ampun dari belakang punggungnya.

Jeo melotot ngeri, atau mungkin setengah menikmatinya. Pertunjukan pertengkaran baginya adalah hiburan seru yang sayang dilewatkan begitu saja. Mengingat dia dan Hunter sama gilanya.

"Az…ael?" lidah Rhett pun kelu.

Sepasang mata Azael membeliak nanar, mulutnya memberengut dalam dengan otot-otot rahang melejit tampak jelas menahan berang. Sarat pancaran sinar biru cemerlang di iris mata Azael yang biasanya selalu terlihat hangat, arif dan menyenangkan. Kini digantikan oleh seberkas amarah tak tergambarkan lagi.

.

.