Chereads / Lucelence Academy, 'Elgrimlock Rising.' / Chapter 10 - The Cursing Girl

Chapter 10 - The Cursing Girl

"Kembalikan, Zael. Aku cuma membacanya saja, memangnya enggak boleh?"

Mata Azael memicing, dadanya didentam beragam pertanyaan serta kecemasan. "Kau punya kesulitan apa? Katakan padaku, Jean. Kau bisa terbuka pada Rhett kenapa padaku enggak?"

Jean mendesah sebal, memandang Azael malas. "Enggak ada kesulitan apa pun, kalau begitu kau saja yang kembalikan buku itu ke raknya. Aku harus pergi."

Azael mencengkeram lengan Jean erat, kesekian kalinya menghalau jalan gadis itu. "Aku enggak akan melepaskanmu, sebelum kau cerita apa yang terjadi. Kau enggak bisa bohong padaku. Matamu bicara. Ada apa, Jean Venthallow Argent? Ayolah, biarkan aku membantumu." intonasi Azael melembut, sorotan matanya bersinar teduh.

Malah mematung di tempat, Jean pun menghela napas panjang. "Kalau kau bisa menebak aku terbuka pada Rhett, berarti kau tahu semua yang kukatakan padanya. Aku enggak perlu mengulanginya lagi 'kan?"

"Iya, aku tahu semuanya. Aku bisa membaca pikiran kalian berdua. Tapi aku ingin mendengarnya langsung darimu."

"Apa bedanya?" Jean mengurut dahinya. Sama sekali tak paham, entah mengapa pemuda ini senang sekali mendebatnya.

Azael kian eratkan cengkeraman tangannya, bahkan ketika Jean memberontak. Azael menarik Jean untuk terhenyak di kursinya kembali.

"Tentu saja berbeda, itu artinya kau lebih bergantung pada Rhett dibandingkan padaku." Azael mendengkus jengkel. "Begitu saja kau enggak paham?"

"Rhett itu sahabatmu, kalian sama-sama shadowcaster. Kenapa terus bertengkar hal-hal sepele, sih?"

"Karena aku enggak suka. Perbedaan sikap yang kau tunjukkan padaku dengannya. Jelas sangat berbeda. Kau enggak merasa pilih kasih?" Azael menjimpit cuping hidung Jean saking kesalnya.

Jean kontan meringis, menutup cuping hidungnya yang langsung memerah. Melirik Azael dengan air muka heran, ada suara kekehan lolos di bibir ranumnya. "Kau cemburu?"

Azael mencibir, nyengir kuda. "Cemburu? Siapa bilang? Enggak, ah. Aku populer, tampan, pemimpin shadowcaster, banyak gadis-gadis cantik mengejarku. Untuk apa cemburu?"

"Ya sudah, permisi. Aku mau temui Jeo."

"Eh, mau apa ketemu Jeo?!"

"Bukan urusanmu. Sejak kapan Azael yang populer, tampan, pemimpin shadowcaster, dikejar-kejar gadis cantik mau tahu urusanku?"

Azael berdecak sebal, "Kau enggak boleh ke mana-mana. Duduk di sini saja bersamaku."

"Aku harus ke kelas Mrs. Petrichor. Beliau pasti menungguku sekarang, Azael. Lepaskan tanganku sekarang juga sebelum kau yang kulempar."

"Lempar saja, kalau berani." tantang Azael tersenyum miring.

Kali ini Jean menyerah, Azael tahu persis kalau dia belum mahir mengendalikan kekuatannya. "Ayolah, Zael. Kumohon, lepaskan aku. Aku bisa dihukum Mrs. Petrichor kalau datang terlambat. Bantu aku, apa pun akan kulakukan untukmu. Asalkan biarkan aku pergi sekarang."

Rengekan Jean malah membuat Azael terpingkal geli sehingga rahang tajamnya merona hangat. Jean malah sempat terpana sesaat, memandang betapa menawannya seorang Azael Faulkner Draven saat tawanya terpecah riang. 'Damage banget!'

Lagi-lagi, jantungnya berdebar resah. Jean merasakan darah naik ke pipinya.

"Kupegang janjimu, Jean." Azael tersenyum miring, menarik Jean ke dalam pelukannya.

[ Syuuuuttttt ]

Terkesiap dalam hitungan sepersekian detik, Jean seolah disedot ke dalam dimensi asing. Merasakan badannya merosot tanpa ampun, seakan nyawa terpisah dari raga. Bagai limbo terjebak di antara dua dunia.

Dalam sekejap mata, Jean berpindah ke tempat lain. Kakinya yang mati rasa berpijak entah di mana, nyeri hebat menusuk kepala belakang. Seolah melayang tak tentu arah. Membuat Jean nyaris ambruk dan linglung.

Azael merengkuh Jean dalam dekapan hangatnya, Jean benar-benar limbung. Cukup lama, sebelum kesadaran penuh menguasainya, Jean sadar kakinya berdiri di depan kelas Mrs. Petrichor.

"Tenang saja, sensasi itu bakalan hilang. Tarik napas dalam-dalam, Jean."

Jean memukul lengan Azael geram. Matanya membeliak nanar penuh kobaran api. "Bisakah kau lebih lembut sedikit?!"

"Maaf… maaf." Azael terkikih hingga tersengal, tangannya menepuk puncak kepala Jean lembut, "Sampai ketemu lagi nanti, jangan nakal, ya? Belajarlah yang baik, Jean."

Intonasi Azael selalu terdengar melembut kala menyebut namanya. Berpisah di sana, dia melambai singkat.

Punggung pemuda itu benar-benar menjauh, pandangan Jean mengikuti arah langkah Azael dengan segenap perasaan bergejolak dan campur aduk. Tangan Jean meraba puncak kepalanya pelan, tebersit perasaan kebahagiaan membuncah dalam batinnya bagai kelopak bunga Scarlett Carson bermekaran indah di musim semi. Relung perutnya seakan dipenuhi oleh kupu-kupu beterbangan.

Sebuah senyum tipis terbingkai di bibir delima Jean.

[ "Dasar Azael menyebalkan." ]

.

.

"Dari mana saja kau?" Hunter menyambut Azael di ambang pintu institut.

"Ada urusan sebentar." sahut Azael enteng.

Hunter terkikih geli, "Sepertinya pemimpin kita satu ini sedang jatuh cinta."

"Oh, ya? Benarkah itu? Dengan siapa?" Carver menimpali, sontak terperanjat dari kursinya.

Rhett yang tengah membaca buku di kursi dekat jendela raksasa kontan mendongak, hatinya dirundung rasa penasaran, diam-diam ia pandangi wajah Azael lekat-lekat.

"Kalian ini bicara apa, sih? Mrs. El sudah kemari?"

Carver mengangkat bahu, "Belum, tugas baru lagi. Penjemputan lagi."

"Siapa kali ini?" Azael belum mendapat kabar apa pun perihal satu itu.

"Entahlah." tambah Hunter terhenyak di kursi.

Pintu institut terkuak lebar, Mrs. Elvana hadir bersama Sophie Mercer – asistennya yang ke mana pun beliau pergi selalu mengikuti ekor punggungnya. "Semua sudah hadir?"

Shadowcaster sigap duduk di kursinya masing-masing.

"Sophie, keluarkan tugas mereka." perintah Elvana tegas.

Sophie mengangguk cepat, dia terkenal efisien, cekatan dan cakap. Usianya kisaran kepala tiga, lulusan Oxford jurusan manajemen bisnis. Beliau ayu, berasal dari Southampton tepatnya. Sophie adalah satu – satunya asisten pribadi paling sabar menghadapi ketegasan serta kedisiplinan wakil principal − Elvana Skylark yang terkenal tak kenal ampun.

Sophie Mercer mengeluarkan map plastik dari tangannya sesuai perintah Elvana Skylark. Menyebarnya di atas meja, Azael membukanya sembari menghela napas panjang. Matanya menyelidiki isi biodata itu.

"Carmen Morissa." eja Azael menggumam sembari menatap lekat foto gadis berambut wine itu. Entah mengapa, Azael merasa kurang suka dengan sorotan matanya di foto itu. "Sepertinya dia mengerikan, ya?"

"Kalian harus menyelamatkannya, ASAP. Sebelum dia diculik dan dijadikan bahan eksperimen oleh lembaga berwenang setempat. Semenjak insiden pelepasan yang dilakukan Jean di Essex, seluruh pemerintahan manusia langsung waspada. Mereka bahkan kerahkan pasukan-pasukan terbaik untuk mencari orang-orang sejenis dengan Jean dari pintu ke pintu." perintah Elvana tanpa basa-basi. "Aku tahu, Jean begitu takut membaca berita dari dunia fana."

"Memang mengerikan sih, aku baca beritanya. Komentar jahatnya benar-benar gila." Carver mendengus tak habis pikir.

Rhett mengangkat tangan kanannya, "Di mana terakhir kali dia terlihat?"

"Carmen tinggal bersama pamannya yang alkoholik, latar belakangnya cukup memilukan. Pamannya abusif, dia berakhir mengerikan di rumah sakit jiwa. Tapi dari informasi terakhir yang kudapat posisi terakhirnya berada di distrik Wales. Kalian mulai menyisir tempat itu, ingat jangan sampai kekuatan kalian bocor dan terlihat oleh kaum fana. Pergilah sekarang, dan berhati-hati."

"Tunggu dulu, Mrs. El. Apa ini tidak salah? Kekuatannya mengerikan. Cursing? Jadi pamannya berakhir di rumah sakit jiwa karena ulahnya?" Carver menyuarakan pendapatnya. Air mukanya kurang setuju.

"Firasatku pun buruk untuk satu ini." timpal Hunter meletakkan map plastik itu di atas meja. Helaan napas pelan lolos dari hidung bangirnya.

Elvana tersenyum tipis, "Kalian tidak perlu risau. Untuk kekuatan gadis ini, Mrs. Jessica Lambert, setuju membimbingnya. Gadis ini pasti bisa diatur."

Azael mengangguk hormat, bangkit dari kursinya dan lekas bersiap. "Let's roll, guys."

"Mari kita jemput gadis liar ini." Hunter menggeliat, sempat menguap lebar ketika pintu aula pertemuan institut di belakangnya tertutup rapat. "Baru istirahat, tugas sudah memanggil saja."

Azael berjalan di depan lebih dulu. "Perhatikan, dan waspada pada kekuatannya dia bisa mengutuk siapa saja. Tetap gunakan perisai kalian selama penjemputannya."

Carver mengangkat bahu, "Itu pun kalau Carmen enggak terlalu terguncang dan menyerang kita."

"Tenang, ada aku." ucap Rhett menepuk pundak Azael. "Aku lindungi kalian."

"Untuk apa khawatir, kita punya defender hebat – Rhett Valentine."

Mereka terpingkal geli.

.

.

[ "Aku merasakan keberadaannya, dia dekat. Enggak jauh." ] Carver menekan jari telunjuk di dahinya, melakukan telepati dan sebarkan berita kepada ketiga sahabatnya yang lain.

[ "Aku paham, sedang menyisir distrik."] jawab Hunter dari bawah sana.

Carver dan Azael duduk di puncak sebuah tower crane yang tak beroperasi. Jam malam berakhir, pelabuhan Wales beroperasi hanya dengan beberapa petugas yang tampak berlalu lalang di pabrik melakukan rutinitas pekerjaan mereka.

Dari kejauhan sebuah kapal tanker tampak mendekat, beberapa kali menguarkan bebunyian nyaring pertanda mereka akan menepi dalam beberapa menit ke depan. Menara mercusuar memuntir-muntir cahaya putih menyilaukan dari ujung tebing. Manusia-manusia yang tengah bekerja itu bersiap menyambutnya.

Azael menunjuk, "Itu di sana."

Carmen terdeteksi, surai winenya bercahaya merah di bawah sinar lampu tembak. Gadis itu cukup pintar, dan sangat menghindari keberadaan manusia. Sepasang kaki mungilnya mengendap-endap di antara barisan kontainer, arah pandangnya mendamba pada sebuah kotak makan besi milik salah satu pekerja yang ditinggalkan dekat alat forklift.

"Dia kelaparan." Carver menambahkan, mendeteksi tingkat asam lambung Carmen yang bergejolak tinggi.

[ Ya, aku melihatnya. ] Rhett bersuara dari mind-link, bersama Hunter mulai mendekat ke arah Carmen.

"Carmen Morissa?" Rhett menyeru sepelan mungkin, tak bermaksud menakutinya.

Carmen kontan waspada, sepasang mata zamrud miliknya menatap garang. Dia dalam posisi siap siaga menyerang, pada siapa pun yang mengganggu jalannya. "Jangan mendekat, aku bisa melukaimu!" titahnya bengis.

"Ayo, turun." Azael menepuk pundak Carver dan melakukan teleportasi.

Shadowcaster mengepung Carmen. Satu per satu anggotanya muncul melalui kekuatan teleportasi.

"Siapa kalian?! Mau apa?! Aku enggak ganggu siapa pun!"

Rhett maju perlahan, "Tenanglah, kami enggak bermaksud jahat. Kami dari akademi Lucelence. Datang untuk menyelamatkanmu."

"Menyelamatkanku?" Carmen terpingkal geli. "Aku enggak perlu bantuan siapa pun!"

Hunter mendecih sinis, "Ya ampun. Sombong sekali kau ini. Aku juga enggak akan mau menjemputmu kalau bukan karena tugas dari Principal."

Dahi Carmen kontan mengerut, bingung harus bereaksi apa.

Azael menekan dada Hunter, "Sudahlah. Jangan menakutinya, Hunter."

"Kau harus ikut kami, di sini enggak aman buatmu. Akademi Lucelence adalah tempat teraman untukmu saat ini. Manusia mengejarmu 'kan? Kau enggak mau berakhir di ranjang eksperimen 'kan?" Carver mencoba bersikap menyenangkan meskipun hatinya malas benar.

"Iya, para marinir itu menembaki aku! Untuk apa aku bersembunyi kalau aku bisa melakukan segalanya?! Seperti si gila Jean Venthallow Argent! Yang meratakan Essex, membunuh teman-teman memuakkannya. Aku juga bisa seperti itu! Kekuatanku lebih hebat dan mengerikan daripada siapa pun. Manusia takut pada remaja-remaja berkekuatan super. Aku hanya perlu membangun pasukan untuk membalas mereka!" Carmen mengutuk manusia dengan sorotan mata mendengki sekaligus kebencian mengental.

"Jangan menyebut nama Jean!" hardik Azael dengan otot-otot rahang melejit menahan berang. "Kau tak pantas menyinggung namanya!"

Carmen mendengkus, "Kenapa?! Apa urusannya denganmu? Mengapa kau semarah itu?!"

"Orang gila." Hunter mendelik geram, "Kau enggak boleh menyakiti manusia. Masih banyak manusia berhati baik!"

"Bullshit!"

Carmen mengangkat tangannya, asap hitam keluar dari sana. Dia pun mulai lesatkan serangan. Rhett menghunus pedang dari balik punggungnya, menguarkan cahaya silver yang membentuk perisai untuk menahan serangan kasat mata dari Carmen.

"Bagaimana bisa?" air muka Carmen terlihat syok, dia memperbesar kekuatan kutukannya lagi, menargetkannya pada Hunter, Carver bahkan Azael.

[ Traaaaaaaaaangggg! ]

Dentingan lesakan tusukan asap hitam Carmen yang menghantam berkali-kali dan saling beradu dengan perisai silver milik Rhett.

"Ini bisa makan waktu lama, gadis ini keras kepalanya minta ampun lebih baik kita mengikatnya saja!" usul Carver hilang kesabaran.

"Aku enggak mau buang-buang energi untuk cewek macam dia!"

Tangan Hunter keluarkan es, Carmen tak menyadari sepasang sepatunya mengkristal. Derakan-derakan es yang mulai bekukan selop sampai ke kulitnya.

"Sialan! Lepaskan aku!! Brengsek!!" Carmen kesulitan bergerak, mulai panik kala kedua lengannya ikut mengkristal perlahan-lahan. Asap-asap hitam sumber kekuatannya lenyap seketika.

Lehernya ikut membeku, Hunter memperbesar kekuatannya dan membekukan seluruh tubuh Carmen dalam sekejap. Gadis itu membeku dengan kedua mata melotot garang.

"Gadis sialan!" Hunter mengamuk jengkel. Meludah ke samping.

Carver menepuk pundak Hunter dan mengguncangnya. "Tenang, tenang."

"Kau baik-baik saja, Zael?" tanya Rhett agak cemas.

Azael menghela napas panjang, tersenyum tipis. "Yah, aku baik. Thanks, Rhett."

Rhett melirik Azael dari ekor matanya, air muka Azael masih digurat oleh kemurkaan. Usai Carmen menyebut nama Jean Venthallow Argent dan mengumpatnya – mood Azael langsung rusak. Rhett belum pernah melihat Azael semurka ini, biasanya dalam tugas apa pun; dia paling sabar, rasional dan efisien.

Itu sebabnya dia ditunjuk jadi pemimpin shadowcaster.

Sesuatu mencubit batin Rhett, entah kenapa dadanya diremukkan oleh rasa nyeri hebat tak kasat mata, [ "Jadi, kau sangat menyukai Jean, Zael?" ]

.

.