"Tidak bisa… aku tidak melihat apa pun. Ada kabut perak tebal yang menghalangi." Margo menggeleng, sekali lagi dia mencoba berkonsentrasi, kali ini lebih memusatkan kekuatan serta fokusnya. Meletakkan jari telunjuk di dahinya, namun hasilnya tetap sama. Hanya kabut tebal gelap menghalangi penglihatan.
"Apa itu artinya masa depanku memang suram?" Jean menghela napas, ia memang sudah tahu itu. Segalanya selalu dan serba salah bila menyangkut urusan kehidupannya. Tidak ada satu pun berjalan dengan benar.
Dalam beberapa jam, dunia runtuhnya jungkir balik dan kini dia terdampar di dalam akademi bersama orang-orang asing berkemampuan super sepertinya.
Tetap saja, rasanya bagaikan mimpi bagi Jean.
"Tapi aku melihat di dalam kabut itu ada api merah bercampur api hitam membara. Ada sepasang mata besar berasap, dia menggeram. Tampaknya sesuatu, berukuran raksasa." tambah Margo dengan mata terpejam menggambarkan visualisasinya.
"Kau bisa melihatnya lebih jelas? Maksudku, lebih spesifik, Go?"
Margo meneleng kepala kesekian kali, "Maaf. Cuma itu hasil penglihatanku. Kabutnya tebal sekali, aku enggak mampu menembusnya lebih jauh. Aneh, aku bisa melihat masa depan teman-teman lain. Kenapa kau enggak bisa, ya?"
Jean jadi kepikiran, "Api merah, api hitam, sepasang mata besar berasap, sesuatu berukuran raksasa? Apa artinya? Serius itu masa depanku?"
Margo mengangguk yakin. "Iya, itu sih yang kulihat."
"Sial sekali nasibku ini. Lagi pula manusia itu aneh, mereka sangat berharap dianugerahi kekuatan super, tapi mereka menolak keberadaan kita. Kau tahu? Ibuku mengusirku dengan menembakkan senapan gentel. Berkali-kali dia lesatkan pelurunya, dengan kesadaran penuh. Kau percaya itu? Ayahku bilang kalau aku tak pergi, dia tak segan membunuhku. Andai kata kalau tepat sasaran. Aku pasti sudah mati." Jean mengesah pedih mengingat kejadian malam itu, segalanya masih membekas jelas di dalam batinnya. Itu sangat melukai palung jiwanya.
"Ya ampun, gila banget. Sampai segitunya mereka mengusirmu dari rumah? Mereka keluargamu atau bukan, sih? Masih mendingan aku, ya. Saking enggak tahunya keluargaku mau melakukan apa terhadapku. Yang bisa mereka perbuat adalah membuangku sejauh-jauhnya."
"Apanya yang mendingan? Kau malah senang dibuang keluargamu?"
"Akademi Lucelence yang membuatku berpikir begitu, nanti kau juga pasti punya pandangan sama denganku. Lihat saja."
Jean menatap Margo lekat-lekat, "Tapi, kau enggak punya niat jahat terhadap mereka 'kan?"
Margo menggeleng cepat, "Niatku ingin membantu siapa pun. Aku juga tahu persis kematian orang-orang kapan, jam berapa, dengan cara apa. Tapi mereka tetap memilih meninggalkan aku."
"Kita senasib, Go. Kalau begitu anggap saja kita lebih beruntung daripada mereka. Suatu hari nanti, aku ingin menunjukkan pada manusia meski kita berbeda. Kita enggak seperti yang mereka sangka."
"Itu keren, Jean. Semoga saja impianmu itu tercapai. Kau tulus, baik hati. Aku merasakannya. Wakil principal benar, menyenangkan satu kamar denganmu."
"Apa itu pujian untukku?"
Margo memutar matanya jengah, "Oh, aku tarik kembali saja ucapanku barusan kalau gitu."
Mereka sama-sama terpingkal geli, Margo meneliti arlojinya lantas segera terperanjat dari ranjang. "Eh, ini waktunya jam makan malam. Ayo, kita harus bergegas ke aula."
Jean nyaris tersungkur kala Margo tanpa aba-aba menyambar lengannya dan menyeretnya dari ranjang. Margo terlihat sangat antusias menunjukkan tempat itu.
"Banyak makanan enak di sana."
"Wajahmu tampak semringah, pasti tempat yang menakjubkan."
"Lihat saja nanti."
.
.
"Margo, sebelah sini!"
Margo masih mencengkeram lengan Jean, membelah lorong-lorong kursi yang hampir semuanya telah terisi. Gadis cantik berambut mentega melambai antusias ke arah Margo yang tampaknya dia telah menyediakan dua kursi kosong plus untuk mereka.
Jean lewat di samping meja berpapan tanda pengenal bertuliskan 'Shadowcaster'.
Lagi-lagi Jean bertemu dengan Hunter, entah ini situasi kebetulan yang ke berapa kali. Hunter memasang senyum jahil dan melambai lagi, Jean pun memutar matanya jengah. Carver datang, duduk di sebelahnya dan terdengar membuka percakapan.
Jean lupa belum tahu kelanjutan kabar dari Rhett Valentine. Dia telah menyelamatkannya dari serangan dark legion
[ Aku akan menjenguknya nanti. ]
"Astaga, apa Hunter Cohen McKnight baru saja melambaikan tangan kepadamu, Jean?!" Margo terlihat berbinar, memekik pelan. "Oh, ya ampun kau membuatku sangat iri!"
Semua orang berbicara dengan nada pelan yang merambat sopan ke seluruh penjuru ruangan. Beragam karakter berkumpul di meja-meja panjang yang terbuat dari kayu mahogani berwarna hitam legam mengilat.
Di bawah cahaya lampu-lampu kandelar keemasan yang melayang-layang di udara. Lagi-lagi Jean terperangah oleh keindahan aula makan, besar dan kemegahannya benar-benar membuat siapa pun takjub.
Seluruh kursi, meja kayu dihiasi kain-kain renda berwarna putih, peralatan makan perak berkilau, lampu-lampu aromatik cedar melegakan saluran pernapasan, gelas-gelas kristal berbanjar, meja prasmanan panjang di dekat jendela raksasa berisi beragam menu-menu penggugah selera.
[ Surga remaja berkekuatan super. ]
"Pukul aku, Margo." ucap Jean merasakan lidahnya kelu bukan main.
Meja dewan staff, para pembimbing terpisah khusus memimpin di depan sana. Bendera kebanggan akademi berkibar di sekeliling ruangan, berikut spanduk bertuliskan bahasa latin yang Jean belum tahu apa artinya. Lukisan-lukisan besar abstrak berbaris di kanan kiri, pilar-pilar emas di mana-mana.
"Duduk di sini." ajak Margo menarik kursi.
Jean tersenyum, "Makasih."
"Meira, ini teman sekamar baruku – Jean Venthallow Argent. Yang aku ceritakan pada kalian."
Meira tersenyum lebar, menjabat tangan Jean hangat. "Meira Hawthorne, selamat bergabung, kau dari mana?"
"Aku dari London." jawab Jean mengulas senyum manis.
"Oh, ya? Aku juga dari London – Watford sih tepatnya." sahut gadis yang duduk di seberangnya, dia berambut blonde dikucir kuda, sepasang mata saphirenya menatap Jean antusias. Dia menjabat tangan Jean. "Rhylee Everleigh, salam kenal. Kau yang terkenal di berita itu kan?"
Senyum Jean kontan lenyap, merasa ciut bila membahas perihal itu. Seorang pembunuh memang akan selalu dikenal sebagai pembunuh, di mana pun dia berada. Jean alami situasi ini sekarang. Terganggu, risih, sekaligus muak.
"Ayolah, Lee. Enggak perlu dibahas." Meira menyikut rusuk Rhylee, memelototinya sangar.
Rhylee mengangkat tangannya, "Kenapa? Maaf, bukannya apa-apa. Tapi, sumpah kau sangat keren. Aku melihat rekaman yang tersebar di internet. Aku benar-benar kagum padamu, Jean. Sebenarnya kau punya berapa kekuatan, sih?"
Jean mengangkat bahu, "Aku belum tahu. Itu sebabnya aku mau belajar."
"Biasanya yang kuat selalu merendah diri, ya?" kata Lee bersidekap, meneliti Jean lekat-lekat.
Margo mendengus, "Jangan merusak suasana makan malam ini, Lee. Kumohon, biarkan dia beradaptasi dan berhentilah menakutinya. Lee memang begitu, Jean. Kelewat kritis dan ucapannya agak nyelekit, kau harus maklumi tapi pada dasarnya dia baik hati, kok."
"Dan, enggak fake. Itu yang kita suka darinya." tukas Meira mencubit pipi Lee gemas.
Rhylee terpingkal geli sekaligus meringis, "Aku coba bersikap menyenangkan padanya. Santai… kalian enggak perlu semarah itu 'kan?"
"Ambil makanannya sendiri, Jean. Di prasmanan itu, kau bebas pilih apa saja yang terpenting jangan sampai disisakan, kuperingatkan kau." Margo menekan kalimat terakhirnya.
"Yeah, kalau kau enggak mau buat Bridget marah." Lee terkikih sembari mengancam tepatnya.
"Woo, anak baru punya banyak pelindung rupanya." sapaan sinis itu menyita perhatian Jean.
Ketiga gadis itu bermuka masam, sikap kurang bersahabat kental senyuman mengejek. Cekikikan pandangi Jean melalui sorotan mata merendah. Mereka paling mencolok di antara murid lain sebab mengenakan pakaian serba branded dari ujung kepala sampai ke kaki.
"Pembunuh tetap saja pembunuh." bisik gadis berambut madu pada kedua teman lainnya, mereka kontan tergelak.
Jean merasa tercubit hatinya, moodnya langsung jelek. Matanya berkilat menahan percikan-percikan api kemarahan dalam dada.
"Hei, Queenbee. Bukankah ada pekerjaan rumah yang harus kalian selesaikan?" Meira angkat suara, "Masih punya muka? Enggak ingat kecurangan kalian kemarin di turnamen Corvus? Rikuh banget pasti."
"Tutup mulutmu, Hawthorne! Aku bicara pada si pembunuh itu! Kelas rendahan sepertimu enggak pantas bicara denganku!" murkanya melempar serbet.
Meira menghindar sigap. Serbet itu jatuh ke lantai.
"Kau mencium itu? Sesuatu yang busuk?" Rhylee mengesang kuat, mengibas tangan di depan hidung runcingnya dan memasang tampang muak. "Ah! Aku paham, bau busuk orang-orang yang sok berkelas tapi enggak punya otak?!"
Meira dan Margo pun terpingkal geli di kursinya.
"Apa kau bilang?! Kau berani padaku?!"
"Sejak kapan aku takut padamu, Lexie?"
Margo menepuk pundak Jean dan menggeleng.
"Jangan di dengarkan. Banyak staff dan dewan di sini. Pergilah, ambil makananmu."
Mengambil peralatan makannya, Jean menghela napas panjang. Mencoba bersabar dan mengalah lagi, baru saja dia memuji tempat ini, mendapat teman seru beragam karakter. Mengingat di depan sana Mrs. Elvana diam-diam tengah memperhatikannya. Jean melangkah ke prasmanan, memilih menu roast meat dan black pudding demi perbaiki moodnya.
[ Yang waras sebaiknya mengalah saja. ]
Namun menu incarannya tertahan kala tangan lain hadir ikut memilih menu yang sama.
"Ups, maaf."
"Azael? Kupikir siapa, kau mau black pudding? Ambil saja. Aku bisa cari menu lain."
Sayangnya black pudding hanya tersisa satu porsi, Jean pun mengalah. Memilih fondant au chocolat noir sebagai gantinya, itu pun porsi terakhir. Kebanyakan slot prasmanan ludes disapu bersih, hanya menyisakan sisa-sisa remahan saja.
"Benar untukku? Makasih. Kulihat kau sudah membaur dengan teman sekamarmu?" Azael tersenyum lebar.
Jean mengangguk, mengulum senyum manis. "Yeah untunglah, aku mendapat teman sekamar yang menyenangkan."
"Bagus, aku turut senang mendengarnya. Kupikir kau akan betah di sini."
"Yah, sejauh ini keren. Hanya di sini aku merasa aman." Jean mengambil air mineral, tambahan beberapa potongan buah segar di atas piringnya. "Jadi shadowcaster punya meja sendiri? Sepertinya kalian istimewa sekali di akademi?"
"Anggap saja perkumpulan pasukan-pasukan elit, dari yang terbaik dan paling terlatih di akademi. Kalau akademi berada dalam bahaya kami juga yang maju paling pertama."
Jean meneliti tato berlambang leo bersayap hitam di tengkuk Azael yang bersinar di bawah cahaya temaram keemasan lampu kandelar. Kalau tidak salah Rhett juga punya tato solid berlambang Pegasus.
Mata Jean berbinar jernih, "Keren."
"Baru menyadarinya? Kau lihat semua di meja itu? Isinya berwajah rupawan dan menawan. Aku sampai bosan mendengar cewek-cewek meneriaki kami di mana-mana."
Dahi Jean mengerut, "Kau enggak menyukainya kalau mereka mengagumimu? Jadi apa sebutannya? Penderitaan orang tampan dan populer? Happy? Agony? Kutukan?"
Azael malah tergelak, Jean tak mengerti mengapa pemuda itu tertawa sedemikian terpecahnya. Melihatnya tertawa hingga tersengal seperti itu, tanpa sadar membuat jantung Jean berdebar resah.
"Omong-omong, bagaimana kondisi Rhett? Dia enggak bergabung di meja makan tampaknya?" Jean diam-diam menghela napas, mengatur ritme jantungnya sendiri. Berharap pipinya tidak merona.
"Oh, ya. Racun yang menyerangnya telah menyebar ke paru-paru. Dia sempat kesulitan bernapas juga alami waktu kritis. Sampai sekarang Rhett belum sadar, tapi syukurlah masa kritisnya lewat. Dia harus dirawat insensif sebab racun itu memang berbahaya. Terlambat sedikit saja, Rhett tidak akan selamat."
Wajah jelita Jean tertekuk murung, "Aku belum sempat berterima kasih padanya, dia menyelamatkan aku dari serangan dark legion. Kalau boleh tahu dia dirawat di mana?"
"Rumah sakit akademi, gedungnya terpisah. Kau tahu 'kan taman tengah? Ada bangunan di sebelah kanan. Itu tempatnya. Dekat dari kelas tingkat dua. Rhett cerita sedikit tentang kekuatanmu, katanya kau lumayan 'powerfull' untuk seseorang yang belum pernah belajar kuasai kekuatanmu. Caramu menghabisi dark legion, itu keren. Kau pasti sangat berbakat." puji Azael tulus. Matanya berkilat-kilat teduh.
"Kau juga mau bilang sudah melihat rekaman yang disebar di internet? Aku mengerikan, ya?"
Azael terhenti untuk menatap Jean intens, "Tergantung kau mau melihat dari sudut pandang mana. Kau tahu, Jean? Sepertinya Principal punya rencana misterius dan besar untukmu."
Dahi Jean mengerut dalam, "Maksudnya?"
"Sampai nanti, Jean." Azael meninggalkan Jean, mengulas senyuman miring beraura misterius.
Berpisah di sana, benak Jean pun diliputi beragam pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab.
[ Rencana misterius? Besar? Maksudnya? Ah! Dia mungkin cuma menggodaku saja.]
Belum mencapai kursi duduknya lagi, langkah Jean sontak terhenti saat menyadari seluruh mata gadis-gadis di penjuru aula makan itu memelototinya dengan garang. Tatapan-tatapan berang penuh aura ingin melumat Jean detik itu juga, menguarkan keheningan mencekam di sekelilingnya.
Bulu roma Jean meremang, susah payah menelan salivanya sembari mengesah dalam hati. Lupa kalau Azael Faulkner Draven adalah shadowcaster paling populer, tampan dan digilai gadis-gadis seantero akademi.
[ Waduh? ] keluh Jean membatin.
.
.