[ Ctaarrrrr! Blaaaarrrrr! ]
Hujan lebat menampar-nampar jendela akademi, tepat ketika semua jendela dan pintu turun ditutup rapat. Gemuruh petir berdentam-dentam di atas langit-langit berkubah, laksa badai lebat menguyur seluruh daratan kastil tiada henti sedari sore tadi.
Guruh petir mencakari puncak-puncak bukit di luar sana, gemerlapan bagai ratusan cahaya blitz yang menyilaukan mata, berpendar dari sela-sela kerai jendela. Udara dingin menelusup ke tulang punggung. Seluruh lampu-lampu di lorong akademi hampir padam.
Jean terlelap gelisah di atas ranjangnya kala bisikan-bisikan remuk redam terus mendesaukan namanya, bayangan-bayangan hitam melayang cepat dari lorong akademi, menghantui tidurnya, peluh dingin sibari sekujur tubuhnya.
Berawal dari jeritan-jeritan pesakitan menggema, potongan-potongan gambaran wajah penderitaan kematian paling terburuk serta tubuh teman-temannya yang dicabik-cabik dengan cara mengerikan, genangan darah di mana-mana, api merah bercampur api hitam berkobar di sekelilingnya.
[ Jean… ]
Badan Jean bagai disengat listrik, dia sempat mengejang kuat sesaat dan meracau aneh dengan kedua mata terpejam.
[ Jean… ]
Desauan itu terdengar lagi, kali ini kian jelas. Dalam mimpinya Jean seolah berdiri di tengah-tengah kota megah yang porak-poranda dilahap api. Langit malam di atas cakrawala terbelah semerah darah.
Melihat hamparan lahar panas membentang di depan matanya, sensasi terbakar di seluruh kulitnya terasa sangat nyata. Semua bangunan pencakar langit melebur hancur, aspal-aspal di bawah kakinya retak memuntahkan serangkaian api-api hitam, barisan mobil-mobil meleleh kala Jean melangkahkan kakinya.
Seakan berjalan membelah tanah-tanah neraka penuh bara api, jauh di depan sana sesosok siluet mengenakan jubah merah, tampaknya sesosok wanita berambut panjang dengan warna silver menyala.
[ Jean… ]
Jean membatin, mulutnya terkatup rapat tak mampu keluarkan suara. [ "Jadi wanita itu yang terus menyeru namanya? Siapa dia? Apa ini? Di mana aku?" ]
Mata rubin sang wanita berkilat-kilat menyala. Mendamba Jean bagai ngengat terhadap api. Wanita itu tidak berdiri sendirian, ada orang lain berdiri di sampingnya. Wajah mereka tak terlalu jelas, tapi tangan-tangan mereka bercahaya dengan warna-warna berbeda.
Sesuatu menukik tajam dari langit yang terbelah, makhluk-makhluk hibrida bersayap berkelebatan. Menggeram dengan suara-suara mencekam.
Kedua tangan Jean tiba-tiba dililit sebuah rantai, belitannya begitu kuat dan menjalar ke kakinya. Rantai itu berasap, melepuhkan seluruh kulitnya. Jean ingin menjerit sekuat tenaga, namun kerongkongannya terkunci rapat.
[ Jean… kau milikku… ]
Jean roboh di sana, rantai itu mengikatnya begitu kuat hingga dia tak mampu memberontak atau melepaskan diri.
Wanita itu kini tepat di hadapan mata Jean, kulitnya pucat bagai mayat. Pipi tirusnya tajam, sepasang matanya menyala. Tangan dinginnya menangkup kedua pipi Jean. Kekuatan dalam tubuh Jean langsung menggeletar dan bereaksi. Hawa panas menyiksa selimuti badannya.
Kulitnya terkelupas, cahaya menyilaukan mulai mencabik-cabik tubuh Jean dari dalam −
"Nooooo!!"
Demi apa pun, Jean menjerit histeris dan terlonjak dari pembaringannya. Dengan napas sedemikian memburu, keringat memanas serta linglung kelabakan. Dia bereaksi defensif terhadap apapun di sekelilingnya. Termasuk sentuhan lembut dari Margo.
"Ada apa, Jean?" Margo terbangun dari ranjangnya, mengusap kedua mata. Jeritan Jean ikut mengejutkannya. "Kau kenapa? Tenanglah. Kupikir itu cuma mimpi buruk."
[ Blaaaaaaaaaarrrrr! ]
Petir meledakkan jantung, bagai dihantam palu. Jean merapat lututnya ketakutan. Menatap ngeri ke arah jendela, kerjapan petir menari-nari di jendela. Jean menutup telinganya dengan kedua tangan. Mengatur napas, berupaya berpikir jernih.
Pandangan mata Jean berkeliling, ia aman berada di dalam kamar asramanya, tak ada ancaman apa pun selain Margo.
Mimpi itu benar-benar terasa sangat nyata, gambarannya sangat mengerikan.
"Go… maafkan aku. Kau benar… cuma mimpi buruk." Jean mengesang, merasakan badannya masih syok. Tangannya meraup muka frustrasi.
"Tentu, kau akan baik-baik saja. Kembali tidur, Jean. Beristirahatlah. Ini masih subuh. Aku di sini, kau enggak perlu takut apa pun."
Jean mengangguk, jauh lebih tenang sekarang. "Aku butuh minum. Maaf mengganggumu, Go."
Meninggalkan Margo di ranjangnya, Jean masuk ke wastafel. Membasuh wajahnya dari dinginnya air keran, segarnya air bening itu merengangkan syaraf-syararnya yang menegang.
Jean yakin, insomnia akut akan membayangi tidurnya lagi.
.
.
"Jean?"
Langkah kaki Jean terhenti kala mendengar suara Mrs. Elvana menyeru namanya menggema di antara lorong kelas.
"Mrs. Elvana?" Jean kontan tersenyum manis, menunjukkan salam hormat.
Senyum hangat terbingkai manis di bibir merah Elvana, tangannya merengkuh pundak Jean lembut, berjalan beriringan menuju taman tengah. "Bagaimana? Nyaman 'kan di akademi?"
"Tentu saja, sangat menyenangkan berada di sini. Mrs. El. Suatu kehormatan, ini fantastik."
"Syukurlah, kalau kau merasa nyaman. Yah, aku melihat beberapa catatan dari pembimbing akhir-akhir ini tentangmu. Nilaimu memuaskan di segala bidang, ya? Bagus sekali, pertahankan itu."
Jean mengangkat bahu, "Aku hanya mencoba berbaur, tapi masih banyak yang lain skillnya jauh lebih hebat dibandingkan aku, Mrs. El. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka."
"Ah, aku seringkali mendengar seseorang merendah begitu. Ternyata, kalian memang sama persis, ya?" Elvana tergelak sendiri.
Jean terkesiap, dahinya terlipat dalam. Agak bingung, "Mak – sudnya, Mrs. El?"
Lagi-lagi Elvana pasang senyum misterius, mengusap punggung Jean pelan. "Pertahankan nilaimu, ya? Jangan kecewakan aku, sayang. Kalau kau butuh bantuan apa pun, temukan kesulitan, jangan sungkan untuk mengatakannya padaku. Ini biar jadi rahasia kita berdua, ya?"
"Terima kasih banyak, Mrs. El. Aku sangat menghargainya." Jean mengangguk, tertawa kecil.
Elvana menggenggam jemari Jean, air mukanya penuh simpati. "Satu lagi, apa pun yang dikemukakan oleh berita, artikel Essex, atau internet tentangmu. Aku tahu itu tidak adil, sangat mengesalkan rasanya. Akun-akun dan situs-situs itu melontarkan kata yang kurang pantas. Andai saja aku tahu siapa mereka, sudah pasti kuhabisi. Jangan kau dengarkan, kumohon jangan sampai terpengaruh apalagi sampai kau masukan ke dalam hati. Tinggalkan apa pun, itu masa lalu. Pikirkan saja masa depanmu di sini. Kau aman di sini bersama kami, tak perlu risau atau cemaskan apa pun, ya?"
Jean mengangguk mantap, senyum manis terbit di bibir ranumnya. Ia lupa kalau Mrs. Elvana bisa membaca pikiran orang lain. Sudah pasti, beliau membaca segala kecemasan yang membebani hatinya saat ini.
"Kau harus bahagia, sayang."
Berpisah di sana, sebagian hati kecil Jean terasa lega. Ia menatap punggung Elvana menjauh kemudian lenyap di pintu institut utama khusus milik staff dan dewan akademi.
Semua orang menerimanya di sini, bahkan memahami dan menoleransi tindakannya di masa lalu. Dukungan beliau barusan sangat berarti baginya, melebihi apa pun.
[ "Aku enggak mau membuka ponsel…" ]
Jean mematikan mesin ponsel sejak kali pertama kedatangannya di akademi, menyimpannya di laci almari. Ia tak akan pernah bisa membayangkan bagaimana ngerinya media sosial menghakiminya.
[ "Lalu, bagaimana kabar keluargaku, ya? Apa mereka bisa mengatasinya? Tetap saja aku merindukan mereka? Aku memang lemah!" ]
Helaan napas berat lolos dari hidung runcingnya, kepala Jean nyeri sedari pagi. Badannya sakit semua. Semalaman Jean sulit tidur setelah diserang mimpi buruk yang entah apa artinya.
Mimpi buruk itu terasa sangat nyata, hampir setiap malam menyerang dan membuat psikisnya terguncang. Kacaukan jam-jam istirahatnya. Jean alami insomnia akut di malam hari, pergulatan batin menyebalkan, rasa bersalah yang kian membuat palung jiwanya hampa.
[ "Apa aku harus temui, Jeo? Meminta nasihatnya? Dia seorang dokter apa bisa membantuku?" ]
Jean meraup wajahnya frustrasi. [ "Aku bahkan belum bisa mengatasinya sampai saat ini. Lama-lama aku bisa gila dan hilang kewarasanku. Marah saja bisa membuatku meratakan daratan dan membunuh orang lain. Bagaimana kalau aku gila nantinya?" ]
Nyerinya terasa sampai detik ini, saat di mimpi Jean ingat bagaimana hawa panas menyiksa membuncah dari dalam tubuhnya. Ujung kepala sampai ke ujung kaki, kulit tercabik-cabik, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum berkali-kali. Mungkin begitulah yang dirasakan teman-temannya waktu itu.
[ "Ini hukuman untukku, aku memang pantas mendapatkannya. Aku pengecut, lari setelah membunuh mereka." ]
Jean muram sepanjang hari. Menghela napas panjang, melanjutkan langkahnya ke kelas Mrs. Adaline Petrichor – khusus untuk Jean satu-satunya kelas mengendalikan amarah.
Banyak hal membebani pikirannya, termasuk ucapan Azael kemarin. Rasanya Jean mau berteriak sekencang-kencangnya.
[ Bisa-bisanya dia melakukan hal kekanak-kanakan begitu?! Memangnya dia siapa?! Mentang-mentang pemimpin shadowcaster! Awal ketemu dia memang keren, waktu di aula makan masih keren. Sekarang enggak lagi! Menyebalkan! Astaga! Kepalaku mau pecah rasanya! ]
Bersungut-sungut tak jelas sedari tadi, Jean mengacak-acak surai gingernya jengkel sendiri. Jantung Jean berdentam hebat. Matanya membeliak nanar. Azael tiba-tiba ada di sana, melintas berjalan santai di lorong bersama Hunter, Carver dan Rhett. Tawa mereka terpecah, berbincang lantas menertawakan sesuatu.
Kaki Jean mematung, kelabakan ditempatnya. Entah mengapa darah malah naik ke pipinya, ia harus pergi. Menghindar. Tapi ke mana?
Satu-satunya yang terlihat, pintu perpustakaan. Jean buru-buru masuk, tanpa pikir panjang. Mengamankan diri di dalam sana. Satu-satunya tempat paling damai, tenang, di mana murid-murid lain sibuk dengan dunianya sendiri. Jean menilik arloji, masih ada waktu sebelum pertemuannya bersama Mrs. Petrichor berlangsung.
Jean malas benar berurusan dengan mereka. Jantungnya selalu kacau-balau berada di dekat Azael, semakin Jean membencinya malah kian membuat wajah tampan pemuda itu berseliweran di benaknya.
[ "Sial! Aku memang harus mengakui Azael itu tampan, hot, mata teduhnya dan senyumannya itu sangat memikat!" ]
Kaki Jean terhenti di salah satu lorong di mana rak-rak buku berbanjar rapi. Perpustakaan Akademi Lucelence punya gaya arsitektur 'majestic' dengan kubah-kubah besar di langit-langitnya.
Warna putih cerah, emas, lantai marmer berkilauan mendominasi dan pilar-pilar besar lagi.
Jutaan buku berbaris rapi, terdapat tiga lantai menjulang ke atas serta balkon-balkon dengan barisan meja kursi panjang di samping jendela raksasa yang menyuguhkan pemandangan hulu sungai jernih membentang di belakang kastil.
Pelataran lembah-lembah kehijauan, kabut-kabut mistik turun gunung, luasnya hamparan mega-mega seputih kapas di atas cakrawala melebihi keindahan lukisan tangan seniman andal sekali pun.
Jean mengambil buku sekenanya, sekalian duduk di balkon untuk menikmati pemandangan indah itu, di tengah kesunyian, kedamaian, jauh dari siapa pun.
[ Buku psikologi, bagaimana mengatasi PTSD berkepanjangan? ]
Jean benar-benar mengutuk di dalam hati, bagaimana bisa tangannya mengambil buku perihal ini? Padahal, dia mengambil asal-asalan tadi. Tanpa melihatnya, tanpa peduli.
Berdecak sebal, [ "Bagus sekali, Jean. Sekalian saja kau pelajari." ] pikirnya membatin. Termangu, membuka satu per satu halaman, barangkali buku ini bisa membantu kesulitan mentalnya.
"Sedang baca apa?"
Jean nyaris terpelanting dari kursinya, hampir-hampir menjerit saking terkejutnya. Azael mendadak muncul, lagi-lagi menggunakan teleportasinya. Tiba-tiba duduk di kursi sebelah Jean, tersenyum seksi tanpa merasa bersalah.
Azael sontak mencengkeram lengan Jean, menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Kepala Jean mendarat di dada berbidang pemuda itu.
"Hap! Untung tertangkap." katanya tersenyum lebar.
Jean sempat terpana oleh kehangatannya, kemudian segera tersadar dan mendorong Azael sejauh-jauhnya. Ia merasakan kedua tulang pipinya memanas, jantungnya berdegub tak karu-karuan.
Ia memang sudah tahu, dekat-dekat dengan Azael sangat tidak bagus untuk jantungnya.
Azael terkikih, "Maafkan aku. Mengejutkanmu. Kau menghindar 'kan tadi? Kenapa? Karena ada Rhett?"
Jean memberengut, memukul lengan Azael jengkel menggunakan buku tebal di tangannya. "Jangan tertawa! Berhenti melakukan itu! Aku bisa mati berdiri!" geramnya berbisik, sembari melotot garang.
Azael meringis nyeri, matanya menyipit merasakan lengannya panas oleh hantaman buku itu barusan. "Aku 'kan sudah minta maaf. Baiklah, aku enggak akan melakukannya lagi. Habisnya kau pergi begitu saja. Kenapa? Masih marah masalah kemarin?"
"Menurutmu?! Kau tahu 'kan kalau aku marah bagaimana? Jangan macam-macam denganku!" ancam Jean bersungut.
Kali ini Azael memangku dagunya, matanya mengerling. "Kalau marah kau tambah cantik."
"Diam kau!" gerah Jean berdiri dari kursinya. "Minggir! Aku harus ke kelas Mrs. Petrichor."
Azael merebut buku di tangan Jean, matanya mendelik terkejut. "Gangguan stress pasca trauma? Kenapa kau baca ini?!"
.
.