"Maaf, permisi?"
Jean mengetuk pelan pintu berplakat nomor 21 itu, kepalanya menyembul di balik pintu. Mata jernihnya berkilat-kilat, mencari keberadaan Rhett Valentine.
Bangsal serba putih itu luas sekelas ruangan perawatan utama, furniturnya modern, tirai-tirai putih tulang tersingkap merapat ke dinding. Jean terkejut melihat sofa empuk berlengan panjang di sudut kamar rawat itu penuh oleh tumpukan kotak-kotak kado, bunga-bunga penyemangat berisi kata-kata motivasi agar Rhett cepat pulih, atau kumpulan surat-surat bercap tanda hati dibagian perekatnya.
Jean malah datang dengan tangan kosong.
"Siapa?" Rhett bertanya, suaranya terdengar serak. Punggungnya bersandar di dipan ranjang crank.
"Ini aku, Jean Argent."
Rhett tersenyum lebar untuk menyambut gadis bersurai seterang senja itu, "Oh, Jean. Masuklah. Sengaja datang untuk menjengukku?"
Susah payah Rhett bergerak, meringis pelan kala mencoba mengubah posisi badannya yang hendak menyandarkan punggung di dipan crank lebih tinggi. Jean bergegas menghampiri untuk ulurkan bantuan, menekan tombol peninggi dipan otomatis dari bawah ranjang.
"Lebih baik?"
"Iya, cukup nyaman. Thanks." jawab Rhett mengangguk pelan, masih menyeringai lebar.
Wajah Rhett pias sepucat kertas, tetapi tidak kuyu seperti di malam itu. Lingkaran hitam yang menebal di bawah kelopak mata seolah ikut memperburuk kondisinya. Ditambah kulitnya tampak sepucat mayat.
Kali ini mata Rhett terlihat lebih bercahaya, seolah kehidupannya telah dikembalikan sepenuhnya, kulit pemuda itu merona serta bibir penuhnya mulai berwarna cerah lagi.
Jean menunduk sembari memilin jemarinya, "Maaf aku datang menjenguk enggak membawakanmu apa-apa."
Sontak Rhett terpingkal geli, meski tawanya terpecah singkat sebab pergerakan diafragmanya terbatas paska pemulihan. Tawanya lenyap, digantikan oleh serangan batuk. Berulang kali Rhett berdeham kencang untuk mengatur napasnya yang masih seringkali terasa sesak, "Enggak usah repot, Jean. Aku enggak akan sempat membuka kado-kado, surat atau apa pun itu. Biar saja, jadi urusan Hunter nanti. Kalau aku, pasti langsung kubuang. Kau tahu kenapa? Isinya kurang penting."
"Bagaimana kondisimu, Rhett?"
"Yah, kau lihat sendiri. Aku sangat beruntung. Jeo bilang aku sempat kritis, tapi syukurlah dia bisa merawatku dengan baik. Membuang racun di dalam tubuhku sampai bersih. Kabar baiknya lagi, enggak sampai mengganggu kekuatanku."
Tato solid Pegasus di lengan atas milik Rhett berkilauan, Jean yakin itu sama aslinya dengan yang dimiliki Azael, kalau mengingat penjelasan teman-temannya, katanya itu terhubung pada kekuatan mereka.
Jean mengangguk, air mukanya terlihat lega. "Semoga kau lekas pulih, Rhett. Aku belum sempat berterima kasih padamu soal kemarin. Sekali lagi, terima kasih banyak karena kau telah menyelamatkan aku waktu itu."
"Bukan masalah, itu karena kehebatanmu sendiri, Jean. Aku sudah melihatnya dengan jelas, kau memang 'badass'." Rhett menelengkan kepalanya, masih tak percaya kalau gadis di depan matanya ini punya kekuatan lumayan 'powerfull' bagi seorang pemula.
"Itu karena aku merasa terancam, kalau dipikir-pikir luar biasa juga, ya? Ternyata mengendalikan kekuatan enggak semudah yang dibayangkan. Di kelas Mr. Collson, berkali-kali aku gagal menerbangkan objek. Tetapi hanya karena amarah, aku meratakan Essex dan membunuh teman-temanku. Aneh 'kan?" Jean bersungut benci pada dirinya sendiri, baginya itu aib paling memalukan seumur hidupnya.
Rasa bersalah tak terperi serta trauma yang bersemayam di batinnya memicu stress akut hingga Jean diserang serangkaian mimpi buruk mengerikan, sampai detik ini belum mampu dia atasi.
Rhett tertawa kecil, "Kupikir kau harus lebih santai sedikit, Jean. Aku pernah mendengar, bahkan seorang manusia biasa pun, bisa berubah jadi perkasa saat terjebak dalam situasi genting."
"Asalkan aku masih bisa mengakses kekuatanku dan kendalikan amarahku, kurasa enggak akan ada masalah. Wakil principal bilang kemarahanku adalah masalah utamanya. Aku harus lebih hati-hati."
"Kau merasa bersalah, Jean?" tanya Rhett memandang Jean intens. Tidak sulit baginya membaca karakter gadis itu. Dia memang kuat, tetapi batinnya menanggung luka mendalam dan sangat rapuh.
Jean melirik Rhett dari sudut matanya, pertanyaan itu menohok tepat ke jantungnya. Sorotan matanya sarat kepedihan, ia menghela napas lesu dan mengangguk letih. "Sangat… entah apa ada yang bisa kulakukan untuk memperbaikinya. Sebenarnya di malam itu, aku sempat ingin akhiri hidupku. Aku enggak sanggup menanggung beban psikologis yang terus membayangiku setiap saat. Teriakan-teriakan permohonan mereka demi kesempatan hidupnya, amis darah kental di mana-mana, tubuh teman-temanku yang tercabik-cabik, penglihatan itu sangat mengerikan."
Rhett membisu, tetap meneliti wajah jelita itu lekat-lekat. Sesuatu membuncah di dalam batin pemuda itu, antara empati, simpati besar atau peduli?
[ Apa yang kupikirkan, sih? ] Rhett membatin, segera kuasai lamunannya. Sejak kapan shadowcaster peduli pada gadis-gadis akademi?
"Maaf, aku malah meracau ke mana-mana." Jean sekonyong-konyong tersenyum lebar, mengusap kedua tangannya di atas pangkuan. Moodnya memang gampang sekali berubah. Entah mengapa suasananya jadi aneh dan beku seketika. "Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu, Rhett."
"Silakan, aku bantu jawab selagi aku bisa."
"Dark legion, pemimpin terkutuk dan Talon Viper. Siapa mereka? Dan apa hubungannya denganku?"
Kali ini mata Rhett meredup, bibirnya terkatup rapat. "Mengapa kau bertanya perihal itu?"
Jean mengangkat bahu, "Aku penasaran, kata-kata wakil principal agak mengganggu pikiranku sebenarnya. Itu membuatku sangat gelisah, meski enggak begitu jelas. Entahlah, anggap saja intuisiku?"
Jean pun gelisah dengan kata-kata Azael di aula makan tempo lalu.
[ Principal, rencana misterius, besar? ]
"Hey, Rhett?! Aku datang!" suara riang Azael sontak membuyarkan segalanya, Jean berharap dapat jawaban pasti dari Rhett. Tetapi tampaknya tidak hari ini, sepertinya ia akan kembali ke kamar dengan tangan hampa.
Dan raut wajah Rhett agak mencurigakan, Jean yakin shadowcaster pasti tahu sesuatu.
Berbeda dengan Rhett, kedatangan saudara seperjuangannya itu benar-benar tepat waktu. Sebab dia kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa pada Jean untuk menjawabnya.
Azael membuka pintu lebih lebar, air mukanya agak terkejut mendapati keberadaan Jean di sana. "Jean?!"
"Hai." sapa Jean melambai tangan singkat dan tersenyum lebar. "Ingatkan aku bertanya di aula makan tempo lalu?"
"Oh, ya. Tentu saja, aku ingat itu." Azael menutup pintu di belakang punggungnya, menghampiri ranjang Rhett untuk menepuk pelan pundak sahabatnya itu. "Rhett, kulihat kau sudah lebih baik, syukurlah."
"Iya, jauh lebih baik." ungkap Rhett penuh rasa syukurnya. Tersenyum, mengguncang jabatan tangan Azael erat, "Mana yang lain?"
Azael melipat tangan di dada, otot-otot rahangnya melejit-lejit menahan jengkel. "Hunter dan Carver masih sibuk di ruangan wakil principal. Nanti mereka juga datang. Kenapa? Kau merindukan mereka? Dan, Jean. Sudah berapa lama kau di sini?!"
"Aku baru datang." Jean mengedikkan bahu. Entah kenapa dia malah menelan ludah, ada yang aneh dengan sorotan mata Azael. Tidak seperti biasanya, pernyataan Azael sekarang lebih tepat tengah memarahi dirinya dibandingkan bertanya dengan sopan.
"Urusanmu sudah selesai atau belum?" tanya Azael lagi, intonasinya agak sinis kali ini.
[ Kenapa dia semarah itu? ] pikir Jean heran.
Rhett diam-diam ikut melirik Azael dari sudut matanya melalui sorotan mata heran sekaligus bingung, [ Ada apa ini? Kenapa dengan Azael? Mendadak seperti anak kecil sedang mengamuk? ]
Jeo mengetuk pintu dari luar, membuat Jean, Azael dan Rhett menengok bersamaan. Jeo datang membuka pintu kamar rawat Rhett Valentine, pasang senyum lebar hangat sembari mendorong troli berisi nampan makanan, kantong cairan infus baru berwarna biru pucat, dan waktunya bagi Rhett Valentine meminum obat-obatan.
"Oh, Jeo. Sampai kapan aku harus meminum obat-obatan itu? Rasanya menjijikan, membuatku mual." keluh Rhett langsung menolak mentah-mentah saat melihat mangkuk steinless steel itu hadir lagi kesekian kalinya. Kepalanya berdenyut hebat walau belum menyentuhnya.
"Jangan mengeluh, kau mau sembuh atau enggak? Mana ada obat-obatan rasa enak. Semakin pahit dan menjijikan, khasiatnya malah luar biasa, Valentine." kata Jeo sengaja memasang tampang menghantui.
"Aku sudah sembuh, jadi enggak perlu minum obat lagi 'kan?" bela Rhett masih menolak.
Jeo menyuguhkan nampan makanan, "Habiskan. Berhenti merengek. Bagaimana bisa seorang manja sepertimu jadi shadowcaster, huh? Azael, maukah kau membantuku?"
"Apa?" Azael malah penasaran. Alisnya terangkat sebelah.
"Pegang tangannya, biar kucekoki obatnya." Jeo tertawa bagai seorang maniak. Sorotan matanya menakutkan.
"No way?!!" Rhett Valentine kontan mengerang, nyaris melompat dari ranjang rawatnya. Azael bersungguh-sungguh, serius menerkam Rhett sekuat tenaga, Jeo persiapkan terror obat-obatannya dan kian diselimuti tawa jahatnya.
Jean pun terbahak, tak mampu menahan ledakan tawa dari relung perutnya yang terkocok-kocok oleh tingkah gila ketiga pemuda rupawan itu.
.
.
"Kau enggak mungkin menemui Rhett Valentine cuma untuk bilang terima kasih 'kan?"
Jean berjengit terlonjak, nyaris menjerit ketakutan saat Azael tiba-tiba mendadak muncul melalui kekuatan teleportasinya dan menghalangi jalan Jean.
"Azael! Kau membuatku terkejut setengah mati!" Jean hampir-hampir tembakkan kekuatannya. Untungnya, ia bisa langsung kuasai diri saat tahu Azael Faulkner Draven ada di hadapan matanya.
Asap merah menguar dari sekujur tubuh atletis milik Azael, perlahan-lahan lenyap disapu angin. Jean benar-benar merasakan jantungnya nyaris copot dan hendak melompat keluar.
"Pasti ada sesuatu 'kan?" tanya Azael lagi, kali ini menatap Jean datar. Melangkah maju, mengintimidasi Jean dan terus memangkas jarak.
Dada berbidang Azael menjulang tinggi di depan matanya, Jean yang merasa terancam kontan mengambil langkah mundur perlahan-lahan. Tiap kali Azael pangkas jarak, Jean hanya mampu menghindar ke belakang selangkah demi selangkah.
"Ada apa denganmu? Kau tahu benar aku datang ke sana untuk apa? Mengapa semarah itu?" kaki Jean terhenti kali ini, punggungnya merapat dinding. Ia tak bisa pergi ke mana-mana.
Azael mengunci Jean di sana, merapat kedua tangan kekarnya di dinding agar Jean tak bisa kabur. Manik mata biru cemerlangnya meneliti intens ke dalam netra Jean yang indah.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Jean. Aku bisa membacanya, apa yang sebenarnya sedang kau lakukan? Kau mau mencari tahu apa? Rhett Valentine jelas tidak akan mau membantumu."
Jean palingkan pandangannya, menunduk dalam. Posisi ini membuat paru-parunya sesak. Ditambah hentakan jantung yang berdenyut kacau, ia bisa merasakan helaan napas mint milik Azael menyapu lembut wajahnya.
"Itu bukan urusanmu." ucap Jean memberanikan diri.
"Jadi urusanku jika kau membahayakan shadowcaster, situasi kondusif akademi, staf atau dewan. Aku sudah mengatakannya padamu 'kan? Cukup ikuti alurnya, belajar kendalikan kekuatanmu dan mempergunakannya di jalan kebajikan. Diam seperti yang lain."
Kali ini Jean menatap Azael bingung, "Kau mengancamku?"
"Memperingatkanmu, jangan sampai kau terluka karena kecerobohanmu." Azael menghela napas panjang, agak frustrasi.
"Berarti benar, kalian tahu sesuatu?"
"Ayolah, Jean. Kau gadis cerdas dan jenius. Aku percaya padamu, jauhi masalah. Sekecil apa pun itu. Anggap aku memohon."
"Masalah apa yang kau bicarakan sebenarnya?! Kau marah karena aku menemui Rhett Valentine? Atas dasar apa?" Jean benar-benar tidak paham arah percakapan ini.
Azael membatin, [ Pada awalnya, kukira... enggak seperti itu. Tapi nyatanya Rhett juga mulai kepikiran tentangmu? Itu membuatku sangat marah! ]
"Aku harus kembali ke kamar. Aku enggak paham kau bicara apa, Azael. Minggir."
"Kau mendengar aku, enggak?" Azael mulai hilang akal sehat, menghadapi seorang gadis seperti Jean memang menguras batin dan waktu.
"Enggak!" Jean keburu kesal, dalam batin ia tak punya niat buruk terhadap siapa pun. "Kenapa aku harus mendengarkanmu?!"
Jean melengos pergi, namun Azael mencengkeram tangan Jean – mencegah gadis itu melenggang pergi. Rahangnya menguat, "Sebab aku peduli padamu, paham?! Dan bila kau butuh bantuan, mintalah padaku. Aku mulai gila dan tak suka kau memintanya pada laki-laki lain."
.
.