"Pusatkan pikiran, kosongkan dan rasakan kalian terhubung dengan benda-benda di hadapan kalian."
Mr. Collson menggerakan tangan kanannya, buku-buku tebal di atas mejanya melayang teratur di udara. Melesat terbang melintasi langit-langit kelas. Memperlihatkan pergerakannya pada seluruh murid di kelas telekinesisnya.
Jean memandang buku-buku melayang itu melalui sorotan mata berbinar dan antusias, hari pertamanya masuk ke kelas telekinesis sangat menyenangkan. Jean memang ingin sekali masuk ke kelas Mr. Collson Jones sejak kali pertama dia menginjakkan kaki di akademi Lucelence.
"Silakan kalian coba sekarang."
Pikiran Jean terpekur pada benda-benda kubus di depan mejanya, semestinya itu mudah baginya. Berulang kali mencoba namun yang dia lakukan hanya memindahkannya.
[ "Saat melawan dark legion semuanya kulakukan dengan mudah, mengapa sekarang terasa sulit?" ]
Pandangan Jean berkeliling, wajah-wajah mereka asing. Jean tidak tahu kalau kelas diselenggarakan sesuai kekuatan yang dimiliki, sementara di sini belum ada satu pun murid yang dikenalnya sama sekali.
Rata-rata murid lain menggunakan telepatinya disalurkan melalui warna-warna di tangan mereka yang menjadi ciri khas kekuatan mereka masing-masing. Mr. Collson punya kekuatan berwarna biru indigo yang terlihat keren di mata Jean.
Terpisah dari Margo sebab dia harus berada di kelas Mrs. Dupont Wright untuk mempelajari prekognisi lanjutan, Meira mengikuti kelas Mr. Damian Salvatore demi memperdalam kekuatan medikalnya sebagai penyembuh super, dan Rhylee duduk manis di kelas Mr. Strago Martland yang begitu dikaguminya sebab dia pembimbing tertampan kelahiran italia – mengendalikan elemen api adalah kehebatannya.
Sekali lagi Jean berkonsentrasi, meski memiliki kekuatan super ternyata mengendalikannya adalah persoalan tersulit, Jean bisa melakukannya tempo lalu karena merasa terdesak kala nyawanya terancam.
[ "Bayangkan nyawaku sedang terancam." ]
Cara itu pun membuahkan hasil, kubus-kubus itu keluarkan cahaya crimson pekat. Perlahan-lahan mulai bergerak di udara. Mungkin cuma Jean – satu-satunya yang menggunakan telekinesis melalui kendali pikirannya.
"Wow… bagus sekali, Jean. Pertahankan itu." puji Mr. Collson terkesan akan kemampuan Jean, dan menuliskan sesuatu di kertas papan jepitnya.
Kubus-kubus itu melayang kian tinggi, Jean berniat melesatkannya ke langit-langit kelas mengikuti pergerakan buku-buku tebal milik Mr. Collson, sayangnya kekuatan kendali pikirannya hanya berlangsung sebentar. Kubus-kubus itu terjatuh di atas meja lagi.
Jean menghela napas dan tersenyum lebar, cukup senang bisa melakukan itu. Pelan tapi pasti, sedikit demi sedikit dia mulai bisa mengendalikan kekuatannya secara sadar.
[ Lumayan, lain waktu kukendalikan dengan santai. ]
Bisik-bisik meredam di sekeliling ruangan, beberapa di antaranya mendelik sinis ke arah Jean.
[ "Ya… ya, aku enggak berharap banyak. Mereka berpikir aku seorang pembunuh. Semua orang takut padaku, cuma Go, Lee dan Mai yang gila mau menerimaku sebagai temannya." ]
"Coba lagi sampai batas maksimal kemampuan kalian." Ucap Mr. Collson meletakkan kembali buku-buku tebal miliknya sampai mendarat selamat di atas meja.
Mr. Collson menuliskan sesuatu di kertas papan jepitnya lagi, sorotan mata tajamnya meneliti satu per satu kemampuan muridnya.
Jean menghela napas panjang, memusatkan kendali pikirannya lagi. Kali ini tak sesulit percobaan pertama. Kubus-kubusnya melayang di udara, Jean menatap kubus itu penuh perasaan riang, mereka bergerak ke manapun penglihatannya pergi. Kekuatan telekinesisnya kali ini berhasil membawa kubus-kubusnya hingga setinggi langit-langit kelas.
Berniat melesatkannya, sayangnya Jean gagal lagi. Kubus-kubus itu langsung terjatuh bebas ke lantai.
Jean malah tertawa kecil, kemudian mencobanya lagi.
.
.
"Tadi malam itu apa, Jean? Sejak kapan kau akrab dengan para shadowcaster? Aku jelas melihat Hunter Cohen McKnight melambai tangan dan tersenyum manis padamu."
"No way?!" Meira terdengar kurang percaya.
"Aku melihatnya sendiri di depan mataku." kata Margo membela diri.
Margo menuntut jawaban, begitu pun Meira dan Rhylee yang mulai kehilangan kesabaran. Mereka menatap Jean melalui sorotan mata layaknya petugas berwenang tengah menginterogasi seorang tersangka. Ingin tahu penjelasan Jean.
Jean tengah menikmati es krim cokelatnya. Mereka terduduk menikmati hari cerah serta udara sejuk di bawah pohon oak merah yang beranting mendayu rindang di taman tengah akademi.
"Kami cuma mengobrol. Saat penjemputan itu pun aku enggak sengaja bertemu dengan Rhett Valentine, dia dikepung oleh dark legion dan bersimbah darah. Aku berniat menolongnya. Itu saja. Berkat bantuannya aku bisa kalahkan dark legion itu."
"Apa?!! Serius?! Dark legion?! Kau melawannya?! Dengan tanganmu sendiri?! Bagaimana caranya?!" Lee mengguncang-guncang kuat pundak Jean. Puncak es krimnya terjatuh dari cone. Wajah ayunya syok bukan main.
Jean hanya bisa meratapi es krim cokelat itu jatuh di atas rerumputan, Lee terbahak dan mengangkat bahu.
Meira berdecak kagum, "Wah. Kau memang penuh kejutan ya, Jean? Belum ada satu pun murid di sini yang mampu kalahkan dark legion selain shadowcaster."
"Pantas saja mereka sangat terkesan padamu, Jean. Kau berhasil mengalahkan musuh kegelapan paling mengerikan." Margo mengangguk-anggukan kepala, kini ia tahu alasan mengapa shadowcaster bersikap lain dan lebih akrab pada Jean.
"Dark legion itu pencuri jiwa, sekali jiwamu tersedot pilihanmu ada dua – tetap hidup menjadi mayat berjalan atau mati sekalian." Ujar Lee diplomatis. "Bisa kau bayangkan berjalan di muka bumi tanpa jiwa."
Jean merinding mendengarnya.
Meira menggeleng-gelengkan kepala, memandang ke arah Jean penuh takjub. "Azael Faulkner Draven itu jarang berinteraksi dengan seorang gadis di akademi ini. Biasanya dia cuek abis. Sebagai pimpinan shadowcaster, dia sangat menjaga nama baik dan kehormatan kelompoknya. Berbeda jauh saat kulihat dia bicara denganmu semalam. Entahlah, pandangannya terhadapmu sangat berbeda, kau tahu? Seumur-umur aku masuk ke akademi baru tadi malam aku menyaksikan Azael terbahak lepas begitu. Dia tampak senang dan bahagia. Iya, enggak sih?"
"Yeah, maka dari itu para fansnya langsung memelototimu dan ingin membunuhmu, Jean." kelakar Lee terpingkal geli.
Margo menangkup kedua pipinya, berangan-angan. "Hunter Cohen McKnight itu sangat menawan. Aku selalu berdebar-debar kalau melihatnya. Beruntung sekali kau saat dia melambaikan tangan padamu." sambungnya cemberut.
Jean memutar matanya, "Ya ampun, kau enggak tahu saja bagaimana Hunter. Dia menyebalkan, sama sekali enggak menyenangkan. Daripada itu kenapa sih mereka disebut shadowcaster?"
"Azael itu pemimpinnya, Carver Benjamin Hawk adalah penyeimbang, Hunter Cohen McKnight penyokongnya dan Rhett Valentine adalah jantungnya. Bisa dibilang begitu, tato yang ada ditubuh mereka, itu menyiratkan masing-masing tugas dan kekuatan mereka." cericau Margo menjelaskan.
Meira mengulas senyum, dia menambahkan. "Shadowcaster itu pasukan terbaik, terlatih, jenius di antara yang lain. Kau harus punya tiga poin ksatria itu kalau mau bergabung bersama mereka, dan itu sama sekali enggak gampang. Selain tes fisik luar biasa, kau juga harus punya kekuatan di atas 4 grade."
"Maksudnya?" Jean masih kurang paham.
"Kekuatan 4 grade itu, mereka yang punya kemampuan lebih dari satu power. Misal aku pregkonisi, aku juga harus bisa kendalikan api, penyembuh super, telekinesis sekaligus. Rata-rata murid di sini hanya mampu kuasai satu kekuatan saja, 2 grade pun sulitnya minta ampun." Margo menghela napas panjang.
"Aku enggak kuat mencobanya, sangat melelahkan. Shadowcaster ibarat malaikat penjaga. Mereka enggak terjamah cuma bisa dinikmati dari jauh. Hati-hati kalau kau akrab sama mereka, siap-siap jadi bulan-bulanan fansnya." timpal Lee menghabiskan pork rind di tangannya.
Air muka Jean berubah, "Bulan-bulanan? Maksudmu merundung? Memangnya di akademi diperbolehkan? Mrs. Elvana bilang padaku, akademi punya hukuman khusus untuk orang-orang semacam itu."
Margo, Maire dan Rhylee saling berpandangan satu sama lain.
"Memang, tapi perundungan tingkat kecil pun masih sering terjadi di sini. Kupikir staff dan dewan belum mendengarnya, kalau berita ini sampai ke telinga mereka. Enggak ada ampunan lagi buat pelakunya." ungkap Maire menyeruput minuman kemasan favoritnya hingga tandas.
"Kau mau tahu apa hukumannya?" Lee memasang tampang menakutkan.
Jean mengangguk pelan, entah mengapa dia kesulitan menelan ludah.
"Penghapusan kekuatan, itu sangat mengerikan. Seolah separuh jiwamu direnggut. Membunuhmu secara perlahan-lahan."
.
.
[ "Di sini 'kan?" ]
Jean menyusuri lorong-lorong rumah sakit akademi setelah kelas 'terbang' terakhirnya usai, hari ini semua pelajaran yang diikutinya sebenarnya sangat menyenangkan, kecuali pada jam-jam kelas terakhir tadi, dia harus terlibat perang dingin yang sulit dipahami dengan Lexie Coraline dan kedua teman tersayangnya yang menyebalkan.
[ Sungguh melelahkan, sial sekali aku sore ini harus sekelas dengan Lexie dan gengnya. ]
Mata lelah Jean menjelajah kesana-kemari, pastikan bahwa dirinya tidak salah arah atau tersesat. Rumah sakitnya bukan megah lagi tapi luar biasa luas dan epik. Pilar-pilar emas pun tampak di mana-mana, gedung rumah sakit akademi satu-satunya yang menggunakan lantai terbuat dari granit terbaik.
Sewaktu Jean pelan-pelan membuka pintu, dia disambut oleh sesosok pemuda berambut sebahu yang tepekur sibuk di balik meja bundar besar itu, kepalanya timbul tenggelam diiringi suara-suara resakan kertas yang dikumpulkan dan sedang di tata, roda kursi berputar kemudian berderit kasar ketika Jean sampai di muka meja.
"Permisi." Jean menyapa sembari mengulum senyum.
Pemuda itu agak terlonjak dan mendongak, matanya kontan menyipit tajam. Kelihatan heran karena dia sama sekali tak mendengar kedatangan Jean. "Ya? Mau jenguk seseorang?"
Jean mengangguk tanpa membuang senyumnya, "Iya. Aku mau menjenguk Rhett Valentine."
Terdapat papan nama di dada pemuda itu, Jean melirik untuk membacanya – Jeo Alistair. Dia kelihatan seusia Azael, rambut espressonya agak panjang menutupi tengkuk sampai bahu, potongannya terkesan acak-acakan. Jeo rupawan dan bersahaja. Mata keperakan teduhnya menyala indah di lorong rumah sakit.
Jean baru tersadar, kalau akademi Lucelence punya sederet jargon-jargon tampan, menawan dan memesona. Ketampanan mereka seolah bukan berasal dari bumi. Jajaran shadowcaster, dokter rumah sakit yang ternyata masih sangat muda daripada bayangan Jean juga beberapa pembimbing yang sedap dipandang.
Pantas, Mai, Lee dan Go begitu menjerit histeris kala berpapasan dengan idola-idola mereka.
"Ah! Si shadowcaster yang terbangun dari kematiannya?" tanya Jeo beranjak dari kursinya, menyimpan tumpukan berkas di laci paling bawah dan mengulas senyum lebar.
"Hah?!"
Jeo terkekeh, mengibaskan tangan. "Aku cuma bercanda."
Sama persis seperti meja bagian informasi di rumah sakit pada umumnya. Di samping meja bundar besar ini ada papan besar berisi ratusan denah bangsal tertempel di dinding, berikut nama-nama pasien yang sedang dirawat. Jean melihat nama Rhett Valentine tertulis di ruangan berplakat nomor 21.
"Kau − Jean Venthallow Argent, kan?"
[ "Lagi-lagi, siap-siap membahas hal serupa." ] pikir Jean membatin. Menunjukkan sikap defensif. Ia muak mendengar semua orang menyangkut-pautkan rekaman yang tersebar di internet dengannya.
"Para shadowcaster banyak bercerita tentangmu."
[ Deg! ]
Alis Jean terangkat sebelah, agak mengejutkan sebab ternyata ini meleset dari perkiraannya. "Ber…cerita tentangku?"
Jeo mengangguk mantap, tersenyum simpul. "Ya – tampaknya mereka sangat senang kau berada di sini."
"Apa maksudnya, bagaimana mereka bisa senang?" Jean tertawa getir, kurang paham.
"Entahlah, bocah-bocah itu begitu seru membicarakanmu."
Jean mengangkat bahu, enggan berkomentar lagi. "Bolehkah aku masuk?"
"Tentu saja, masuklah. Lurus saja. Di ujung lorong, Rhett dirawat di sana."
"Apa dia sudah sadar?"
Jeo mengangguk, tertawa kecil. "Aku sudah mengatakannya tadi, dia terbangun dari kematian."
"Oh iya, ya? Syukurlah." Jean menarik diri, tinggalkan senyuman lebar.
Jeo pandangi punggung Jean yang menjauh, surai panjang sunsetnya bersinar dan gadis itu punya sepasang mata biru jernih yang mampu menghipnotis siapa pun, Jeo menghela napas pelan, lantas tersenyum.
[ "Yeah, sekarang aku tahu kenapa bocah-bocah shadowcaster itu begitu menggebu membicarakannya. Tapi – gadis itu tidaklah sendirian. Aku merasakannya, sesuatu di dalam tubuh Jean Venthallow Argent. Apa wakil principal tahu persoalan ini?" ] pikir Jeo menggumam. Dahinya terlipat dalam. Entah mengapa bulu romanya meremang.
.
.