"Kau akan belajar di sini untuk mengendalikan kekuatanmu, semenjak insiden di Essex Principal mencemaskan kondisimu, Jean. Dia hanya ingin kau aman."
Map plastik itu berisi lembaran-lembaran detil semua tentangnya, dari data informasi bersifat pribadi, segala kegiatannya di Essex, daftar kekuatan supernatural yang dimilikinya. "Bagaimana bisa kau mengetahui semua tentangku? Aku belum pernah datang ke sini. Maksudku ini semua benar-benar detil dan – tidak ada satu pun yang meleset…"
Elvana tersenyum manis kesekian kali, "Kami mengawasi, memperhatikanmu, sayang. Bakatmu mulai aktif ketika umur 10 tahun. Mulai intens setelah 17 tahunmu terlewat. Ketika kau marah, kekuatanmu kian berbahaya dan sulit dikendalikan. Itu yang jadi masalah, Jean."
Jean menghela napas lesu, mengingat lagi kesalahan dan dosanya, "Ya. Aku bahkan telah membunuh teman-temanku."
"Itu bukan salahmu, sayang. Perundungan adalah permasalahan serius, semua orang membencinya termasuk aku. Sayangnya, beberapa manusia yang kau temui, mereka lebih memilih menutup mata. Kau hanya melakukannya sesuai intuisimu. Kau mempertahankan diri itu jelas, masalahnya adalah kemarahanmu. Itu harus dikendalikan dan jangan sampai jatuh ke tangan yang salah."
"Maksudnya jatuh ke tangan yang salah?" alis Jean terangkat sebelah. Kurang paham artinya.
"Visi akademi ini melindungi anak-anak berbakat dan berkekuatan supernatural seperti dirimu. Akademi selalu terjaga selama ratusan tahun belakangan. Manusia biasa tidak akan mampu melihatnya, makhluk-makhluk jahat dari kegelapan pun tak akan mampu memasukinya. Kau tahu, sayang? Semakin tinggi kekuatanmu, ada pula tanggung jawab besar yang harus kau emban. Anggap saja itu konsekuensi kita sebagai makhluk 'berbeda'."
[ Makhluk berbeda ]
Gara-gara perbedaan ini, Jean kehilangan segalanya. Terlebih, dia bisa membunuh orang lain tanpa perlu menyentuhnya. Hanya karena sebuah kemarahan terpendam, meskipun insiden itu berawal dari unsur ketidaksengajaan.
Rasa bersalah ini perlahan-lahan mulai berubah jadi pengalaman traumatis dan terbentuknya bayang-bayang monster mengerikan yang mengganggu hidupnya.
Teriakan-teriakan para korban terus terngiang tanpa ampun di rongga kepalanya. Jean selalu merasa ada sesuatu yang lebih gelap bersemayam di dalam dirinya, walau ia tak tahu pasti itu apa? Dan seringkali kebingungan bagaimana cara mengatasinya.
[ Apa yang kupertaruhkan? Mengapa harus takut? Mereka menerimaku dengan baik. Tidak ada salahnya juga mencoba tinggal di sini. Barangkali aku bisa memperbaiki hidupku yang menyedihkan. ]
Jean membuka halaman lainnya, dikertas itu tercantum semua hal penting mengenai Akademi Lucelence, termasuk daftar aturan-aturan yang tak boleh dilanggar. Kewajiban menjaga nama baik serta fasilitas akademi, dan syarat nilai akademis yang wajib dicapai.
Yang mengejutkan Jean ternyata akademi ini menyediakan kelas-kelas bidang studi eksak dan non-eksak.
[ Luar biasa, sepertinya akan menyenangkan, ya? ] pikir Jean antusias.
Sejak awal kedatangannya di kastil ini, Jean langsung tahu hanya ditempat ini dia akan diterima dengan baik.
"Ada pertanyaan, sayang? Kau menerima tawaran kami untuk berada di sini?" Elvana masih memasang senyum lembutnya.
"Bagaimana bisa aku menolak? Tentu saja aku menerimanya, wakil principal. Terima kasih, karena sudah menyelamatkan aku." Jean memasang tampang penuh haru.
"Keputusan yang bagus, sayang. Aku jamin, kau tidak akan menyesalinya. Justru kau akan kerasan di sini. Kau gadis jenius, pasti bisa mengikuti teman-temanmu. Semangat, ya?"
Jean tertawa kecil, "Aku tidak pernah tahu, bagaimana aku bisa mendapatkan semua kekuatan ini. Pasti ada penjelasan masuk akal 'kan Mrs. El?"
Ada aura aneh meruap ke permukaan, entah mengapa atmosfer di ruangan itu yang tadinya penuh canda tawa hangat di antara mereka kini berubah membeku seketika. Air muka Elvana berubah keruh, tak ada respon atau komentar menyenangkan dari bibir indah Elvana seperti menit-menit sebelumnya.
[ "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Kenapa hawanya jadi ngeri begini sih?" ] batin Jean bergejolak resah, tangannya mengusap tengkuk perlahan. Entah mengapa rongga dadanya bagai dihimpit bongkahan batu.
"Permisi, wakil principal."
Seseorang mengetuk pintu dari luar, nyaris membuat Jean terlonjak dari kursinya. Suaranya mengalun lembut namun rikuh. Membuyarkan kebekuan super aneh di ruangan itu beberapa menit lamanya.
Tiba-tiba senyum manis terbit di bibir Elvana, dia tampak memperbaiki mannernya. "Masuklah." perintahnya ramah.
Seakan menanti berjam-jam lamanya, Jean diam-diam malah menghela napas lega walau tidak paham apa yang terjadi barusan.
"Wakil principal memanggilku?" tanyanya sekali lagi.
Elvana mengisyaratkan agar gadis itu masuk ke dalam, "Nah, Jean. Ini teman sekamarmu. Namanya Margo Scola."
"Oh, ya? Hai." sapa Jean tersenyum lebar. Matanya meneliti Margo dengan pandangan ingin tahu.
Margo Scola membalas senyuman Jean, memberinya sedikit lambaian tangan. Setidaknya mereka seusia. Di mata Jean, Margo adalah gadis yang sangat manis, senyumnya tulus dan penuh arti. Terdapat lesung dalam di kedua pipinya, dia tinggi semampai, bersurai panjang berwarna brunette bergelombang, manik matanya berwarna amber cerah.
Tangan Jean dan Margo saling menjabat dengan sama-sama melempar pandangan hangat.
"Yeah, aku tahu sedari awal kalian berdua memang cocok jadi teman sekamar. Nah, Margo bisa bantu aku perlihatkan Jean kamar barunya?" tanya Elvana mengusap-usap kedua telapak tangannya.
Margo mengangguk mantap, "Tentu saja, wakil principal."
"Masih ada yang ingin kau tanyakan Jean?"
Mengingat kejadian menit-menit luar biasa beku tadi, Jean menggeleng dan tersenyum. "Tidak ada, Mrs. El. Semuanya jelas."
"Baguslah, semoga kau betah ya, sayang."
"Aku permisi."
Margo berjalan di depan Jean menunjukkan jalannya, sebelum pintu menutup di belakang Jean. Sebuah helaan napas panjang penuh kelegaan lolos dari hidung runcing milik wakil principal. Sekali lagi, Jean menoleh ke arah Elvana.
Beliau tersenyum misterius, kemudian pintu ruangan itu pun berderak berat dan langsung tertutup rapat.
.
.
"Dari mana asalmu?"
Pertanyaan Margo memecah lamunan Jean, "Ah. Aku dari London. Kau sendiri? Sudah lama berada di akademi?"
Margo mengangguk, "Asalku dari Maine. Iya, sekarang aku berada di tingkat empat. Sepertinya kita juga sekelas. Aku lihat daftar namamu masuk di papan tingkat empat."
Jean terperangah, "Oh, ya? Aku belum tahu malah. Makasih sudah memberitahuku. Eh tunggu, maksudmu Maine yang ada di benua Amerika itu? Portland 'kan?"
"Betul."
Margo berbelok ke lorong sebelah kanan, setelah menaiki tangga besar yang ketiga. Jean sempat terengah-engah mengimbangi langkah Margo. Mereka melewati banjaran pintu-pintu koridor di mana kelas sedang berlangsung. Sontak, kala Jean melaluinya murid-murid lain langsung tersita perhatiannya.
Pembimbing di depan menjelaskan bidang studinya, rata-rata mereka seusia wakil principal. Ada juga kelas pengendali kekuatan, Jean kontan terkesima dengan kelas itu. Semua orang punya kekuatan serta warna ciri khasnya masing-masing.
Di pintu kelima, pandangan Jean bertemu dengan manik mata onyx milik Hunter yang kemudian dia melempar senyuman miring jahil dari kursi duduknya sembari melambaikan tangan pada Jean.
Jean cuma memberengut, buru-buru menyeret Margo dari sana.
"Wah, jauh banget?!" pekik Jean antusias. Sepasang matanya berbinar jernih, "Kukira cuma sekitaran benua Eropa saja. Jadi akademi juga menyebarkan bantuan mereka ke benua lain?"
Margo tersenyum lebar, tak keberatan satu kamar dengan Jean. Dia malah tampak sangat senang sekali, "Tidak Jean, justru ke seluruh dunia. Yang berasal dari benua Asia saja ada."
"Keren, ya?" komentar Jean berdecak kagum.
"Sebenarnya akademi supernatural bukan cuma Lucelence saja, biasanya di tiap benua juga tersebar akademi-akademi seperti ini. Tentu saja aturannya harus luput dari kehidupan serta pandangan manusia. Kita ada, hidup di bawah bayang-bayang mereka. Kau tahu 'kan bagaimana manusia memperlakukan kita? Mereka malah takut dan mengutuk kita seperti binatang. Paling buruk berakhir di meja eksperimen para ilmuwan jadi bahan percobaan. Yang paling menyebalkan lagi kita harus menolong dan menjaga bumi manusia dari ancaman makhluk kegelapan. Aturan pertama akademi, mempergunakan kekuatan di jalan kebajikan. Enggak adil 'kan?"
Dahi Jean mengerut dalam, "Menjaga bumi manusia? Ancaman makhluk kegelapan? Maksudnya? Adakah yang aku lewatkan di sini?"
"Dark legion, dan pimpinannya yang paling terkutuk. Kau tidak tahu memangnya? Dia – ya ampun, kita dilarang membicarakan 'itu' di sini."
Jean mendesah dalam hati, "Kita cuma berdua, Go. Siapa yang akan mendengar?"
"Kau lupa di sini orang-orang berkekuatan super? Kau tahu kekuatan wakil principal apa?"
"Apa memangnya?"
"Membaca pikiran orang lain, bahkan tanpa perlu menatap wajahnya. Mrs. El tahu semua pikiran orang-orang di sini."
[ Deg! ]
Sesuatu runtuh di bawah kaki Jean, jadi selama di ruangan tadi Mrs. Elvana – Jean mengesah kesekian kalinya. Pantas saja, situasinya mendadak aneh. Jelas beliau bisa membaca semua pikirannya. Kekuatan Mrs. El ternyata lebih mengerikan daripada yang dibayangkan Jean.
[ "Aku tidak salah bicara tadi 'kan? Kenapa aku tidak merasakannya, ya?" ]
Jean sampai di depan pintu kamar asramanya tepat saat bel berdering nyaring di seluruh penjuru kastil. Suara keramaian menggema di langit-langit. Canda tawa yang terpecah, hentakan-hentakan kaki penuh semangat. Dari jendela Jean memperhatikan perkarangan tengah kastil, murid-murid akademi berhamburan keluar dari kelas, menyesaki taman.
Margo membuka pintunya, "Nah, Jean masuklah. Anggap rumah sendiri."
"Ya ampun, serius ini kamar asrama kita?"
"Iya, keren 'kan?"
Entah keberapa kalinya Jean berdecak kagum, interior-interior akademi ini cantik, indah dan memanjakan mata. Furnitur-furniturnya serba disepuh oleh warna emas bahkan untuk ranjangnya sendiri. Jean bagai seorang putri yang tinggal di kastil kerajaan impian.
"Murid akademi pindahan pun kadang menolak dipulangkan kalau sudah kemari. Di dalam wardrob ada pakaian baru yang bisa kau gunakan. Itu toiletnya, ada balkon di sebelah sana. Jatah makanan tiga kali sehari, tengah malam ada snack yang disebarkan oleh Brigdet. Kau harus menghabiskan semua makanan, tidak boleh disisakan. Bisa kena hukuman dari Bridget."
"Siapa Bridget?"
"Koki andalan di akademi, urusan pasokan makanan dia semua yang menangani. Masakannya lezat. Kalau kau menyisakan makanan berarti kau tidak menghargai kerja kerasnya. Dapur adalah anak emas baginya. Aku pernah dengar anak tingkat tiga, sebulan enggak dikasih makan karena menyisakan sup buatan Bridget."
"Sampai segitunya?"
Margo mengiyakan, "Aturan ketiga saling menghormati satu sama lain. Itu enggak bisa diganggu gugat. Enggak ada yang bisa dilakuin jajaran dewan staff dan guru kalau Bridget punya keputusan begitu. Kau pasti diusir oleh keluargamu 'kan?""
Jean terhenyak di atas ranjang super empuk dan nyaman, Jean bisa tidur cantik seharian di kamar ini. Ia menghela napas panjang. "Aku tertangkap basah, bagaimana kau bisa tahu nasibku buruk begitu?"
"Sebab aku merasakannya. Aku dititipkan di panti asuhan. Sampai saat ini aku enggak tahu keluargaku bagaimana. Ibu panti ketakutan, menganggapku kerasukan sampai-sampai memanggil paranormal ke panti." Margo duduk di ranjang seberang.
Air muka Jean mengeruh, mendengar ucapan Margo barusan jantungnya bagai disayat belati. "Panti asuhan?"
"Iya, ketika umurku sembilan tahun. Aku dibuang di sana dan mereka tak pernah kembali lagi."
Jean membatin pedih, [ Jahat banget ] ternyata nasib Margo lebih menyedihkan dibanding dirinya.
"Makannya waktu Shadowcaster menyelamatkan dan membawaku kemari, aku seneng banget." tambah Margo dengan pandangan menerawang.
"Maaf ya, seharusnya aku enggak membahas itu."
Margo tertawa kecil, "Ah! Santai saja. Kebanyakan anak-anak di akademi punya latar belakang tragis juga, kok. Kau enggak sendirian. Susah, senang, sedih kita sama-sama."
"Tapi kau bisa kendalikan kekuatanmu 'kan. Kalau aku berbahaya, Go. Aku jadi takut berada di sekitar orang lain." suara Jean terdengar murung.
"Yeah, satu akademi sudah mendengarnya. Kelihatannya dewan staff gempar membahasmu. Kau membunuh mereka semua? Kau pasti enggak waras, Jean."
"Lalu, apa kau takut denganku? Aku saja takut pada diriku sendiri?"
Margo tersenyum sembari menggeleng, "Itu sebabnya kau berada di sini. Belajar kendalikan kekuatanmu. Hanya itu yang bisa kita lakukan, Jean."
"Kau sendiri? Apa kekuatanmu, Go?"
"Aku, prekognisi. Aku bisa membaca masa depan."
Jean terperanjat bangun, semringah dengan wajah berseri, "Kau bisa melihat masa depanku?"
.
.