Gisel melangkah pelan, menyusuri lorong menuju ke arah kelas dengan perasaan tidak karuan karena beberapa pasang mata yang menatapnya dengan pandangan merendahkan. Tidak hanya itu, dia juga merasa banyak sekali yang tengah berbisik sembari menatap ke arah dirinya. Namun, Gisel hanya diam dan enggan bertanya. Dia juga berusaha mengabaikan semua tatapan dan bisikan yang tengah mereka perbincangkan. Dia juga tahu apa yang membuat seisi kampus menatapnya dengan senyum mengejek.
Semua pasti karena ulah kak Kenzo, batin Gisel dengan raut wajah masam. Rasanya kesal karena Kenzo yang selalu saja menambah masalahnya setiap hari. Bukan hanya itu, Kenzo bahkan semakin sering berulah dan seakan ingin menyusahkan kehidupannya.
Gisel menarik napas dalam dan membuang perlahan. Sebisa mungkin dia bersikap tenang dan tidak menunjukkan perasaan tidak enak. Hingga dia memasuki ruang kelas dan mendekat ke arah seseorang yang dikenalnya. Sampai dia duduk, membuat seorang gadis yang tengah sibuk dengan ponsel menghentikan niatnya.
"Kamu kenapa?" tanya Citra—sahabat Gisel. Keningnya berkerut dalam ketika melihat sahabatnya mendesah kasar, seakan melepaskan beban yang cukup berat.
Gisel yang mendengar pertanyaan Citra hanya diam, lebih memilih mengatur napas yang tidak karuan. Dia hanya ingin menenangkan hatinya yang sejak tadi bergemuruh, merasakan kelegaan karena ruang kelas yang terlihat begitu sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk dan tidak memperhatikannya, antara tidak peduli dan memang tidak tahu mengenai kejadian yang tengah trending di kampusnya.
"Gisel, kamu itu kenapa?" tanya Citra kembali, merasa bingung karena sahabatnya masih saja diam.
Mendengar teguran tersebut, dia langsung menatap ke arah Citra berada dan tersenyum canggung. Dia sendiri bingung harus menjelaskan dengan sahabatnya dari bagian yang mana. Dia takut jika ternyata semua dugaan dan prasangkanya ketika akan ke kelas hanya asumsinya saja.
"Aku merasa hari ini kamu aneh, Gisel. Apa semua karena berita pagi yang beredar?" tebak Citra dengan enteng.
Seketika, Gisel membelalakan kedua mata lebar dan menatap Citra lekat. "Kamu tahu?" tanya Gisel, mencoba memastikan.
"Mengenai ciuman panas kamu di depan gerbang?" Citra balik bertanya, tidak ingin kalau tebakannya salah.
"Semua sudah tahu, Gisel. Mereka semua membicarakan kamu yang katanya dicium pria tampan di depan kampus. Ada yang mengatakan kalau kamu itu persis seperti wanita murahan, ada yang berpikir kalau kamu mendapatkannya karena kamu yang menggoda, ada yang berpendapat jika kamu beruntung dan sampai ada yang bilang kalau kamu itu hanya polos di luar saja," ucap Citra dengan tenang ketika mendapat anggukan dari arah Gisel.
Gisel langsung diam dan meraih buku di depan Citra. Dia mulai membukanya, menyandarkan tubuh dengan punggung kursi dan menutup wajah. Rasanya benar-benar malu setelah mendengar apa yang dikatakan Citra. Dia benar-benar tidak pernah menyangka jika dia akan mendapatkan julukan seburuk itu di kampusnya.
Citra yang melihat tingkah Gisel tertawa kecil. Dia mulai menggeser kursi, semakin mendekat ke arah Gisel.
"Tapi kamu harus bersyukur karena diantara mereka gak ada yang tahu kalau itu kakak tiri kamu, Gisel. Kalau mereka tahu, kamu dan Kenzo akan menjadi trending di kampus ini dan semua umpatan buruk pasti akan terpasang di tubuh kamu," bisik Citra. Bibirnya masih mengulum senyum, menahan untuk tidak tertawa.
Namun, Gisel yang mendengar langsung berdecak kecil dan memutar bolal mata pelan. Sahabatnya bukannya menenangkan, tetapi semakin memperkeruh perasaannya. Hingga Gisel menutup buku dan memukul lengan Citra, merasa kesal dengan tingkah sahabatnya kali ini.
Sayangnya, bukannya diam, Citra malah tertawa keras, membuat beberapa pasang mata yang sejak tadi tidak memperhatikan mulai menatap keduanya. Gisel yang ada di sana kembali mendesah kasar dan menutup wajahnya dengan buku.
Aku benar-benar menyesal memiliki sahabat sepertinya, batin Gisel dengan raut wajah masam.
***
Kenzo memberhentikan mobil. Dengan tenang, dia keluar dan melangkah pelan, menuju ke arah bangunan di depannya. Raut wajahnya masih terlihat datar dengan sorot mata yang begitu tajam. Bahkan, beberapa karyawan yang hendak melintas pun memilih mengurungkan niat, memutar langkah dan menjauh dari pria tersebut.
Kenzo masih saja bungkam ketika seorang security menyapa dirinya. Seperti setiap hari, dia memang terkesan kurang berbicara dan bahkan menyapa. Dia tidak pernah peduli dengan sekitar dan hanya fokus dengan tujuannya. Dia merupakan sosok atasan yang dingin dan penuh dengan aura kegelapan. Jika dia memanggil salah satu karyawan untuk menghadap, dapat dipastikna jika karyawan tersebut tidak akan terlihat lagi di kantor tersebut untuk selamanya.
Kenzo menghentikan langkah dan memasukkan sandi. Tidak memerlukan waktu lama, dia segera masuk ketika pintu terbuka. Itu adalah lift khusus untuk dirinya. Dia memang sengaja membuat tiga lift yang berbeda. Satu untuk karyawan biasa yang jelas berada di bawahnya, kedua untuk para petinggi perusahaan dan anggota keluarga, ketiga adalah lift untuk dia dan sang papa. Dia tidak ingin pekerjaannya menjadi terganggu hanya karena harus menunggu lift terbuka di saat semua karyawan tengah menggunakannya.
Denting lift terdengar, bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Kenzo segera melangkah keluar dan menuju ke arah tangga menuju ke arah ruangannya. Namun, baru beberapa langkah dia mengayunkan kaki, manik matanya menangkap sosok Fira—sekretarisnya, keluar dari ruangannya.
Kenzo yang melihat raut wajah cemas tersebut memilih menghentikan langkah, menatap lekat dengan kedua mata menyipit. Dia penasaran dengan apa yang membuat sekretarisnya sampai berekspresi demikian. Bukannya dia curiga, hanya saja dia tahu setenang apa Fira dalam bertindak. Hingga perempuan tersebut berhenti di depannya dan menatap lekat.
"Kamu kenapa seperti cemas dan takut, Fira?" tanya Kenzo, masih memperhatikan perempuan tersebut dengan penuh curiga.
Fira yang melihat sang atasan langsung menelan saliva pelan dan menatap Kenzo lekat. "Maaf, Tuan. Di ruangan anda ada …."
Kenzo yang mendengar langsung mendesah kasar dan menatap Fira lekat. Dia hanya diam dan menganggukkan kepala, cukup mengerti dengan apa yang akan Fira katakan. Dengan tenang, dia kembali melangkah ke arah tangga. Memang telihat biasa, tetapi aura yang dimunculkan jauh lebih menggelap dari biasanya. Fira yang berada di sana pun hanya mampu diam dengan perasaan cemas. Hingga dia memilih melangkah ke arah meja kerja miliknya, tidak ingin ikut campur dengan urusan sang atasan.
Sedangkan Kenzo, dia melangkah tenang dan semakin memasang raut wajah datar. Hingga dia berada di anak tangga terakhir dan segera membuka pintu ruangannya pelan.
"Kenzo."
Kenzo yang mendengar pekikan tersebut menghentikan langkah. Manik matanya menatap seorang wanita yang tengah berlari ke arahnya. Pakaian seksi yang menunjukkan lekuk tubuhnya, membuat Kenzo berdecak kecil. Hingga wanita tersebut mendekapnya erat.
"Aku rindu kamu," bisik wanita tersebtu dengan senyum lebar.
***