Yeona duduk sendiri di bangku panjang depan meja resepsionis, bersandar tembok menghadap ke jalan.
Suara mesin kendaraan dan suara klakson di kejauhan menjadi hiburan tersendiri baginya yang mengelus perut. "Aduh, lapar. Seharusnya aku terima saja ayam goreng Yoo Joon."
Tubuhnya mulai menggigil. Dia menarik keluar sweeter tua dari dalam tas, lalu memakai benda itu.
Dari arah tangga, suara langkah semakin keras terdengar. Yeona mengira itu suara langkah Yoo Joon. Dia bangkit berbalik badan menghadapnya, sambil membentak. "Belum kapok juga?"
Pemuda gagah keluar dari kegelapan sambil menyodorkan kantong plastik kepada Yeona. Tentu gadis itu terkejut menutup mulut.
"Tuan Muda Pertama … ma-maaf, aku kira Anda Yoo Joon." Yeona membungkuk berulang kali dan berkata maaf puluhan kali, hingga suara keroncongan di perutnya terdengar jelas.
Chung-hee tertawa kecil. "Kamu lapar, kan? Ayo makan. Hangatkan tubuhmu, isi perutmu."
"Tapi, aku tidak punya uang untuk membayar makanan, Tuan Muda Pertama."
"Tidak masalah. Nanti kamu bisa membayarnya setelah semua usai. Chung-hee duduk, mengambil secangkir minuman beralkohol untuk dia nikmati sendiri, meninggalkan sisa isi kantong plastik untuk Yeona. "Ayo, makan."
Yeona enggan makan lantaran dia tidak mengenal baik Chung-hee. Terakhir kali dia menerima sesuatu dari lelaki yang tidak dia kenal, dia ketiban sial. Ya, di danau Ilsan.
"Dengar Nona Yeona, jika kamu kenapa - napa ketika berada di lingkungan balai, nama baik balai akan tercemar.
"Tapi Tuan–"
"Kalau kau menolak, itu penghinaan untuk balai juga bagiku. Makan."
Tegas seperti Jendral suara dan wajah Tuan Muda Pertama. Lagipula alasan Chung-hee masuk akal. Dia harus menjaga nama baik balai dan Yeona bisa merusak semuanya.
Yeona patuh, duduk memangku bungkusan. Dia membuka dua bento. Satu berisi sup, satu lagi berisi nasi dan ayam fillet. Selain itu terdapat segelas wine panas dan kopi. Dia menyingkirkan jauh-jauh wine lalu mencicipi makanan.
"Hmmp! Enak!" Lahap Yeona makan sampai belepotan. Dia meneguk kuah sup.
Chung-hee tersenyum puas, duduk di sebelah Yeona, mengambil wine kemasan. "Kamu tidak mau?"
Yeona mengintip wine yang disodorkan lalu menggeleng, lanjut makan. Dia tersedak ayam cukup besar hingga batuk - batuk.
Chung-hee mengangkat gelas kopi. "Minum, pelan-pelan saja kalau makan."
Setelah meneguk habis minuman, Yeona bernapas lega. Kerongkongannya siap menerima sisa makanan. "Terima kasih Tuan."
Sambil makan Yeona memperhatikan pemuda di samping. Chung-hee meneguk wine sambil mendongak. Jakunnya naik turun berirama, nampak urat di leher. Lidahnya menjulur menerima tetes terakhir wine sembari sedikit memejam.
Menurut Yeona, gerakan itu sangat erotis dan membuat dadanya terasa sesak. Sebagai wanita normal tentu Yeona tertarik pada sosok di samping.
"Maaf, kalau minum wine aku selalu begini, enggan meninggalkan satu tetespun."
"Kamu suka wine?"
"Semua minuman keras adalah obat penghangat tubuh. Kamu harus mencoba lain kali."
Yeona menghela napas pelan. Dia tidak setuju. Menurutnya minuman keras adalah benda paling berbahaya di dunia. Minuman keras dapat membuat pria terhormat menjadi begundal menjijikkan.
Namun dia bukan pada tempatnya mendebat hal itu. Tuan Muda Pertama mungkin bisa tersinggung dan Yeona sendiri sungkan. Pemuda itu baru menolongnya.
Dia mengamati lebih lekat semua lekuk tubuh hebat di samping, juga wajah Tuan Muda. Siluet itu, aroma pinus, Yeona yakin pernah bertemu dengan Tuan Muda Pertama, tapi di mana? Dalam mimpi? Ah, bahkan di dunia mimpi tidak ada pangeran gagah dan ganteng Gao Chung-hee.
Sadar jika sepasang mata lentik pemiliknya, manik hitam Chung-hee bergerak balas memandang Yeona.
Sontak Yeona memandang ujung kaki. Matanya membesar dan wajah memerah. Apa dia melihatnya mengawasinya? Jika iya, bagaimana menjelaskannya? Aih, Yeona malu sekali.
Rasa penasaran membimbing Yeona mengintip, lalu cepat-cepat memandang ujung sepatu. Benar, dia masih melihat ke sini, batinnya.
"Cepat habiskan makananmu, Nona."
"B-baik Tuan." Yeona memakan setiap butir nasi di wadah bento. Meneguk sampai tetes terakhir sup.
Yeona tidak biasa membuang makanan. Didikan mendiang ibu, makanan dibeli pakai uang, jadi jangan disia-siakan.
Chung-hee bangkit entah pergi ke mana. Tetapi ketika kembali, dia membawa sebotol air mineral. "Minumlah, supaya makananmu bisa turun ke perut."
"Ah… terima kasih Tuan."
Sungguh perhatian sekali Chung-hee. Padahal mereka baru beberapa jam saling mengenal. Semua perhatian sepertinya tulus dan membuat Yeona merasa nyaman, aman juga segan.
Ini kali pertama ada lelaki lain selain Sujun, berhasil membuat Yeona memperhatikan secara terus menerus.
"Kita belum resmi berkenalan," ucap Chung-hee, tiba-tiba.
Yeona mendahului mengajak bersalaman. "Namaku Yeona, hanya Yeona."
"Gao Chung-hee." Mereka bersalaman.
Tangan mereka kontras. Milik Yeona putih mulus dan kecil. Sementara tangan Chung-hee besar, keras, terlihat urat-urat seperti petir bergerak ke lengan atas. Andai kemejanya tidak ada, mungkin akan terlihat bicep besar!
Suara deheman lembut Chung-hee mengusik mata Yeona yang sedang menerka betapa besar lengan Chung-hee.
"Nona Yeona, apa benar kamu kehilangan uang?"
"Huh?"
"Yoo Joon tadi sedikit bercerita tentang kejadian di depan gerbang, antara supir taksi dan dirimu."
"Oh, iya, setelah pertemuan kita di stasiun, aku lupa akan tas lengan. Hilang. Uangku di sana semua."
"Lalu kamu mengutang pada Yoo Joon?"
Yeona mengangguk.
"Berapa hutangmu?"
Apa dia mau membayar hutangku pada pemuda sialan itu? "Jangan khawatir. Aku akan membayar hutangku pada Yoo Joon."
"Baiklah kalau begitu." Chung-hee menoleh ke tangga gelap, seperti mencari sesuatu di sana. "Apa kamu mendengar sesuatu?"
Yeona pun turut menoleh. Dia sadar tadi seperti ada siluet seseorang di sana. Yoo joon? Terka Yeona. Lamunan Yeona pecah ketika Chung-hee kembali memandangnya.
"Kamu melihat sesuatu di kegelapan tangga?"
Yeona menggeleng. "Entahlah, ada apa Tuan?" Apa di sini angker? batin Yeona, seketika raut wajahnya menjadi pucat pasi.
Yeona bukan sahabat lelembut. Terakhir kali dia bertemu mereka, satu bulan dia tidak bisa tidur dan selalu memeluk Ara ketika malam.
"Tuan, di sini tidak ada hantu, kan?"
"Sayang sekali tidak ada."
Yeona mengelus dada. "Syukurlah. Tuan, terima kasih untuk obat dan pertolonganmu."
Chung-hee mengangguk pelan "Tidak perlu berterima kasih. Aku melakukan semua ini demi menjaga nama baik balai."
Sepertinya dia tipe pria yang suka mencari alasan untuk menutupi tindakan mulia, batin Yeona sembari tersenyum kagum. Dia refleks menguap karena mengantuk.
Sadar akan suara menguap, Chung-hee menepuk paha sendiri lalu bangkit dari duduk. Dia memandang tangga menuju lantai dua. Wajahnya menjadi hitam.
"Tanpa uang, kamu tidak bisa menyewa hotel. Bagaimana kalau untuk sementara tidur di kamar," kata Chung-hee.
"Ka–kamar?" Yeona kaget. Apa dia mengajak tidur berdua dalam kamar? Gila! Sungguh pria berpikiran ngeres!
"Ayo, cepat. Udara malam semakin dingin. Apa kata orang jika kami membiarkan tamu tidur di pelataran?"
****