Semakin banyak pasang mata mengintip dari beberapa pintu di sepanjang lorong. Mereka terganggu oleh keributan Ja In dan Ok yang jarang terjadi.
Mereka ketakutan ketika Ok memberi raut wajah mengintimidasi. Mereka masuk kembali ke kamar masing - masing, mengunci pintu rapat.
Sementara itu, Yeona heran ada apa dengan Ja In? Kenapa dia melabraknya? Benar - benar cabe rawit. Walau kecil tapi pedas sekali.
"Ja In, kenapa kau judes sekali?"
Seketika Ja In menoleh ke belakang. Sinis dia kepada Yeona lalu berbelok naik tangga menuju ke lantai atas.
"Ada apa dengannya?" tanya Yeona pada Ok yang berada di sebelahnya.
"Jangan diambil hati. Dari dulu Ja In memang suka ceplas ceplos. Dia gadis baik. Hanya saja sering lepas kendali."
"Kalian saling mengenal sejak dulu?"
Ok mengangguk pelan. "Bukan hanya Ja In, tapi Yoo Joon, juga Chung-hee. Kami mendapat julukan power ranger sewaktu masih sekolah di SMA."
Mereka berdua tertawa kecil walau tidak ada yang lucu. Yeona tertawa untuk formalitas belaka. Sementara Ok tertawa untuk meredam suasana.
"Aku rasa Yoo Joon menyukaimu. Segera balas cintanya. Selamat malam."
Setelah Ok berbelok mengjilang dari pandang, Yeona menutup pintu kamar, mengunci dari dalam. Dia terbaring di kasur.
Power ranger? Hmm, Ja In, Yoo Joon, Chung-hee, Ok, seharusnya jumlah mereka lima. Siapa power ranger ke lima?
Lalu Seorang Yoo Joon menyukai Yeona? Yang benar saja. Dia aktor muda terkenal. Sementara Yeona hanya gadis biasa.
"Kasihan, padahal aku mulai menganggapnya sebagai adik yang manis."
Yeona tidak peduli pada cinta. Baginya cinta bukan madu yang nikmat. Cinta adalah obat pahit kehidupan.
Setidaknya untuk saat ini.
*
Sementara itu di gedung Moonlight Entertainment.
Nyonya Han sibuk memasak di depan kamera. Senyum menghias wajahnya yang nampak muda dengan riasan terbaik Korea Selatan.
"Resep mudah untuk dibuat oleh siapapun di rumah," ucap Tuan Han, menyajikan hidangan sayur capcay menggugah selerah ke meja makan. "Sampai jumpa kembali esok hari, dalam acara memasak bersama Han Ji Er."
"Cut!" Sutradara yang duduk di kursi lipat bertepuk tangan sambil menghampiri Nyonya Han. "Penampilan Nyonya memang tidak pernah mengecewakan. Kita rehat beberapa jam."
Nyonya Han melepas celemek. Beberapa orang kru datang merapikan penampilan sambil merias wajahnya.
Ketika menoleh ke pintu studio, Nyonya mendapati seorang pemuda berjaket kulit hitam bersandar dinding sambil satu kakinya menapak ke tembok belakang. Wajah pemuda itu dingin ketika dia membuka satu sisi jaket.
Badge kepolisian Seoul menghias bagian sisi dalam jaket pemuda. "Nyonya Han, bisa kita bicara?"
Tiada pilihan lain, Nyonya Han membawa mereka jauh dari jangkauan telinga orang lain.
Mereka bertemu di ruang tunggu. Terdapat pot tanaman hias di atas meja kaca yang memisahkan sofa mereka bertiga. Nyonya duduk di sofa membelakangi jendela, sementara pemuda tampan dan pria botak bercodet di pipi yang menakutkan duduk di sofa panjang membelakangi pintu.
Nyonya meneguk teh sebelum membuka obrolan dengan senyum lembut. "Aku kira kamu anggota boy band, Nak. Sungguh tampan."
Yeon Ji Won, tetap dingin pada nona. Wajahnya memang setampan member boyband dengan bibir empuk merah muda di bagian bawahm Perawakan pun tak kalah menawan karena dia rajin merawat tubuh.
"Terima kasih Nyonya Han atas pujian basa - basimu. Langsung saja. Saya kemari ingin menanyakan sesuatu."
Pria botak menaruh stopmap kuning ke meja tanpa melepas pandang intimidasi ke nyonya.
"Apa Nyonya mengenal orang itu?" Dingin suara Ji Won.
Dalam dokumen tertera biodata pria gondrong berbrewok tipis yang membuat raut wajah ramah Nyonya seketika sirna. Dia kenal siapa pria itu dan seharusnya dia berada di pulau Jeju sekarang.
"Aku tidak pernah melihatnya." Tangan Nyonya sedikit bergetar ketika menaruh kembali stopmap ke meja. "Siapa dia, kenapa kalian mendatangiku untuk ini?"
Ji Won merenggut kasar stopmap. "Lima tahun yang lalu terjadi tabrak lari. Seorang perawat wanita berumur lima puluh tahunan tewas. Beberapa bulan yang lalu terjadi tabrak lari dan wanita berusia sekitar sembilan belas tahunan serta bayi berusia beberapa bulan menjadi korban."
"Lalu apa hubungannya denganku?!" Nyonya Han mulai kehilangan kontrol emosi. Dadanya naik turun.
Satu ujung bibir Ji Won menekan pipi, hingga lesung keluar. "Semua korban keluarga Kang. Semuanya kenalanmu. Nyonya Kang Deokman dan Nona Kang Yeona. Atau yang kau kenal sebagai Han Yeona."
Nyonya Han tertawa menyibak rambut yang menutupi keningnya ke belakang. "Mereka orang-orang baik. Tentu aku mengenal mereka. Deokman sahabatku dan Yeona adalah anak tiriku. Apa masalah buatmu?"
Ji Won mendorong badan ke belakang, bersandar sofa. "Hipotesaku berkata, andai kau menginginkan suami orang kau harus membunuh istrinya terlebih dahulu. Atau dalam hal ini membunuh sahabatmu–"
"LANCANG!" Nyonya Han bangkit. Wajahnya menjadi bengis. "Berani sekali kau menuduhku. Kau sengaja mencari masalah?"
Ji Won menyeringai sambil bersedekap. "Lalu ketika anak tirimu mempunyai anak dan anak itu mungkin anak dari calon menantumu, bukankah itu akan menjadi aib?"
"Bajingan, kau memang mau mencari masalah. Kau menceritakan semua ini untuk memaksaku mengaku mengenal pria gondrong, kan? Sayang sekali anak muda, aku bukan wanita seperti itu. Aku tidak kenal siapa dia!"
"Ini hanya hipotesis, kenapa Anda marah?"
"Hipotesis, kau bukan dokter atau detektif, jadi jangan banyak gaya. Keluar, sebelum aku panggil sekuriti." Nona menunjuk pintu yang tertutup rapat.
"Sebenarnya saya detektif kepolisian pusat. Saya Sersan Ji Won dan dia temanku, Sersan Aha. jadi hipotesaku relefan." Ji Won berdiri memandang dokumen.
Pria menyeramkan di sebelah mengambil dokumen.
"Aku tidak peduli kau siapa. Kau datang ke sini mengacau, memfitnah tanpa bukti. Kau tidak takut terkena tuntutan pencemaran nama baik?"
"Aku hanya mencari kebenaran. Siapa yang tidak tertarik pada pria kaya, calon gubernur, keluarga Han pula, benar kan Nyonya. Lagi pula sikapmu yang seperti ini merupakan bukti–"
Belum usai ucapan Ji Won, nyonya Han mengguyur wajahnya memakai teh hangat. "Keluar."
Ji Won menyeringai puas. "Permisi." Dia pergi bersama pria botak.
Mereka melangkah santai di lorong panjang. Beberapa gadis kru perfilman tidak kuasa menahan leher mereka untuk tidak menoleh. Entah karena takut pada si botak atau kagum pada pemuda jangkung.
"Ji Won, kau keterlaluan. Bagaimana kalau dia melapor pada Tuan Han?"
"Kenapa? Takut?" Ji Won mengambil tisu yang dibawa seorang gadis entah siapa, mengusap wajahnya yang licin seperti porceline. "Sekarang aku yakin dia terlibat."
"Dari mana kau tahu?"
"Sikapnya." Ji Won lanjut melangkah menuju mobil warthog hitam yang terparkir di pinggir trotoar.
"Semua orang pasti marah kalau dituduh tanpa bukti."
"Percayalah pada intuisiku. Tujuh puluh persen intuisiku selalu benar." Ji Won duduk di kursi sebelah kemudi.
"Tujuh puluh persen? Lalu tiga puluh persennya gagal?" sahut botak, duduk di kursi kemudi, menghidupkan mesin mobil keren yang merepa tumpangi.
"Hei, nilai bahasa Inggrisku tidak pernah menyentuh tujuh puluh. Itu angka besar, kau tahu," protes Ji Won. "Dengan begini wanita sadis itu bakal mengejar pria dalam foto. Jika memang dia pelakunya, pasti dia akan bergerak."
"Jadi sekarang kita awasi dari jauh?"
"Yep, biar omelet matang. Jangan diangkat setengah matang."
Mobil besar itu mengaung cukup keras sebelum pergi dari likasi studio milik Moonlight Entertainment.
Ji Won melirik tajam pada gedung yang mereka lalui. Lirikan matanya telat ke jendela lokasi pertemuannya dengan Nyonya. Dia menyeringai sinis. "Sebaik-baiknya bangkai disimpan pasti akan bau juga, Nona."
****