Chung-hee membuka pintu kafe untuk Yeona. Mereka masuk bersama, duduk di kursi bar yang kebetulan kosong.
Ini pertama kali Yeona mengunjungi kafe dengan suasana khas kafe Amerika yang dipadati muda - mudi.
Meja - meja bundar berjajar rapi terisi penuh pelanggan. Musik jazz live show di panggung menghidupkan suasana kafe berdinding batu bata merah yang ditumbuhi tanaman hijau merambat.
"Suka tempat ini?" tanya Chung-hee. Cara dia bicara berbeda dengan ketika berada di balai. Dia seperti pemuda seumurannya, santai. Tentu perubahan sikap membuat Yeona menjadi rileks.
Yeona mengangguk. Anggukan yang mengikuti lantunan musik. "Aku tidak tahu kalau ada tempat sebagus ini, Tuan Muda."
"Ayolah, aku belum setua itu. Panggil Chung-hee saja, Nona."
"Baik, tidak masalah. Kamu juga jangan memanggil Nona, kaku. Cukup Yeona. Kenapa kita ke sini?"
"Selain karena aku kesepian, juga karena ini hari spesial bagimu. Selamat ulang tahun, ya, Yeona."
Mulut Yeona menganga. Dia bahkan tidak ingat kalau hari ini hari ulang tahunnya. "Bagaimana bisa tahu?"
"Dari biodatamu. Hari ini aku mentraktirmu apapun yang kamu mau. Pilihlah, minuman, makanan, apapun."
"Makanan dan minuman?"
"Aku sarankan burger sapi besar. Kamu pasti suka. Untuk minuman, kamu bisa memilih."
Yeona suka semua yang gratis. Dia menyapu bersih isi rak. Botol - botol berjajar, tapi semua minuman beralkohol yang memabukkan.
Belum usai dia memilih, deheman Chung-hee memaksanya menoleh. Pemuda itu seperti ingin bicara, tapi suaranya tertahan di kerongkongan.
"Ada apa? Apa uangmu ketinggalan?" hoda Yeona, disambut tawa kecil dan gelengan Chung-hee.
"Bukan itu. Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan."
Belum juga Chung-hee bertanya, pesanan makanan mereka tiba. Dua piring burger dan kentang goreng. Semua tertata rapi di meja bar.
Chung-hee memesan dua gelas minuman yang biasa dia pesan, mendorong satu di atas meja mendekati Yeona. tetapi Yeona mendorong balik gelas bertangkai di hadapannya.
"Terakhir kali meneguk minuman keras, hal buruk terjadi."
"Hal buruk?"
"Hal paling buruk dalam kehidupanku."
"Apa itu?"
Terakhir kali meneguk minuman keras, Yeona mabuk dan kehilangan keperawanan, mulailah penderitaan tiada akhir. Walau Chung-hee membayar satu juta won, oun, Yeona enggan menyentuh alkohol dalam bentum apapun. Apa dia akan menceritakan masa lalu kelamnya pada Chung-hee? Tentu tidak!
Mereka baru kenal dan dia tidak ingin penilaian Chung-hee menjadi negatif kepadanya.
Yeona menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku membenci minuman keras."
"Ya Tuhan, apa salah minum keras?" Chung-hee memesan sirup untuk Yeona. "Kamu mau sirup anggur, kan?"
"Yep, sirup lebih baik dari wine. Jadi, apa yang mau kamu tanyakan?" tanya Yeona.
Chung-hee terdiam cukup lama. Dia menyusun kalimat yang baik untuk bertanya serta mempertahankan komposur santai di depan Yeona. "Aku penasaran, bagaimana berlian sepertimu bersembunyi selama ini?"
"Berlian?"
Chung-hee mengangguk. "Berlian yang belum terasah dengan baik."
"Entahlah."
Mereka mengobrol membahas masalah ringan di balai pelatihan, membicarakan masa depan juga impian masing-masing.
"Jadi impianmu menjadi bintang?"
Yeona meneguk sirup sambil mengangguk.
"Impianmu sama seperti mimpi nenek. Sayang sekali dia gagal mewujudkan impian karena terlambat memulai."
"Nenek Gao?"
"Siapa lagi …."
Bukannya Nenek tidak punya anak, bagaimana bisa punya cucu setampan ini? "Dia nenekmu?"
"Nenek Gao kakak mendiang Kakekku."
Hmm, begitu rupanya. "Bagaimana denganmu, apa impianmu?"
Chung-hee terdiam sejenak. Wajahnya menerawang ke rak botol di belakang meja bar. "Menjadi aktor terkenal."
"Wow, impian hebat. Kenapa malah menjadi wakil balai?"
"Tuhan punya rencana lain. Aku harus meneruskan tradisi keluarga Gao."
"Apa itu?"
"Keluarga Gao turun temurun menjalani tradisi dunia hiburan. Kami berasal dari Peking, opera kami pun campuran Peking dan Korea. Sebagai putra tertua, aku dipaksa terjun ke dunia opera."
"Kenapa tidak menjadi bintang film saja? Kan sama-sama dunia hiburan" selidik Yeona sambil menjambal makanan. Dia semakin tertarik pada si jagoan Taekwondo.
"Butuh orang untuk menjalankan balai pelatihan."
"Kamu bisa menjadi bintang film dan menjadi wakil balai, plus menjadi pengacara," sambung Yeona. "Sayang sekali pemuda setampan dirimu seharusnya bisa menjadi bintang terang di dunia hiburan perfilman."
"Aku sebenarnya ingin mencoba. Beberapa orang perfilman memintaku bermain film, tapi siapa yang meneruskan opera?"
"Kamu menyesal?"
Chung-hee menggeleng. "Pada awalnya aku kabur karena tidak ingin. Lama-kelamaan aku menikmati prosesnya dan disinilah diriku sekarang." Dia meneguk wine, menguras kenangan masa lalunya. "Mungkin esok, suatu saat ketika ayah mengizinkan. Aku akan pergi ke Seoul mencoba menjadi pemain film."
"Bagus. Aku akan punya teman di dunia sepi Seoul."
Mereka bersulang lalu kembali mengobrol. Penilaian Yeona pada Chung-hee berubah total. Dulu dia mengira Chung-hee sosok kaku, dingin, tertutup. Ternyata dia sosok ramah dan terbuka.
"Apa kamu menyukai Yoo Joon?"
Pertanyaan spontan Chung-hee membuat Yeona tersedak.
"Kamu tidak apa-apa? Ini, minumlah."
Setelah meneguk sirup, Yeona bernapas lega. "Kenapa bertanya seperti itu?"
"Jangan berpikir aneh-aneh," jawab Chung-hee. "Aku bertanya bukan karena peduli pada hubungan kalian. Aku hanya tidak ingin kalian merusak nama baik balai."
Chung-hee merusak mood Yeona. "Apa maksudmu dengan merusak nama baik balai?"
Jakun Chung-hee naik turun. Mulutmya adalah harimauny. Dia meneguk habis wine. "Ini sudah malam. Ayo pulang ke balai."
Mereka kembali ke balai, berjalan beriringan di trotoar sepi ditemani taburan bintang di angkasa. Setiap nafas mereka menghasilkan uap tipis yang berhembus dari mulut dan hidung.
"Aku merasa kita pernah berduaan melalui malam yang sama," ucap Chung-hee, sambil mendongak menikmati keindahan bintang lalu menoleh pada Yeona. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Yeona pun ingin tahu tentang hal itu. Setelah menghabiskan waktu bersamanya di kafe, dia semakin yakin pernah menghabiskan waktu bersama Chung-hee.
Yeona benar-benar tidak ingat apapun. "Apa kita pernah bertemu? Kamu pernah ke Seoul?"
Chung-hee mengangguk. "Beberapa kali, tapi aku yakin pertemuan kita bukan di sana."
Yeona sependapat. "Mungkin dalam mimpi?"
"Mungkin jika mabuk, kita bisa mengingat semuanya. Ayo, kita mabuk."
"Nice try."
Mereka bertukar pandang juga senyum. Mereka yakin di manapun pertemuan mereka dulu, pasti mereka melakukan hal yang menyenangkan hingga memori itu terjaga.
"Kamu punya pacar?" tanya Chung-hee.
"Apa ini demi balai?"
Mereka serentak tertawa kecil. Tanpa sadar chemistry mereka terbentuk. Keduanya merasa nyaman menghabiskan waktu berdua.
"Chung-hee, terima kasih, ya. Aku senang masih ada orang yang mengingat hari ulang tahunku."
"Tidak masalah."
"Kapan-kapan aku akan membalas, mentraktir minum."
"Aku benci sirup. Hanya orang bodoh yang membuang-buang anggur. Anggur bisa difermentasi dan menjadi minuman enak, kau tahu?"
"Aku bodoh?"
"Yup."
"Kau juga bodoh. Minuman keras bisa membawa petaka dan kau malah mencintai wine."
"Bagaimana kalau kita setuju, kita bodoh."
Mereka tertawa serentak. Yeona mulai mengenal kepribadian Chung-hee yang lain. Lelaki ini tidak terlalu kaku juga humoris. walau humornya garing, tapi itu cukup baik.
Tiba-tiba mereka melihat sosok di kejauhan. Sosok itu bersandar gapura sambil memeluk sesuatu.
"Apa dia salah satu anggota balai?" bisik Yeona.
"Entahlah, ayo kita lihat."
"Yeona, Chung-hee?" Ok mencegat mereka di depan gapura gerbang balai.
Seketika langkah Yeona dan Chung-hee terhenti. Gandengan tangan terlepas. Mereka tidak menyangka bertemu Ok.
Chung-hee berbisik pada Yeona. "Masuklah, biar aku yang bicara dengannya."
Sesuai anjuran Chung-hee, Yeona kabur masuk ke gedung balai. Dia mengintip ke belakang, mendapati Chung-hee berdiri berhadap-hadapan dengan Ok.
Sepertinya benar dugaan Yeona. Mereka berpacaran. "Aku menjadi orang ketiga?"
"Nona Yeona." Paman sekuriti menghampiri Yeona dengan raut wajah ramah. "Ini, tas satchel-mu yang hilang."
Tas hitam, tas yang selama ini Yeona cari berada di tangan paman sekuriti. Dia mengambil lalu memeriksa isinya.
"Maaf, kata polisi semua uangmu hilang," ujar paman.
Yeona menarik foto Deokman, lalu tersenyum lega. "Yang penting foto ibu selamat, paman. Terima kasih, ya."
Yeona berpamitan, bersiul kecil menuju kamarnya. Dia melihat Ja In berdebat dengan Yoo Joon, tetapi memilih tidak ikut campur.
Biar mereka selesaikan masalah mereka sendiri.
Sesampainya di kamar Yeona tersenyum mendapati giok hijau pemberian nenek masih ada. Dia akan menjaga giok hingga bertemu nenek.
****