Yoo Joon tidak percaya dengan matanya sendiri. Dia memergoki Ja In keluar dari kamar Yeona. Bagaimana bisa gadis itu keluar masuk kamar orang?
"Katakan Ja In, apa yang kamu lakukan dan kenapa bisa kamu keluar dari sana?"
Serius. Wajah manis Yoo Joon tidak pernah seserius ini. Bahkan suara yang biasa penuh canda dan jenaka sekarang berada di titik terendah, lalu meninggi secara berangsur.
"Dari mana kau mendapat kunci kamar untuk masuk ke sana!"
"Pintunya tidak dikunci." Ja In tidak berani memandang wajah Yoo Joon. Selalu begini kalau bohong atau berbuat salah. "Argh sudahlah, sekarang sudah malam aku mengantuk.
Siapa yang percaya dengan cara menguap Ja In? Menepuk mulut sambil menarik tangan ke atas. Dia melintas menerobos, menuju tangga.
Yoo Joon memutar badan Ja In untuk menghadapnya kembali. "Jawab aku!"
Ja In tersentak kaget. Yoo Joon jarang membentaknya. Sekarang demi Yeona dia seperti ini? Rasa cemburu Ja In semakin menjadi - jadi, tapi gengsi menutupi semua rasa itu.
"Aku hanya … hanya … eh, kenapa kamu berada di sini, kamu tahu ini sayap kamar perempuan? Kamu mau mengintip orang mandi, begitu? Lihat saja akan aku laporkan ke kak Chung-hee!"
Yoo joon sedikit panik. Dia sadar tujuannya semula ingin mengganggu Yeona. "Anu, sebenarnya–hei, jangan merubah topik! Katakan apa yang kamu lakukan di sini?!"
"Berisik! Aku mau tidur!" Ja In kabur tanpa mengindahkan Yoo Joon.
"Oi Ja In, kamu aneh sekali. Ooi!" Yoo Joon mengekor padanya. "Apa yang kamu lakukan pada Yeona?"
"Yeona lagi Yeona lagi. Kalian baru saling mengenal, kenapa kamu peduli sekali padanya?! Bahkan menciumnya!" Ja In menepuk dada sendiri. "Lalu bagaimana denganku? Berapa tahun aku menemanimu. Apa yang kamu beri untukku, hah?! Jawab!"
"Kita sepupuan, kan?" sahut Yoo Joon.
"Lalu kenapa dengan sepupu? Apa sepupu tidak boleh saling mencintai? Apa salah jika aku mencintaimu?"
Tanpa Ja In sadari air mata mengalir di pipinya. Yoo Joon berusaha menghapus air mata, tapi tangan itu ditepis Ja In.
"Jangan pegang aku!" Ja In menggeleng, melangkah mundur, mengusap air mata. Penyesalan terlukis dari raut wajahnya. "Lupakan apa yang aku ucapkan. Aku hanya asal bicara."
Yoo Joon terlanjur mendengar semua ucapannya. Dia termenung memandang Ja In. Suaranya begitu dalam. "Apa yang kamu katakan tadi benar, kamu menyukaiku?"
Ja In tersenyum lalu tertawa dan menekan perut. Dia berakting jenaka, padahal dadanya berdebar keras. "Lihat wajahmu. Lucu sekali. Padahal aku hanya bercanda. Sudahlah ayo pergi."
Yoo Joon menggapai jarinya, menarik hingga gagal bergerak. "Ja In, katakan sekali lagi. Siapa yang kamu sukai."
Ja In menarik tangan hingga genggaman Yoo Joon lepas.
Yoo Joon ingin memastikan semua bukan mimpi. Realita yang manis juga berbahaya. Sebagai sepupu saling suka, bagaimana dia menjelaskan pada keluarga?
Ja In baru sadar beberapa gadis mengintip dari pintu kamar mereka yang terbuka sedikit. "Aku ngantuk, besok kita diskusi."
Ja In berhasil kabur untuk sementara, tapi sampai kapan. Masalah Ja In datang bertubi-tubi. Bukan hanya menjalankan rencana jahat Ok, tapi sekarang hatinya kacau lantaran kecerobohannya bilang menyukai Yoo Joon.
Di dalam kamar, dia membenamkan wajah ke bantal. Ja In membenci dirinya sendiri karena kecerobohan yang dia lakukan. "Bagaimana sekarang. Apa yang harus aku lakukan?"
Ja In menyesal menuruti perintah Ok, karena tadi ketika berada di kamar Yeona, dia melihat Yeona pulang bersama Chung-hee dari jalan-jalan. Bukankah itu berarti Yeona tidak menyukai Yoo Joon? Sekarang dia binbang.
Apa yang dia lakukan benar?
*
Sementara itu di Seoul ….
Semenjak kehilangan kontak dengan Yeona, Sujun menjadi seperti kucing kehilangan anaknya. Bagaimana tidak, semua terjadi setelah dia membatalkan janji. Setelah dia membuat Yeona menangis di halte.
Seperti hari-hari setelah Yeona menghilang, sambil mengemudi mobil dia menelepon detektif.
"Apa kalian berhasil menemukannya?"
"Tuan Sujun, kami berusaha melakukan yang terbaik. Bahkan kami mengirim orang ke Beijing dan Tokyo untuk mencari Nona Yeona."
"Kalian harus mengirim lebih banyak orang. Akan aku kirim dana lima juta won. Jika kurang, bilang padaku."
"Terima kasih, Tuan. Kami akan melakukan yang terbaik."
Sujun menyudahi telepon. Mobilnya parkir dalam lahan parkir bawah tanah rumah sakit. Ia memejam sejenak sebelum keluar mobil menuju lift.
Ia sering datang terlambat ke kantor karena mendatangi rumah sakit. Dia punya kebiasaan baru. Dua hari sekali ia selalu mencari Ara.
Keluar lift, Sujun melangkah menuju ruang kerja para dokter magang. Ia berdiri di depan pintu yang terbuka lebar.
Beberapa dokter dan suster menoleh memandangnya dengan biasa saja. Mereka mulai terbiasa dengan kehadiran Sujun.
"Ara, kekasih gelapmu datang," goda dokter muda di sebelah Ara,membuatnya menghela nafas panjang.
"Mau apa lagi, kamu tidak bosan menemuiku?" sahut Ara dengan kebal memutar kursi putar.
Suara Sujun datar ketika menjawab, "Bisa kita bicara?"
"Aku di sini bekerja, bukan bermain."
Sujun memandang datar Ara. "Tapi kamu sedang bersantai."
Terdengar suara pengumuman. [Dokter Ara, ditunggu di kamar pasien nomor 104.]
"Kamu dengar?" Ara bangkit dari duduknya, mengambil jas dokter, lalu keluar melalui pintu geser lain.
Sujun mengiringi langkahnya di lorong panjang rumah sakit. "Aku tahu kanu menyembunyikan Yeona, beritahu di mana dia berada. Aku janji tidak akan memberitahu siapapun."
"Demi Tuhan aku tidak tahu."
"Lalu kenapa kamu santai saja? Apa kamu tidak khawatir akan keadaan Yeona?!"
"Aku khawatir, tapi tidak sepertimu. Aku tahu dia baik-baik saja."
Sujun membalik badan Ara untuk memandang langsung mata gadis itu. "Dari mana kamu tahu dia baik-baik saja? Kamu tahu di mana dia, kan? Ayo jawab!"
Ara meronta. "Lepas, sakit, kamu menyakitiku!"
"Jawab dulu!"
Belum usai Sujun berkata, seseorang melepas kasar genggamannya pada Ara.
Ran Gi mendorong Sujun menjauh. "Kamu menyakiti."
"Ini bukan urusanmu."
Suara Ran Gi meninggi menjawab Sujun. Tiada canda. Dia bersungguh - sungguh melindungi Ara. "Kamu menyakiti gadisku, tentu ini urusanku!"
"Ran Gi, cukup." Ara menarik lengan dokter muda menjauhi Sujun. Dia tidak mau Ran Gi terlibat masalah. "Ini rumah sakit, jangan berteriak."
Ran Gi dan Sujun bertukar pandang cukup lama seperti dua singa. Sepertinya persahabatan mereka berada diujung tanduk. Semua demi Yeona. Semua demi cinta.
"Sujun, pergilah. Nanti kita bicara," pinta Ara, berhasil membuat Sujun melangkah mundur, lalu pergi.
Sujun ingin meminta maaf karena menelantarkan Yeona. Dia bahkan membawa kunci rumah dan semua surat berharga untuknya saat ini.
Walau Tuan So melarangnya, dia berhasil membuat perjanjian dengannya.
Jika dia diperbolehkan memberi rumah untuk Yeona, itu akan menjadi hal terakhir yang dia lakukan untuk gadis itu. Dia berjanji akan melupakan hubungan masa lalu dengan Yeona dan menganggapnya sebagai adik, tidak lebih. Sekarang Yeona menghilang bak ditelan bumi.
Semua salahnya. Andai tempo hari dia tidak gegabah menolak janin Yeona, andai dia mengurungkan niat melamar Hye Rin, semua tidak akan berakhir seperti ini.
"So Sujun. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan pewaris tunggal kekaisaran So, di sini."
Geum Jandi, momok bagi dunia industri, politik, dan kriminal Korea Selatan. Dia tidak bisa disogok atau terintimidasi. Dia juga dijaga 'bayangan' orang tersohor bernama Gu Hyung Jae, kepala keluarga Gu.
Bahkan Sujun enggan berurusan dengannya. Dia membuang muka, lanjut melangkah.
Tiba-tiba langkahnya terhenti, menoleh ke belakang. Mau apa gadis berbisa itu kemari? Apa ada kasus besar yang sedang ditangani?
*
Semetara itu Jandi tersenyum sinis, tidak menyangka bisa bertemu dengan sosok itu di sini. Apa yang sedang dia lakukan?
Jandi menghampiri meja resepsionis. Setelah memberitahu tujuannya kemari, suster mempersilahkannya menuju ruang dokter.
mengetuk pintu ruang dokter, dia disambut oleh dokter senior. Ia membungkuk ramah pada dokter wanita di hadapannya.
"Permisi Nyonya, saya Geum Jandi, telah membuat janji dengan dokter Ara. Bisa saya menemui dia sekarang?"
****