Sementara itu di lantai atap rumah sakit Seoul, Ara dan Ran Gi menduduki bangku yang biasa Yeona gunakan bersama nenek.
Masing -masing mereka memegang gelas plastik berisi kopi panas. Uap tipis keluar dari bagian atas gelas mereka, selagi mereka menikmati bintang di langit. Mereka tertawa membahas masa - masa indah ketika mereka masih berkuliah.
"Andai aku tahu, kamu tidak sedingin yang kukira, pasti semua berbeda." Ara menutup omongan dengan meneguk kopi panas, lalu memakan ojingeo twigim, cumi - cumi goreng tepung.
Ran Gi tersenyum, memakan Hotteok manis, lalu meneguk kopi hitam hingga terdengar suara sruput. "Apa kamu rindu Yeona?"
Ara mengangguk cepat. "Tapi aku yakin, dia sedang berusaha meraih impian. Aku harus mendukungnya."
"Dia gadis baik yang malang. Aku harap dia bisa segera menemukan kebahagiaan."
"Aku harap juga begitu. Pantas Nenek dan Yeona suka berada di sini. Angin sepoi, langit indah."
Ran Gi tersenyum kecil. "Aku lebih suka memandang wajahmu daripada langit."
Gombalannya membuat Ara tertawa kecil, meremas paha Ran Gi yang tengah meneguk kopi hitam. "Apa tidak ada gombalan yang lebih bagus?"
"Banyak, cuma malas menghafal semua."
Mereka tersenyum kecil. Ara semakin dekat dengan Ran Gi, bahkan membiarkan dokter ganteng memijat tengkuknya.
"Kau lelah?"
Ara mengangguk. "Pasti berat kehidupan Yeona. Diperkosa, diusir dari rumah, kehilangan Sujun, membesarkan anak sendiri, hingga akhirnya kehilangan Yui. Kamu tahu, aku bahkan belum sempat melihat bayi itu."
Air mata Ara jatuh ke dalam kopi yang dia pangku. Ran Gi membimbing Ara bersandar di pundaknya. Gadis itu malah membenamkan wajah di lengan. Dia menangis lumayan lepas.
"Jangan ditahan, lepaskan tangismu. Menangislah yang keras supaya plong. Hanya ada aku di sini."
Ara melakukan apa yang Ran Gi perintahkan. Selama dua puluh menit dia meluapkan emosi. Setelah mampu mengontrol diri, dia menarik diri dari sisi Ran Gi.
"Terima kasih sudah mau menjadi tumpuanku," ucap Ara, dengan malu-malu.
"Setiap saat aku siap. Katakan, bagaimana kamu bisa hidup bersama Yeona?"
"Kenapa?"
"Aku ingin mengenal kalian lebih dekat, boleh?"
Ara biasanya malas menceritakan masa lalu pada orang lain, tetapi Ran Gi berbeda. Pemuda itu telah banyak berkorban untuknya, banyak membantu nya juga Yeona. Dia rasa tidak masalah membagi cerita dengannya.
"Ibu, ayah dan kakakku kecelakaan ketika umurku lima tahun. Seluruh harta keluarga diambil bibi. Aku … aku terpaksa nyaris hidup di panti asuhan. Beruntung Nyonya Kang Deokman, yang kala itu bertemu denganku di rumah sakit, memungutku."
"Baik sekali dia."
"Begitulah. Nyonya Deokman sahabat mendiang ayahku. Setelah beberapa bulan hidup bersamanya, aku mulai memanggilnya ibu. Yeona menerimaku sebagai saudari. Kami hidup bersama di desa."
Ran Gi mengangguk pelan. "Lalu bagaimana kalian bisa mengenal Sujun?"
Ara tersenyum pahit. "Kalau diingat lagi, dulu ketika berusia lima tahun keadaan fisik Sujun lemah. Dia tinggal bersama pamannya, menjauh dari Seoul demi udara segar.
"Dia terjatuh di depan rumah kami, lalu ibu membawanya masuk ke rumah. Di sana dia siuman dan berkenalan dengan kami. Dia makan malam bersama kami dan katanya masakan ibu enak. Karena masakan dia datang setiap hari untuk makan siang, kadang makan malam. Tapi aku tahu yang dia cari adalah Yeona."
Alis Ran Gi terangkat. "Mereka masih kecil, sudah saling menyukai?"
Ara tertawa kecil sambil menggeleng. "Itu hanya prediksi saja. Yang jelas, hubungan kami semakin dekat."
"Tiga sekawan, hmm?"
Ara mengangguk. Sebenarnya empat. Ada Daegu, anak tetangga sebelah, tapi biar itu menjadi rahasia.
"Bagaimana Sujun bisa pacaran dengan Yeona?" tanya Ran Gi dengan penasaran.
"Di SMA, kira-kira enam tahun yang lalu. Sujun menembak Yeona dan resmi pacaran."
"Kapan kalian pindah ke Seoul?"
Pertanyaan Ran Gi membuat Ara tersenyum pahit. "Kalau aku sekitar lima tahun yang lalu karena kuliah beasiswa. Sementara Yeona pindah sekitar empat tahun yang lalu, setelah ibu pergi ke surga."
"Dan Sujun bertemu Hye Rin, kan?"
"Iya, sepertinya begitu. Dia mengantar Yeona pindahan. Hei, bagaimana kamu tahu?"
"Menebak." Ran Gi meneguk habis kopi bagiannya. "Sekarang aku bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Yeona masih polos dan Hye Rin memanfaatkan kepolosan itu untuk merebut pacar kakaknya."
"Ya … andai Daegu tidak masuk wajib militer. Pasti beda cerita."
Ran Gi menoleh kencang seperti namanya saja yang dipanggil. "Daegu? Siapa Daegu?"
"Bukan, maksudku diriku. Bukan Daegu, ya, diriku." Ara tertawa lalu meneguk habis kopi. "Sudah malam, ayo pulang."
Ara panik. Dia tidak ingin memberitahu siapa Daegu. Dia buru-buru bangkit hendak pergi, tetapi tangannya tertangkap.
"Ada yang ingin kubicarakan," ucap Ran Gi, dengan nada serius.
"Apa? Besok saja, ya. Sudah malam."
Namun, Ran Gi memaksa. Dia menarik Ara duduk kembali di bangku panjang.
"Ayo, temui orang tuaku.
"Huh?" Mulut Ara terbuka lebar, lupa cara menutup kembali.
Bagian kulit tulang pipi Ran Gi memerah, dia tidak berani memandang Ara ketika berkata, "Ya, aku ingin memperkenalkan kamu sebagai tunangan."
"Tu-tunangan?"
Ran Gi mengangguk, memakaikan cincin indah ke jari tangan Ara. "Yuk."
"Yuk? Maksudmu menemui mereka sekarang?" Ara menarik tangannya, mengagumi cincin emas berkepala berlian putih susu. "Apa kamu gila, aku belum siap!"
"Ya aku juga belum siap, maksudku ayo aku antar pulang."
"Oh." Sekarang wajah Ara yang memerah malu.
Namun, dia benar-benar tidak menyangka Ran Gi secepat ini mengajak bertunangan.
*
Sementara itu malam di balai pelatihan.
Membaca buku yang dia pinjam dari perpustakaan balai, Yeona memutuskan untuk tidak datang menemui Yoo Joon di lantai atap. Dia memilih bersantai dalam kamar.
Ada banyak alasan kenapa Yeona tidak menemuinya. Pertama, karena sekarang sudah malam. Kedua, aturan balai tegas melarang murid berkeliaran di larut malam. Mereka harus istirahat di kamar. Ketiga, dia malas menuruti perintah Yoo Joon.
Konsentrasinya membaca terusik oleh suara gedoran pintu.
"Siapa?" tanya Yeona. Ini tamu pertamanya di malam hari, semenjak berada di balai.
"Buka pintunya!" Suara Ja In.
"Iya sabar."
Ja In sepertinya marah. Yeona tidak ingin membuatnya bertambah marah dengan membuat dia menunggu lama di sana.
Membuka pintu kamar, Geona mendaoati Ja In berdiri memakai seragam jaket dan celana parasut.
Ramah Yeona menyambutnya dengan senyum. "Ja In, ada apa? Ayo, mau masuk? Kebetulan aku sedang membuat susu hangat."
"Aku tidak butuh susumu. Kamu membuat Yoo Joon menunggu lama di lantai atap! Cepat temui dia!" bentak Ja In, lalu ia pergi begitu saja.
Mata Yeona berputar pada porosnya. "Ja In, bilang Yoo Jòon. Aku mengantuk, mau tidur. Besok saja kalau mau bicara."
Langkah Ja In terhenti, menghampiri Geona sambil menjawab, "Heh! Temui Yoo Joon sekarang!" Dia menyeret Yeona keluar kamar.
"Aku ngantuk, besok harus bangun pagi!" Sahut Yeona, enggan pergi.
"Aku bilang temui, ya temui!"
Keributan membuat beberapa orang keluar dari kamar mereka untuk mengintip kejadian tarik menarik di lorong.
"Apa yang kalian lakukan?" sentak Ok, menghampiri Yeona dan Ja In.
Dia memisahkan Yeona dan Ja In. Setelah mendengar penjelasan dari Yeona, Ok menyuruh Ja In pergi menyeret Yoo Joon kembali ke kamar, lalu meminta Yeona untuk istirahat di kamar.
"Dasar wanita sial, awas kamu, ya. Aku akan membuat perhitungan denganmu," gumam Ja In, kesal memandang lekat Yeona. Dia melangkah menuju lantai atap balai, guna menyeret Yoo Joon kembali ke kamarnya.
****