Yeona tertawa kecil. Begitu polos dirinya memandang tinggi Gao Chung-hee. Ternyata dia tak ubahnya lelaki lainnya, mata keranjang, egois, mesum.
Dari awal dia bermain sandiwara menjadi pemuda baik berbudi luhur tinggi, nyatanya semua kebaikan tadi hanya untuk membawa Yeona naik ke ranjangnya.
"Ada apa Nona Yeona? Apa ada yang lucu?"
"Semua yang terjadi hari ini sangat lucu, Tuan Muda Pertama."
Chung-hee berbalik badan menghadap gadis itu dengan raut wajah bingung. "Bisa kamu beritahu aku, Nona, apa yang lucu?"
"Maaf, aku lebih baik kedinginan daripada melayani nafsu gilamu, Tuan Muda Gao." Ketus Yeona menjawab, kembali duduk di bangku menghadap jalanan di luar sana.
"Maksudmu apa?"
Yeona enggan menjawab, apalagi menoleh memandang pria menjijikkan di belakangnya. "Sudah jelas, kan? Aku tidak ingin berbagi ranjang denganmu."
"Ayo, lebih hangat dalam kamar Nona Ok daripada di sini," ucap Chung-hee dengan tegas.
Kabut kelam yang menyelimuti hati Yeona perlahan sirna. Pikiran dan hati semakin sadar jika anggapannya salah. Dia bangkit menghadap Chung-hee. "Maksud Tuan?"
"Nona bisa tidur di kamar Nona Ok. Ayo, lekas, sebelum dia terlelap tidur."
Yeona tersenyum malu. Dia terlalu ngeres untuk berpikir jernih. Dia ingin bersembunyi ke tempat yang gelap!
Yeona bergegas mengikuti Chung-hee menuju salah satu kamar di lantai dua sayap kiri gedung.
"Sayap kiri bangunan balai merupakan asrama wanita. Sayap kanan adalah asrama pria. Bangunan tengah lokasi pembelajaran, kantin, auditorium, ruang kepala balai, gym, UKS, kantin, dan ruang laundry berada di bagian belakang. Hafalkan denah."
"Baik Tuan. Tuan kenapa memberitahu sedetail itu?"
"Kamu resmi menjadi murid balai. Selamat, ya."
"Huh?"
"Ya, sekarang sudah malam dan manusia titipan nenek entah berada di mana. Kamarnya bisa kamu pakai. Besok minta kunci pada Paman berkumis."
Yeona menahan tawa. Dia titipan nenek! Ternyata Chung-hee baik. Rasa aman dan nyaman kembali menyelimutinya, tapi rasa sungkan semakin besar kepada Tuan Muda.
Berdiri di depan pintu kamar nomor 12, Chung-hee mengetuk pintu. "Ok, masih bangun?"
"Bagaimana jika dia sudah terlelap tidur?" bisik Yeona.
"Masih banyak kamar gadis di sini. Ok, ini aku Chung-hee. Bisa bukakan pintu kamarmu?"
"Sebentar." Suara gadis menyahut dari dalam. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan gadis itu muncul.
Ramah Nona Ok menyambut ramah mereka lalu melihat Yeona di belakang Chung-hee, raut wajahnya sedikit kesal, tetapi langsung berubah ramah.
"Ada apa Kak Chung-hee?"
"Tamu balai tidak punya uang untuk menginap di hotel. Sementara kunci kamar kosong dibawa paman. Aku sungkan membangunkan beliau. Bagaimana kalau malam ini dia tidur bersamamu?"
"Aku tahu." Nona Ok mengedipkan mata, menarik Yeona masuk kamar. "Serahkan semua padaku. Malam ini dia akan tidur nyenyak seperti balok kayu sampai pagi."
Chung-hee mendengus lega, mengangguk kecil. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Sampai berjumpa besok, Ok."
"Ya, Kak."
Setelah Chung-hee pergi, Ok menutup rapat pintu kamar. Dia membantu membawakan tas Yeona masuk kamar.
"Jadi, kalian kenal di mana?" tanya Ok.
"Huh, maksud Nona?"
Ok mengajak Yeona bersalaman. "Perkenalkan, aku Hyun Ok, kamu bisa memanggilku Ok seperti yang lain."
Setelah bersalaman, Nona Ok menaruh tas ke sebelah ranjang, lalu menata kasur. "Ayo, tidur sini. Kasur ini cukup luas untuk dua gadis kurus."
"Terima kasih, Nona, tapi aku ingin mandi dulu."
"Panggil Kak, aku masih berumur dua puluhan." Ok mempersilahkan Yeona masuk kamar mandi.
Yeona mengangguk kecil, masuk ke sana. Tak lama kemudian, terdengar gemericik air shower.
Ok memandang sinis pintu kamar mandi, lalu membuka tas ransel Yeona, memeriksa isinya. Hanya ada pakaian.
"Sepertinya dia benar-benar kehilangan dompet." Ok merasa bersalah karena melakukan hal tercela.
Ia bergegas merapikan isi tas ransel, berusaha bersikap senormal mungkin.
Mungkin dia hanya cemburu buta. Ia cemburu lantaran Yeona terlalu dekat dengan Chung-hee.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Yeona keluar kamar mandi dalam busana santai sambil mengeringkan rambut memakai handuk.
"Segar sekali dari siang belum mandi."
"Ayo sini, istirahat." Ok menepuk kasur.
Dua bidadari berbagi kasur, terlentang di sana.
Mereka mengobrol sejenak. Menurut Ok, sepertinya Yeona tipe gadis supel.
"Kamu tahu, ketika tes tadi kamu sungguh hebat!" Puji Ok.
"Kakak terlalu memuji."
"Serius. Chung-hee sampai memujimu. Sepertinya kalian telah lama saling kenal, sampai Kak Chung-hee memberimu saputangan."
Yeona menanggapi santai. "Kami bertemu di kereta. Kebetulan saat itu aku sedang …." Yeona terdiam sejenak.
Yeona sungkan mengatakan jika kala itu sedang sedih karena Sujun, bukan sesuatu yang bisa diumbar. Akan tetapi jika tidak jujur, Kak Ok bakalan menaruh curiga jika dia dan Chung-hee memiliki hubungan spesial.
Menurutnya, Ok memendam rasa pada Chung-hee. Mungkin mereka berpacaran. Dia tidak ingin menjadi pihak ketiga di antara mereka.
"Kala itu di kereta aku sedang menangis. Dia merasa kasihan dan meminjamkan saputangan kepadaku."
"Hmm begitu ya. Kak Chung-hee memang baik hati. Kamu sangat cantik, mungkin dia jatuh hati padamu."
"Aigo, tidak mungkin."
"Serius. Kamu cantik sekali."
Yeona menjawab, "Jika begitu, Kakak Chung-hee seharusnya jatuh hati pada Kakak Ko, karena kakak lebih cantik."
Mereka saling memuji seperti sepasang bidadari, tak lama kemudian, mereka tidur pulas.
*
Di pagi hari, lapangan penuh penghuni asrama ketika matahari berjuang naik ke angkasa.
Yeona memakai setelan training berada dalam barisan murid. Di hadapan mereka berdiri para pengurus balai.
Jumlah mereka lima belas orang.
"Saya Paman Kumis, guru akting kalian. Pria gendut di sana Paman Gembul, guru vokal dan musik. Di sebelahnya Nona Big, guru rias."
Dia berpaling ke sisi lain. "Guru fisik kalian, Tuan Muda Chung-hee. Selama Tuan Gao pergi, dia menjadi penanggung jawab balai. Di sebelah Tuan Muda adalah Nona Ok. Dia mengurusi absensi."
Paman Kumis tersenyum ramah pada semua murid. "Jumlah total murid delapan puluh orang. Selama beberapa bulan kalian akan menerima pelatihan suara, musik, akting, fisik, dan cara merawat tubuh dengan kosmetik. Setelah itu kalian bebas menentukan karir atau mau terus belajar di sini, mendalami ilmu tingkat lanjut. Terserah, kalian bebas sebebas-bebasnya."
Semua bertepuk tangan. Setelah acara pembukaan selesai, sebagian kembali ke gedung, sebagian berada di lapangan, termasuk Yeona.
Chung-hee berdiri seperti pohon cemara di hadapan mereka. "Hari ini kalian lari keliling blok kompleks. Cukup ringan, bukan? Sekarang lari!"
Para murid berlari menuruti perintah. Setelah itu mereka diajari beberapa gerakan Taekwondo.
Latihan ini sangat penting untuk membentuk tubuh juga mempersiapkan diri untuk opera.
Murid baru berlatih cara memasang kuda kuda. Sementara mereka yang telah lama berlatih mempraktekkan gerakan jurus masing-masing.
Chung-hee dibantu dua orang lain memberi pelajaran pada mereka.
Yeona kaget ketika tiba-tiba Yoo Joon membisikkan sesuatu secara tiba-tiba.
"Hutangmu sudah lima ratus ribu won. Bagaimana caramu membayarku?"
Yeona mendorong Yoo Joon dengan kasar. "Jangan pernah berbisik padaku seperti itu, Sialan!"
"Banyak wanita rela mati demi merasakan bisikanku, Nona. Kamu beruntung."
Bukan beruntung, tapi musibah mengenalmu, batin Yeona, mencoba fokus pada latihan. Bocah itu seperti anak kecil, menyebalkan. Dia pikir dia yang paling hebat, merasa paling jago, dan paling kuat? Menjijikkan.
Dia memang hebat, hebat karena banyak uang. Dia memang jago, jago membuat Yeona sebal dan yeah, dia paling kuat, kuat mental dan tebal muka.
Yoo Joon berkata, "Bagaimana jika malam minggu temui aku di lantai atap?"
Yeona tidak menjawab, memasang wajah heran. Entah apa yang merasuki pemuda itu hingga berani mengajak Yeona bertemu.
"Kita bicara empat mata." Yoo Joon sok imut mengedipkan satu mata, memberi senyum nakal pada Yeona. "Bye wanita banyak hutang!"
"Bocah bau kencur, menamai orang seenak jidat sendiri!" bentak Yeona, memandang sebal pada Yoo Joon yang tertawa riang menjauh darinya.
Tanpa Yeona sadari dari arah belakang sepasang mata memandang lekat seperti ingin menghabisinya.
****