"Hei, tunggu...."
Beberapa orang keluar dengan wajah penuh tanya dari ruang aula, Marie tidak peduli terus mengejar.
"Paman kedua..."
Pria yang di panggil paman kedua berbalik menghadapnya, "Ada apa Marie? tugas yang aku berikan sudah bagus kamu lakukan" katanya. Disampingnya ada seorang wanita dengan penampilan elegan dan lembut, pandangan penuh selidik, intens diberikan.
"Aku hanya ingin menagih janji paman kedua"
Marie mempercepat langkahnya hingga di hadapan keduanya. Tampak wajah tidak senang, namun Marie berkeras untuk tetap di tempatnya.
"Janji? Gerold, apa yang kamu janjikan padanya? apa paman ketiga tahu dan ayahnya?" tanyanya, tangan di lengan semakin kuat mencengkram.
"Tenang lah Selbiva beri aku waktu bicara dengannya, kamu tunggu aku di mobil" jawab Gerold melepaskan.
"Aku tunggu! jangan lama-lama", Selbiva pergi tinggalkan mereka berdua dengan marah dan masuk ke dalam mobilnya.
Perlahan-lahan gestur tubuh Marie mengendur, "Paman, maaf tapi aku terdesak" katanya beralasan.
Gerold tersenyum tipis, "Tidak apa, katakan saja. Apa mau mu? ini masih dalam area pemakaman, aku harap nona Marie tahu aturan" ujarnya pelan.
"Paman kedua, mengapa bicara begitu? apa salah Marie jika ibu meninggal? bukankah ini keinginan dari paman?"
"Marie..."
Suara Marie tidak terdengar keras tapi gaya dan intonasi lemah membuat orang-orang yang datang ke pemakaman Liliana tertarik untuk mendengarkan.
"Paman kedua, aku hanya menagih janji paman untuk menikahi ku setelah ibu meninggal, apa paman ingin ingkar janji?"
Gerold tertegun mendengarnya, benar-benar wanita kecil yang licik pikirnya muram. Langkah kaki tergesa-gesa mendekati mereka berdua, "Kalian berdua bicarakan di rumah, jangan buat malu kakak ipar yang baru saja meninggal" serunya segera menarik pergi Marie dari tempat itu.
Marie berjalan mengikuti tarikan tangan paman ketiga, Wuya menuju mobil yang terparkir di belakang mobil paman kedua.
"Masuklah, kita pulang"
"Tapi, paman ketiga...."
"Masuk!"
Walau enggan, Marie tetap masuk ke dalam mobil milik Wuya. Suara kutukan dalam hatinya bikin hati Wuya menghangat. Wuya memastikan keamanan Marie lebih dulu sebelum masuk lalu melihat atau Gerold yang sudah lebih dulu pergi.
"Paman ketiga, apa yang terjadi?"
Menoleh ke arah gerombolan yang menghampiri, anak pertama dan anak ketiga serta ke empat dari Liliana menatap penuh curiga padanya.
"Hanzu , kita bicara di rumah besar"
Tanpa menunggu, Wuya cepat masuk dalam mobil kemudian pergi tinggalkan tempat pemakaman tersebut.
"Hanzu, menurutmu kakak Marie akan membuat drama?" tanya Jezu Chinla, anak ketiga. Jezu tidak mengerti tentang perubahan Marie beberapa bulan terakhir karena Liliana jatuh sakit.
"Aku tidak tahu, Jezu" jawab Hanzu Chinla melihat kedua adiknya dengan sedih. Sejujurnya iapun tidak tahu apa yang terjadi, terlalu sibuk bekerja jadi buta terhadap situasi rumah.
"Ibu selalu memihak Marie sejak lama demikian juga paman, bagaimana nasib kita di masa depan?" tanya Robert Chinla dengan nada khawatir.
Dasma Chinla menatap satu-satu anaknya, sejak awal sudah melihat, ia bukan orang bodoh tidak bisa menebak.
"Kita pulang dulu. Apapun itu kita harus mengerti jika paman kedua dan ketiga memiliki kesulitan tersendiri"
"Ayah" ucap anak-anaknya bersamaan yang terkejut tapi tetap penuh hormat, "Ayo pulang, musim dingin kali ini akan semakin dingin jika tidak pulang" seru Damas berjalan menuju mobil besarnya.
🔥
Angin dingin bertiup, rasa dingin mencekam tulang. Marie meniup kedua tangannya dengan uap panas dari mulutnya.
"Dingin?"
"Ya paman"
"Disini tidak ada siapapun, mengapa kamu masih memangil aku paman"
"Aku hanya tidak ingin salah panggil"
"Pemakaman ibumu tampak bagus, terima kasih"
"Paman masih mencintainya?"
"Tentu saja. Ibumu wanita hebat"
"Paman, apakah aku salah meminta paman kedua bertanggungjawab padaku? kamu tahu dia..."
"Apa ibumu tahu hal ini?"
"Iya karena inilah ibu meninggal"
Marie menangis dengan perasaan terluka dan hancur, Wuya mengelengkan kepalanya lalu meraih untuk mengusap rambut Marie dengan satu tangan. Air mata terhenti ketika ujung jempol Wuya mengusap, Marie semakin bingung dengan tindakan anehnya.
"Jangan merasa bersalah. Sakit ibumu cukup parah. Dokter juga sudah berkata begitu. Kamu anak baik Marie dibandingkan anak-anak lainnya"
"Paman, aku-- "
"Marie, sebaiknya kamu atur setiap langkahmu sebelum aku melakukan sesuatu"
Kepala Marie cepat berputar arah Wuya, "Apa maksud paman?" tanyanya hati-hati.
"Ibumu sudah meninggal, tidak ada yang tahu siapa berikutnya. Marie, paman hanya anak angkat dari pihak ayahmu. Jangan melebihi batas kalau tidak cincinku ada di jarimu"
Rasa dingin lenyap seketika mendengarnya, jauh dalam lubuk hati Marie, ada beberapa orang yang tidak boleh di singgung.
"Paman, terlalu banyak berpikir"
"Marie, aku menahan diri cukup lama. Umurmu denganku tidak berbeda jauh, hatiku juga tahu. Aku harap, kamu mulai berpikir untuk mempertimbangkan kemungkinan"
"Aku-- mencintai paman kedua"
"Marie, ini tidak benar"
"Pemakaman ibuku belum usai, apakah paman ketiga tidak terlalu terburu-buru?"
Mobil melambat di sisi jalan masuk gerbang rumah Liliana Cyena. Wuya mematikan mobilnya lalu berputar melihat arah Marie.
"Kamu milikku Marie. Sampai kematian berulang, kamu tetap milikku. Ingat itu! tidak seorangpun bisa mengambil apa yang sudah aku inginkan"
"Kamu-- "
"Apa! kamu ingin berkata aku gila? kamu-- seharusnya melihat dirimu yang gila merendahkan diri hanya untuk seorang pria beristri"
"Paman kedua belum menikah"
"Tunggu dua bulan, Gerold menikahi Selbiva di depan matamu tetapi tentunya, aku lebih dulu menikahi mu"
Gerakan samar mengetuk pintu kaca mobil, Marie cepat melepaskan seat belt lalu membuka pintunya.
"Kakak, apa yang kalian lakukan? ayah sudah menunggu untuk memulai"
"Ah ya, terima kasih paman ketiga, aku masuk lebih dulu"
Marie meraih tangan Jezu untuk segera pergi dari sana, Wuya tersenyum tipis melihatnya, keluar dari mobil.
"Belum waktunya, kamu tahu itu Wuya"
Dasma bersandar di mobil Wuya dengan tangan terlipat, "Tanahnya masih belum kering, aku harap..." katanya tanpa berniat melanjutkan.
"Anak sudah di gadai demi rumah mewah dan hidup nyaman, bukankah sudah saatnya membayar hutang?"
"Tunggu satu dua hari, kamu baru datang untuk melamarnya"
"Dia hanya sebatas selir di meja dapur, untuk apa prosedur yang tidak penting"
"Namaku jadi taruhan"
"Hahaha "
Tawa kering di lontarkan sekedar mengejeknya, Dasma tahu tapi ia tak peduli terus melangkah menjauh.
"Liliana, betapa menyedihkan kematian mu bahkan sampai akhir, kamu masih tidak tahu jika suami dan anakmu mempermainkan namamu" keluh Wuya dengan hati sedih.
Wuya melangkah mengikuti langkah Damas memasuki rumah. Terdapat beberapa orang yang dikenalnya untuk acara selanjutnya yaitu pembacaan doa mengantar arwah dan surat warisan.
Hanzu dan Robert berdiri di sudut, Marie dan Jezu duduk di sofa panjang sementara Dasma berada dekat perapian. Hanzu dan Selbiva duduk di sofa tunggal.
Pengacara keluarga merapikan berkas di depan mereka, orang yang bertugas mulai mengucapkan alunan doa untuk mengantarkan arwah Liliana agar tenang di alamnya.
Tradisi konyol yang masih dipertahankan, jasad dikubur barulah di doakan kemudian dibacakan pesan terakhir.