Chereads / Flower Bloom / Chapter 4 - Pohon Pinus

Chapter 4 - Pohon Pinus

tap... tap... tap ...

Marie berlari sangat kencang arah taman. Ada tempat tersembunyi disini. Tempat dimana Marie selalu bertemu Gerold, ia nyakin Gerold akan menjelaskan semuanya.

"Marie...."

Langkah dipercepat. Nafas memburu, rasa takut terus mengancam sampai kegelisahan memuncak di dada Marie. Suara Wuya di rasakan dekat, jantungnya semakin berdebar tidak beraturan.

Cepat... cepat pikir Marie, beberapa kali tersandung jatuh namun bangkit lagi tanpa mengacuhkan rasa sakit yang menyebar di kedua lututnya.

Suara dedaunan di buang ke arah bebas, melompat dan berlari tanpa henti. Tinggal sedikit lagi pikirnya.

bum....

Debu berterbangan di udara. Angin terhempas bagai sebuah kisah lama tanpa akhir. Mata terpejam perlahan membuka, mendapatkan satu mata yang dibencinya.

"Marie, kamu sangat menyebalkan"

"Kamu-- "

"Kita sudah menikah, mengapa kamu lari?"

"Aku-- "

"Tempat ini indah, kita bisa mulai disini saja untuk bulan madu"

"Awas!"

"Apa aku berat?"

"Wuya, apa yang kamu lakukan? hei...."

Tidak ada yang tahu neraka kapan datang, keduanya berada dibawah pesona alam ketika terdengar suara.

krek... bum!

Darah mengalir deras ke sekeliling, mata terbelalak menatap kepala Wuya yang terkulai di bahunya.

"Apa yang....huk..."

Darah keluar dari mulutnya, terasa menyakitkan dan berat. Marie mengamati keadaan, pohon pinus menimpa tubuh mereka berdua.

"Wuya... bangun... hei, jangan bercanda"

Marie terus berusaha mengguncang atau menggeser badan Wuya ataupun pohon pinus tersebut tetapi tidak bergerak.

plok... plok.... plok....

Suara tepukan terdengar jelas, Marie melihat arah datangnya suara. Gerold berdiri tegak dengan kapak di sisi kanannya.

"Gerold..."

"Marie... Marie... aku tidak mudah melakukan segalanya tapi kamu mengacaukan. Apa ini disebut semua berada dalam genggaman tangan?"

"Aku-- , bantu aku Gerold"

"Bantu? apa?"

"Tolong singkirkan pohon ini dan Wuya"

"Kamu berbohong padaku Marie"

"Aku-- tidak berbohong. Semua sudah seperti yang kamu mau Gerold tapi aku tidak tahu jika ibu berbuat lain"

"Jangan beralasan kosong"

"Aku-- tidak, Gerold percayalah"

srek...srek... suara dedaunan diinjak terdengar membuat Marie bungkam begitu tahu siapa yang datang. Dadanya sakit dan kesadaran mulai berkurang.

"Gerold?"

"Bukankah sudah kukatakan untuk menunggu di mobil?"

"Maaf tapi hari sebentar lagi gelap. Ayah sudah menelpon berulangkali"

"Baiklah, ayo kita pulang"

Gerold santai menghampiri Silbiva yang terlihat pucat melihat arah Marie. Terlihat kesakitan di mata Marie.

"Gerold, jangan tinggalkan aku"

"Dia..."

"Itu hukuman untuknya, jangan pedulikan. Silbiva, aku harap kamu tidak berbohong atau berkhianat di belakangku"

"Aku-- tidak akan"

Gerold dan Silbiva meninggalkan Marie yang diam melihat kepergian mereka berdua dengan air mata meleleh disekitar wajahnya.

"Wuya, bangunlah, aku-- takut"

Tak ada suara apapun selain dedaunan dan binatang malam. Marie memandang lekat arah langit tanpa bintang, penyesalan mulai merambat dalam hatinya.

"Marie..."

"Wuya? kamu sadar. Kita terjebak disini"

"Marie, jika suatu hari kita bertemu lagi, apakah kamu mau jadi istriku"

"Mengapa kamu bicara begitu? bangunlah, dadaku sakit sekali"

"Bodoh! kita akan mati disini"

"Tapi aku tak mau mati begini"

Suara tangis Marie menyesatkan dan memilukan namun, Wuya tak berdaya untuk membantunya.

"Jika kita bertemu lagi, apakah kamu mau menjadi istriku lagi?"

"Aku-- "

"Marie, aku sangat mencintaimu"

"Maaf Wuya, aku tidak tahu apa itu cinta. Aku hanya tahu Gerold berikan kenyamanan dan ketenangan untukku"

"Aku akan mengajari kamu tapi maukah kamu mau menjadi istriku?"

"Benarkah? sungguh?"

"Ya, Marie. Aku akan lakukan apapun untukmu agar kamu mengerti cinta"

"Baiklah tapi aku tidak mau mempunyai taman yang ada pohon pinus atau pohon besar"

"Benarkah kamu mau?"

"Ya, aku mau"

"Aku akan mencarimu"

"Tapi bagaimana aku bisa kamu temukan?"

"Percayalah padaku, aku pasti akan menemukan kamu"

"Oh"

Wuya mulai kehilangan kesadarannya, iapun menutup mulut mungilnya lalu terjatuh di bahu Marie.

"Wuya..."

"Wuya, hei! jangan tinggalkan aku sendirian"

"Wuya..."

Marie terus berteriak tapi tak ada lagi sautan dari Wuya. Untuk kali ini, Marie merasa habis waktunya.

"Wuya, aku akan menjadi istrimu selalu di setiap kelahiran, jangan khawatir"

Marie merasa lelah, ia berfikir untuk tidur sebentar karena rasa sakitnya mulai mati rasa.

Suara burung dan dedaunan mengiringi kepergian keduanya. Angin malam dan hujan turut berdukacita dengan keras.

🔥

Dasma diam mematung melihat arah taman, dilihatnya kematian Marie dan Wuya dengan dingin.

"Mereka pantas mati"

"Sayang, berapa lama kamu akan membiarkan aku sendirian disini?"

Berbalik melihatnya, Silbiva berdiri dengan anggun dan tersenyum tulus padanya. Dasma segera datang mendekat lalu mengelus punggung tangannya.

"Kamu disini?"

"Kamu ingin aku dimana? Dasma, jangan main-main lagi, kemari lah"

"Dimana Gerold?"

"Dikamar, dia tidak mau diganggu"

Dasma tersenyum lebar, ia sangat mencintai Silbiva dan demikian sebaliknya tetapi karena sesuatu hal, terpaksa menyimpan hubungan mereka dari hadapan publik.

"Kita berhasil. Bagaimana dengan Gerold?"

"Dia percaya padaku. Tunggu aku menikahi pria itu, harta Liliana menjadi milik kita berdua setelah aku pindahkan"

"Kamu jenius hahaha"

"Tentu saja, aku cinta kamu Dasma"

"Aku juga"

Mereka berdua saling berpelukan, membagi kerinduan dalam keheningan malam dan dinginnya hujan.

Dibalik pintu, Gerold bersandar malas. Wanitanya selalu mencurangi, apakah benar ini Silbiva yang dikenalnya?. Mereka berdua pulang ke rumah Liliana untuk menginap semalam tapi rahasia besar Silbiva diketahui oleh Gerold, kemarahannya meningkat tajam.

"Paman?"

"Jezu? mengapa disini?"

"Aku tidak bisa tidur, ibu sudsh meninggal. Aku merasa malam ini sedikit aneh"

"Jangan banyak berfikir, ayo kembali ke kamarmu"

Gerold dan Jezu pergi tinggalkan depan kamar Dasma, "Paman, apakah kak Marie akan mengikuti persyaratan pernikahan?" tanya Jezu sebelum masuk dalam kamarnya.

"Aku rasa"

"Aku tidak mau jatuh miskin paman"

"Jezu, apakah kamu mau menikah dengan paman?"

"Hah? paman jangan berkata begitu. Bagaimana dengan bibi Silbiva? pernikahan kalian tinggal sebentar lagi"

"Kita tidak ada hubungan darah. Paman ragu bibi Silbiva tapi aku tidak keberatan jika pengantin wanitanya di ganti"

"Paman jangan bercanda lagi"

"Tidak aku serius. Besok kita menikah"

"Paman..."

"Tidurlah Jezu. Aku tidak akan membiarkan kamu jatuh miskin. Aku pastikan itu"

"Tapi aku tidak mencintaimu paman"

"Cinta? paman harap kita sama-sama belajar"

"Tapi ..."

"Jangan khawatir, besok kita akan menikah. Masalah lainnya, biar paman yang pikirkan"

"Selamat malam paman"

"Selamat malam Jezu"

Pintu perlahan ditutup. Gerold membeku sesaat di depan pintu kamar Jezu. Rencananya berantakan, tapi tidak mau menjadi orang bodoh yang diakali.

Jezu tersenyum sendiri dalam kamarnya, mendekati jendela yang mengarah ke taman. Semua perbuatan Gerold dilihatnya sendiri, menjadi orang yang pura-pura polos sangat menyebalkan tetapi sebanding dengan hasilnya.

"Mati karena pohon Pinus hahaha betapa menyedihkan hidupmu Marie. Kamu terlalu naif sehingga tak tahu lawan mu" katanya sembari memeluk dirinya sendiri untuk mengusir rasa dingin yang mendadak.

Harta dan ambisi bisa membuat orang lupa, arwah Liliana semakin kecewa melihatnya. Tidak menyangka anak dan suaminya begitu menakutkan. Arwah Liliana pergi secepat angin yang berhembus lemah.