Setiap waktu yang berputar merupakan refleksi di masa lalu. Penyesalan dan keinginan bercampur menjadi satu bertautan. Penyelesaian di masa lalu akan diminta di masa depan.
Hujan deras mengucur dengan sekuat tenaga seiring teriakan kencang dari seorang perempuan dari arah kamar. Diluar kamar, menunggu dengan perasaan takut dan khawatir.
"Satu kali lagi"
"Aku tidak kuat bibi"
"Tidak apa, satu nafas lagi pasti lahir"
"Sakit... a... a... a... a..."
"Terus... ya terus, kepalanya sudah muncul nak. Jangan putus asa, tarik nafas dalam dan hembuskan"
Mata bulat berkedip-kedip melihat arah dunia yang masih gelap, bayi tersebut lahir dengan suara tangisan keras, senyum perlahan redup dari wajah sang ibu tanpa sempat melihat.
"Lihat nak, putramu lahir..."
"Nak, lihat matanya sangat indah mirip bapaknya"
Bibi melihat arah keponakan yang dibantu kelahiran anaknya. Matanya terpejam bahkan senyum tipis tersungging di wajahnya.
"Tidak... bangun, jangan tinggalkan bibi"
Tepukan pelan pada pipi, goncangan pada tubuhnya tidak juga membuka matanya. Bayi laki-laki di tangan terus menangis tanpa henti seakan tahu ibunya meninggalkan dirinya.
"Anak malang, bibi beri namamu Wuya"
Bibi meletakan Wuya ke dalam boks bayi, bergerak keluar kamar beritahu orang-orang. Salah satu pria disudut jatuh berlutut di lantai begitu tahu istrinya meninggal.
Tangisan pecah di ruang kecil disebut ruang tamu merangkap ruang makan dan keluarga. Isak dan pandangan tak berdaya diberikan satu persatu.
"Wuya harus diberikan pada keluarga lain. Kematian ibunya bisa memberikan kutukan pada keluarga kita"
"Bu!"
"Kamu sebagai kepala keluarga harus mengerti, ini tradisi bukan keinginan. Dasma mengertilah"
"Benar perkataan ibu, Dasma. Keluarga kita cukup miskin untuk bisa beri makan ditambahkan tradisi, kita semua bisa bertambah miskin lagi"
"Tapi ayah..."
"Hujan belum berhenti, ibunya Wuya belum dimakamkan, kalian sudah ribut?"
"Bibi, ini penting. Keluarga mana yang mau terima anak ini. Bibi juga tahu tradisi desa. Kita bisa dikeluarkan oleh warga desa, mau hidup dimana kita"
Bibi terdiam, walaupun tidak mempunyai hubungan darah dengan wanita yang ditolongnya, ia pernah merasakan kebaikan hatinya. Satu dua kali pernah melihat ketulusannya, sayang sekali berada di keluarga yang begini.
"Aku akan membawanya pulang"
Tiga orang terperanjat tanpa sadar, berpandangan satu sama lain dengan hati berat. Siapa yang tidak mengenal bibi penolong sebagai tokoh terkemuka di desa maupun kota.
"Apa kalian keberatan? kamu sebagai ayahnya masih bisa melihatnya sesekali"
Dasma tertunduk, "Lakukan saja seperti itu. Istrimu tidak punya keluarga, kamu bisa menikah lagi dan punya anak" ujarnya ibu Dasma dengan senang.
"Bagus! merupakan kehormatan bisa diangkat anak oleh bibi"
Kepala Dasma diangkat untuk melihat kebahagiaan yang terpancar dari kedua orangtuanya, "Baik, bisa bibi menolongnya saja membuat saya tidak enak hati" ucapnya.
"Anak ini berjodoh denganku"
"Hari sudah malam dan hujan, apakah bibi akan menginap disini? perayaan kematian akan dilakukan besok"
"Tidak, orang ku sudah di depan pintu. Aku bawa sekalian Wuya bersamaku, kalian kubur dengan baik dia. Ini uang kompensasi"
Satu amplop di letakan di atas meja, senyum tipis berbalut keserakahan muncul sekilas di mata Dasma.
"Terima kasih bibi"
Lambaian tangan memutus semua perkataan basa basi, bibi masuk ke dalam kamar mengambil Wuya.
"Aku akan menjaga putramu. Jika berjodoh kelak ia akan datang mengunjungi tempatmu di makamkan"
Bibi mengendong Wuya dengan hati-hati. Tiga orang diluar sudah menghitung uang dengan semangat berbagi satu lembarnya tanpa peduli kepergiannya.
"Nyonya...?" , sopir ingin bertanya tapi bingung melihatnya membawa seorang bayi di tangan.
"Kita pulang ke kota. Jangan biarkan orang tahu terlalu banyak, keluarga Deng bisa membuat masalah di masa depan"
Payung di atas kepala, bibi mendekap erat Wuya yang diam tertidur. Sopir membukakan pintu mobil, berhati-hati masuk lalu mobil cepat pergi dari desa tersebut.
🔥
Kota Y
Rumah sakit lenggang tanpa kegiatan berarti, tangisan bayi terdengar ramai membelah kesunyian.
"Anak yang sangat cantik"
Decak kagum dan tatapan tertarik berikan senyum kebahagiaan pada sang ibu.
"Siapa namanya?"
"Marie Cyena"
"Bagus!"
Bayi di mandikan dari kotorannya, sang ibu beristirahat dengan lelah. Salah satu perawat berikan bayinya untuk disusui.
"Ayahnya pasti bahagia mendengarnya"
Air mata meleleh mendengar kalimat tersebut, "Ayahnya sudah meninggal karena musibah" ucapnya pelan, "Kami tidak berjodoh lama" ucapnya lagi.
Tepukan pelan penuh simpati diberikan, "Nyonya, jangan bersedih. Ada anak untuk menghibur sudah merupakan kebahagiaan. Jodoh bisa datang lagi jika dicari" ujarnya.
"Benar itu nyonya"
"Jodoh, maut dan kematian tidak akan tahu jika kita bicarakan. Ini hari baik, jangan bicara omong kosong"
"Benar..."
"Istirahatlah nyonya"
Liliana menganguk lemah, Marie diambil dari dekapannya dengan hati-hati. Mata terpejam, hati bergejolak tanpa aturan pasti.
Angin berhembus dengan lemah, mobil berwarna putih merapat dengan lugas. Bibi keluar dari mobil dengan wajah letih, bergerak cepat masuk dalam rumah sakit.
"Nyonya Deng..."
"Bagaimana pengaturannya?"
"Semua sudah siap. Nyonya bisa lakukan seusai jadwal yang disepakati"
Bibi yang dipanggil merupakan orang penting di rumah sakit, bayi diambil alih lalu iapun cepat melangkah ke ruang inap VVIP yang sudah di siapkan sejak lama.
Tak lama kemudian berlari-lari seorang pria mencari kamar VVIP, "Dimana istriku?" tanyanya pada petugas jaga.
"Ada di kamar 101 lantai satu"
"Apakah bayiku sudah lahir?"
"Sudah tuan Deng"
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki"
"Hahaha akhirnya aku punya keturunan. Antar aku melihat bayi dulu"
"Baik tuan Deng, sebelah sini kalau mau melihat kamar bayi"
Langkah tergesa dan tegang keduanya menuju kamar bayi. Perawat baru saja meletakan Wuya ke dalam boks bayi setelah pemeriksaan. Wuya di letakan di sebelah Marie, matanya menatap Marie dengan penuh minat sementara Marie memandang lekat pria dibalik kaca.
"Putraku!"
Kepala dan senyum puas tersungging di wajah, "Kerja bagus, nanti aku berikan amplop merah untuk kalian semua" ujarnya.
"Terima kasih tuan Deng..."
Kepuasan belum hilang, ia sudah berjalan menuju kamar 101 yang ternyata satu lantai dengan kamar istrinya.
brak!
"Gerold?"
Gerold Deng melangkah dengan penuh semangat, "Terima kasih sayang, kamu sudah berusaha sangat keras. Aku akan berikan amplop merah pada semua orang" katanya mengengam tangan Silbiva.
Senyum diberi, "Sama-sama" serunya pelan. Hati bisa ditekan sampai dasar tapi otak bergelombang mencari kebohongan berikutnya.
Mereka berdua berbincang sampai pagi, Gerold meninggalkan rumah sakit dengan kebahagiaan berlipat-lipat.
Fezu Deng memandangi wajah Wuya ketika dibawa kepadanya, penuh haru dan tangisan diberikan.
"Namamu Wuya Deng. Entah masa lalu apa yang kamu lalui hingga kamu menjadi putraku, aku harap kamu bisa hidup dengan baik di masa depan"
Cium penuh kasih di berikan pada pipi Wuya dengan hati-hati. Perjuangannya bertahan di keluarga Deng sangat berat. Teringat di masa lalu, ia mati sia-sia karena tidak memiliki anak dari Gerold maka di masa ini, ia tidak mau.
Ingatan setelah kematian terkadang muncul pada orang-orang tertentu, takdir memberikan agar orang tersebut bisa menebus dosa di masa depan namun, nasib suka membelokan jalurnya.