Tidak ada suara ketika pengacara mulai membuka lembaran demi lembaran di atas meja sehingga semua orang dapat melihat.
Tarikan nafas diatur sedemikian rupa setiap orang dalam ruangan, pemikiran berkabut dengan harapan tinggi mencapai angan disertai kepanikan.
Marie tersenyum dalam hatinya, semua sudah di siapkan jadi ia kepercayaan dirinya sangat tinggi, tidak mungkin ada kesalahan.
Hanzu dan Robert memperhatikan tajam ke arah Marie, ia nyakin ada yang salah disini. Mereka berdua berpandangan tidak mengerti akan situasi saat ini termasuk sikap aneh ayah mereka, Dasma.
"Gerold...", tepukan pelan di punggung tangan Selbiva menahan apapun yang akan diucapkan, "Jangan disini" kata Gerold pelan kemudian memeluknya di hadapan Marie.
Gertakan gigi lirih terdengar. Kecemburuan menyeruak bagai empedu yang hancur. Marie memandangi Gerold seakan ingin membunuhnya dengan pandangan mata.
Ketegangan berlangsung.
Wuya menempatkan dirinya di antara Marie dan Jezu. Marie hendak berdiri, "Satu langkah kamu bergerak maka pria kesayanganmu akan mati sia-sia Marie sayang" bisik Wuya di dekatnya.
"Paman, apa maksudnya?" tanya Jezu ikut berbisik, sontak Marie melihat arahnya lalu berganti ke arah Wuya yang tampaknya tidak ingin menjelaskan.
"Tidak ada maksud apa-apa Jezu, paman kedua hanya bicara omong kosong saja"
"Oh"
Tangan Wuya di selipkan di belakang punggung Marie, mengerakkan jarinya untuk mengingatkan dengan sangat pelan. Namun, Marie berlagak tak tahu.
"Jika aku bisa mendapatkan kamu maka orang yang akan aku bunuh pertama kali adalah dia"
Bisikan lirih membuat Marie menoleh, senyum penuh percaya diri dan pesona di tambahkan dengan cuka.
"Maka aku akan mati lebih dulu paman"
Tatapan tajam diberikan, Wuya marah dalam hati ingin mencekiknya tapi sekilas terlihat lirikan dari Gerold ke arahnya. Senyum menghiasi seketika di wajah Wuya membuat takut Marie.
"Aku akan menemanimu sampai ujung neraka sekalipun"
"Paman, jangan konyol"
Marie membuang wajahnya ke arah pengacara yang mulai berbicara formalitas. Jezu menatap keduanya dengan rumit, ini paman dan kakak keduanya seperti ada jalinan hubungan, aneh pikirnya.
"Perhatian..."
Pengacara mengambil jeda nafas dulu sebelum berbicara, memandangi satu persatu orang yang hadir disini.
"Harta warisan akan diberikan dengan syarat, Marie Chinla menikahi Wuya Chang setelah selesai dibacakan surat wasiat dari nyonya Liliana Cyena. Dalam satu tahun harus berikan keturunan, barulah harta warisan akan dibagikan sesuai urutan....."
Marie tertegun mendengarnya, "Kamu sudah dengar? kamu mau lari ke ujung dunia, aku pasti mendapatkan" bisik Wuya pelan di telinga Marie.
"Apabila tidak ada pernikahan diikuti keturunan maka harta warisan tersebut dihibahkan kepada pemerintah secara cuma-cuma tanpa bisa diganggu gugat oleh pihak manapun. Jikalau melanggar persyaratan ataupun menggugat maka secara otomatis menjadi hak milik pemerintah yang ditunjuk"
Pengacara mengambil nafas lagi, melihat wajah pucat yang ada dan pandangan ke arah Marie dengan tajam.
"Marie Chinla, anda bisa maju ke depan demikian juga tuan Wuya Chang untuk mulai pernikahan sesuai surat yang barusan di bacakan"
Marie berdiri, "Aku tidak bisa menerima" serunya kencang, bagaimana bisa surat perjanjian sebelumnya bisa berubah di tangan pengacara pikirnya kalut.
Wuya berdiri dengan merapikan pakaiannya, menarik paksa tangan Marie ke arah meja depan pengacara, "Lepas!" kata Marie berusaha keras.
Tidak ada yang berani mendekati atau proses karena harta berada di tangan mereka berdua, daripada tidak mendapatkan maka harus ada yang dikorbankan.
"Lepas!" teriak Marie kuat berusaha keras melepaskan tapi Wuya kencang menahannya hingga Marie nyakin pergelangan tangannya merasakan kesakitan.
"Marie, jangan buat sulit situasi"
"Benar kakak, kita harus ikut aturan"
"Berkorban sedikit, ini hanya satu tahun"
"Marie, dengar ayah, ini hanya formalitas. Kamu tidak dirugikan malah mendapatkan sebagian besar warisan dari ibumu termasuk keturunanmu"
"Benar Marie, paman berharap kamu bisa mengikuti arahan pak pengacara"
Perkataan Gerold menyentak kesadaran paling dalam di hati Marie, menolehkan kepalanya untuk melihat apakah ada tanda-tanda menolongnya tetapi kosong.
"Kakak, Jezu dan lainnya akan sangat berterimakasih atas kesediaan kakak demi kami semua menanggung beban"
"Marie, dengar perkataan ayah, kamu harus menandatangani demi kelangsungan hidup keluarga kita. Kakakmu dan ayah baru saja mulai, bagaimana bisa kehilangan secepat ini?"
"Kak...."
"Paman akan sangat berterimakasih jika kamu lakukan itu Marie"
Marie terdiam mendengar suara-suara yang terus memojokkan untuk menandatangani surat-surat persetujuan dan pernikahan. Tangan mengerat di atas tangan Wuya, entah sejak kapan posisi tangan berubah.
Kepala Marie masih menunduk, menatap lekat kotak beludru berwarna hitam, "Cincin?" tanyanya tanpa sadar. Marie teringat dimana Liliana pernah menunjukkan kotak tersebut dan berseloroh jika siapapun yang mendapatkan kotak ini maka pernikahannya sudah ditentukan. Saat itu, Marie hanya menganggap omong kosong.
"Aku-- "
Pengacara membuka kotak, "Ini disediakan ibumu semua satu tahun lalu sebelum jatuh sakit. Kita akan mulai" katanya tanpa menyadari perubahan pada diri Marie tetapi Wuya tahu.
Marie membeku mendengar suara pemuka agama mengeluarkan kata-kata terkait pernikahan, otaknya kosong. Wuya mengelus atas rambut Marie dengan penuh kasih sayang mendalam.
"Ibu..."
"Benar, beliau datang satu malam. Kata beliau, ia ingin memberikan nasib baik untuk putri kesayangannya"
"Ini tidak benar...."
"Marie, kamu sudah lihat kebaikan ibumu padamu, kita harus lakukan pesan terakhir darinya" kata Wuya memanfaatkan momen dimana Marie seperti ini dengan menyelipkan cincin dan memintanya menandatangani.
"Marie, cincin..." katanya menyodorkan cincin kepada Marie. Pandangan mata tak fokus pada jarinya yang telah berisi cincin, Marie mengangkat kepala untuk melihat Wuya, "Hah?" tanyanya.
"Masukan itu kedalam jariku, Marie"
"Ah, ya"
Cincin disematkan pada jari Wuya dengan tangan gemetaran, senyum puas muncul di wajahnya. Marie masih bingung, hatinya tak terima tapi otaknya merespon sangat lambat akibat suara-suara dari semua orang.
"Bagaimana pak pengacara?" tanya Wuya setelah semuanya terlihat bagus di matanya. Pemuka agama dan pengacara berbisik-bisik satu sama lain, mengamati isi dokumen, terlihat sesuai aturan yang berlaku.
"Sah!"
"Kalian sudah jadi suami istri. Mohon kerjasama selama satu tahun ke depannya untuk berikan keturunan" ujar pengacara tersenyum puas.
Salinan dokumen diberikan, Marie cepat membacanya tanpa sadar duduk di sofa. Semua orang bisa tertawa lepas ketika di berikan ucapan selamat oleh pengacara dan pemuka agama bahkan Wuya juga ikut bahagia.
Gerold mengamati tiap perubahan wajah Marie yang perlahan-lahan memucat. Ia tahu benar sekali, sejauh apa Marie dapat bertindak tetapi kalah cepat dengan Liliana ibunya.
"Gerold...."
"Kita pulang, Selbiva"
"Marie...?"
"Jangan bertanya, dia sudah masa lalu. Kita harus mempersiapkan pernikahan dalam waktu dekat, jangan banyak berfikir"
Usai bicara demikian, Gerold dan Selbiva menghampiri Wuya untuk mengucap selamat berbahagia kemudian pulang.
Ruangan kosong,
Wuya diam melihat Marie yang terus membaca setiap lembarnya. Cincin berkilau di jarinya membuat hati Wuya berdebar sangat kencang, akhirnya kamu jadi milikku batin Wuya.
Kepala terangkat mendadak, hati Wuya seperti ditikam oleh pisau yang tidak kelihatan oleh mata.
"Mengapa paman lakukan ini? apa salah Marie? Marie sudah sejauh ini membuat segalanya tapi mengapa kamu merusaknya?"
"Marie..."
Satu langkah mendekati tetapi Marie bangkit berdiri, memberikan jarak cukup jauh dari Wuya.
"Aku-- tidak mau begini! ini bukan akhir yang aku inginkan, paman"
"Kamu sudah menjadi istriku, panggil aku Wuya"
"Tidak... tidak..."
"Marie..."
"Kamu bukan suamiku, aku-- mencintai Gerold"
"Hahaha mana orang yang kamu cintai itu. Dia jelas-jelas mendorong kamu menandatangani semuanya"
"Itu tidak sepenuhnya begitu, aku nyakin" ucapnya berbalik pergi dengan berlari ke arah taman belakang rumah.
"Marie...."
Taman belakang rumah dibuat Liliana dengan penuh kasih dan cerita di dalamnya bersama Marie.
"Marie...."
🔥
Dasma mencelos di tiap langkah memasuki kamar Liliana. Bertahun-tahun hidup bersama dalam ikatan pernikahan tetapi bertahun-tahun jugalah mereka tak pernah lagi satu kamar.
Foto besar Liliana tergantung sangat cantik di tengah ruangan kamar. Senyum dan mata yang bersinar sangat cantik berikan rasa nyaman pada setiap orang.
brak!
"Liliana....!" teriaknya marah. Semua barang dibuang ke arah lantai bahkan pecahan berserakan di bawah kakinya.
"Sampai mati, kamu juga tak membiarkan anakku hidup dengan tenang. Kamu kejam"
prang...
Suara angin berseru di sekitarnya tanpa mengerti, Dasma terus membanting semua barang-barang milik Liliana.
Sorot mata sedih tanpa bayangan memandangi wajah Dasma dengan hati kecewa.
Anakmu? anak yang mana? semua anakmu lalu dimana anakku? bisiknya tanpa ada yang dapat mendengarkan.
Tanah belum kering, arwah belum pergi tapi keributan sudah dimulai, apakah layak diterimanya? arwah Liliana terus memandangi Dasma yang mengamuk dalam kamarnya. Air mata telah kering.
Aku hanya arwah gentayangan, kemana aku akan pergi jika tidak dalam pelukanmu tapi mengapa jarak bumi dan langit sangat jauh untuk aku kejar?
God, bisakah aku diberikan kesempatan.
Memori berputar dari satu ke satu tempat, Liliana merasakan sesak dalam dadanya. Ternyata menyedihkan, mati tanpa ada yang merindukan dan mendoakan.