Tanganku mencengkeram lengan adik sepupu yang berlalu begitu kencang. Namun, apa yang terjadi ketika tanganku sempat meraihnya? Kami terombang-ambing hingga tubuhku geloyor ke belakang tubuhnya, sedangkan kakinya terjungkal dan terimpit oleh tarikanku.
Berhenti, tetapi malah tersandung jatuh. Kami sama-sama roboh di tengah jalanan.
"Hah! Hah! Riko, tuh liat orang di sana," tunjukku mendongakkan dagu.
Aku melihat poni adik sepupuku jatuh hampir menutupi dua matanya sekaligus. Dengan cekatan, dia beranjak lalu meraih dua tanganku untuk segera berdiri tegak. Lalu kami melihat orang-orang telah mengejar pencopet, termasuk dua pengawal yang sudah lebih andal dari orang kebanyakan.
Akhirnya benar!
Dua pengawal itu hadir di depan mata kami setelah tak beberapa lama terjadi perlawanan sengit, sedikit jauh dari hadapan kami berdua. Agam mengacungkan sebelah tangan yang sudah memegang ponselku sambil menawarkan senyuman kecil. Bersama si ketua—pak Yoanto melangkah begitu tegasnya.
Riko melesat pandangan ke arahku sama halnya yang ditawarkan oleh dua pengawal tersebut. Mereka bangga setelah melakukan aksi penyelamatan.
Dua pengawal itu berhenti lalu menjulurkan ponsel yang sudah diamankan di tangan mereka. Dua kepala memberi tundukan sedikit membungkukkan badan.
"Nona, ponselnya baik-baik saja." Agam bersuara tanpa memperhatikan rautku.
Lalu jemariku perlahan meraih ponsel yang baru diselamatkan. Mereka lebih tangkas untuk menangkap pria nakal yang selalu merampas milik orang lain di jalanan. Tapi, Riko malah meredupkan senyumannya sambil menyipitkan mata kepadaku.
Mengacungkan sebelah tangannya sambil menunjukkan jemari telunjuk begitu tinggi dan datar mengarahku.
Dia terheran, bahkan dipenuhi dengan raut penasarannya. Benar! Dia belum tahu kalau aku sudah menikah dengan pria kaya yang tidak aku kenal. Tragedi malam itu membodohi diriku dalam sekejap mata memandang.
Kami saling menatap, antara mereka bertiga dan diriku dengan kening selayaknya lapangan sepak bola, sesekali berkedip layaknya cahaya lampu hendak padam. Suasana ini segera berakhir, aku memelintir bibir sedikit miring.
***
Di sebuah kantin kampus, suasananya lebih nyaman dari pemandangan yang ada di luar. Duduk di antara kursi nyaman berlapis kulit plastik yang mengilap. Dipenuhi oleh banyak mahasiswa yang selalu memperhatikan kami berdua.
Mungkin, mereka berpikir aku adalah kekasih adik sepupuku sendiri. Ah, konyol! Tapi, kebanyakan orang berpendapat sama, umur kami hanya berbeda dua tahun saja. Sebentar lagi, dia akan keluar dari kampus dengan membawa gelarnya.
Riko, nama lengkapnya Riko Arleando. Lihatlah! Hampir semua wanita memandang iri kepada kami. Aku menyipitkan mataku ketika melihat tingkah laku dari beberapa wanita yang berlalu.
"Udah, biarin! Mereka setiap hari juga gitu," resah Riko menyedot minuman dari sebuah gelas plastik. Dia memesan jus jeruk segar, dua porsi untuk kami berdua.
Dua tanganku akhirnya jatuh ke atas meja, memulai pergerakan bola mata lebih fokus ke depan mata—si adik sepupuku.
"Kakak udah nikah," ungkapku datar.
Riko terpaku diam, mematung, kemudian tersedak seketika.
Hug!
"Hah!!" jeritnya membuka mulut melebar.
Bola mataku berputar, lalu kembali ke posisi yang nyaman, yakni ke depan dan datar. Tiba-tiba saja udara yang keluar cepat dari lubang hidungku. Sedikit mendengus kesal bukan main.
Riko menelan air jus yang tersisa di ujung lak-lak mulutnya. Mendekatkan wajahnya hingga menatapku dalam. Bukan kepada orang yang jatuh cinta, melainkan sebuah rasa penasaran yang baru dia dengar.
Aku mengenalnya, dia memiliki sifat yang penyayang sekaligus peduli kepada kakak sepertiku karena dia memiliki seorang adik perempuan yang sangat manis.
"Kak Ocha serius? Sama orang kaya tadi?" bisik Riko mengernyitkan dahinya.
Aku menggeleng. "Bukanlah! Mereka itu pengawal suami sementara gue."
Riko memundurkan tubuhnya, dua tangannya jatuh hingga bersedekap, menaikkan alisnya berkali-kali dengan bibir yang mengatup genit bergerak-gerak. Pergerakan itu, membuatku aku menjadi sangat kesal.
"Wah, bagus dong!" ucapnya ceria.
Napasku semakin kuat dan cepat keluar dari hidung. Sebentar lagi tandukku akan keluar dari ujung kepalaku, menanduk pemuda di hadapanku tanpa basa-basi.
"Oho! Kak Ocha tenang dulu. Riko bisa ngertiin dulu, tapi gimana kalo kita jangan ngobrol di sini. Di suatu tempat lebih nyaman," usul Riko mendorong dua telapak tangannya ke depan. Tubuhnya beranjak gagah, membujukku untuk ikut dengannya bersama bibir yang terlihat begitu manis.
Karena kebaikan hati adik sepupuku, aku tidak boleh marah atau pun kesal. Kami berdua berlalu sambil merangkul minuman jus jeruk dingin di dalam sebuah cap plastik. Kami bahkan melewati beberapa mahasiswa, lebih dominan para wanita.
"Riko!"
"Eh, eh tuh Riko!"
"Duh, cakep banget si Riko!"
"Ah!!"
Suara berisik yang hampir samar-samar tidak terdengar bahkan tidak membuat Riko salah tingkah. Dia tetap saja berjalan dengan mengatur posisi tubuh lebih gagah berani di sampingku.
Aku sedikit cengar-cengir setelah mendengar beberapa kalimat membuatku geli.
"Udah biasa, Kak! Jangan diladenin," tekar Riko mempercepat langkah.
Aku terus mengikuti langkah pemuda yang tingginya setara dengan Jose. Dia mengajakku ke salah satu taman kecil dekat dinding bangunan kampus. Ada pepohonan besar di depan yang meneduhkan kursi di sana.
Kami duduk berdampingan sambil memegang minuman dengan tenang. Memandang orang-orang berlalu, angin sepoi, lalu parkiran yang memanjang.
"Sama siapa?" Tiba-tiba Riko bersuara lebih tegas, sampai-sampai aku memutar pelan kepalaku untuk menatap adikku ini.
Riko menoleh, lebih datar dan tidak ada senyuman di bibirnya. Dia bahkan tidak mengedipkan matanya.
"Kak Ocha nggak boleh menikah ke sembarang orang. Tunjukin ke gue muka dia!" Riko seakan mengubah sifatnya layaknya seorang ayah. Dia menjadi pengganti ayahku untuk saat ini.
Aku terpukau sesaat, memandang alis tebalnya mengerjapkan sesekali.
"Hah! Haha." Aku terkekeh datar, membuang muka ke arah depan.
Tapi, Riko masih saja terdiam membisu datar dan tidak bersuara canda. Rasa aneh ini aku segera memutar pandangan untuk melihat perubahan yang ada di ujung raut wajahnya.
Masih sama.
"Oke!" Napasku yang membawa perintah kepada tangan untuk meraih ponsel yang ada di dalam tas selempang berwarna cokelat gelap ini.
Ponsel baru yang aku bawa khusus untuk menunjukkan kepada si adik sepupuku. Aku mengacungkan foto dalam galeri ponsel tersebut dengan jelas ke wajah Riko.
Akan tetapi, Riko menegang dan terdiam saat matanya melihat gambar dalam layar ponsel ini sangat jelas.
"Jose Martin Axel," sebutku lantang.
Riko memegang tanganku, lalu menurunkan ponselku ke bawah hingga kami saling menatap serius. Dia tidak berkedip sama sekali, seperti tadi. Serius.
"Ih, kenapa sih, Ko?!" Tanganku jatuh dan menepis bahu Riko, hingga wajahnya memutar ke lain arah.
"Aw!" ringisnya memegang bahu yang sudah aku tepis.
Dia merunduk, sambil mengeluarkan nada gelisah dengan dengusan napas keluar dari hidung.
"Kenapa?" tanyaku menoleh ke arahnya miring.
"Dia playboy kelas atas," ungkap Riko.
Datar, nadanya begitu jelas. Aku berhenti bernapas, untuk sesaat bahkan mungkin selanjutnya. Terpelangah.