[Gue memang udah ternoda.]
Terkirim.
Krek!
Saat mendadak, situasi ini seakan tidak memberiku ruang untuk bebas. Kepalaku sontak menoleh ke arah pintu, sesosok pria tadi telah memasuki ruang kamar dengan rautnya yang datar.
Jose melangkah dan merampas ponselku yang masih dipegang erat, sedangkan wajahku mematung menatapnya.
"Siapa? Siapa yang lo kirim pesan?"
Jose memeriksa layar ponsel dari tanganku. Dia merampasnya secara paksa, tetapi aku hanya dapat menutup mata karena tersadar telah ketahuan olehnya.
"Anak kelinci?" Jose mendongakkan dagunya ke hadapanku. Menatapku persis ketika berada di anak tangga tadi.
"Oh, bukan siapa-siapa. Dia Cuma—" Aku meraih ponsel itu kembali dari tangan Jose.
Sementara Jose jadi salah tingkah karena sudah membongkar privasiku. Dia termenung sesaat, sedangkan tanganku sibuk dalam memeriksa pesan yang mungkin sudah dia baca.
"Siapa dia?" tanya Jose rendah. Terdengar suaranya lembut, entah kenapa dia mengubah nadanya sedikit melemah.
Mendengar suara itu, aku segera menoleh untuk sekadar menjadi jawabannya.
"Dia pacar lo?" Apakah Jose mengutarakan pertanyaan?
Aku mengernyitkan dahiku sesekali, lalu menurunkan tanganku yang sedang memegang ponsel lamaku ini. Sekali meneguk air liur agar lebih tenang.
"Dia adik sepupu gue," ungkapku tanpa basa-basi. Sorotan mataku berarti bukan untuk menyembunyikan rahasia yang sudah dia ketahui.
Karena pesan itu cukup menyinggung perasaannya, itu pasti.
Jose membalas tatapan itu tanpa mengedip mataku, meranggul kepalanya pelan dan berulang-ulang. Dia berbalik, perlahan mendekati ambang pintu dan keluar. Kini, tersisa kesunyian yang hendak menyeruak seluruh pemikiranku.
Tapi, dia tidak peduli lagi akan keadaanku. Toh, dia pulang karena butuh. Bodoh sekali jika dia harus cemburu atau apa? Setelah aku katakan bahwa dalam pesan ini adalah adik sepupuku. Maka sudah selesai.
Kami berpisah, di antara dua ruangan yang berbeda. Karena merasa kurang nyaman, aku segera keluar dari kamar sempit ini. Aku mengelilingi penglihatan, bahkan ke salah satu ruang kamarnya. Dia menutup pintu rapat, dan pasti sedang mandi.
Kepalaku menggeleng, memutuskan untuk menuruni anak tangga menuju ruang tamu yang sempat berantakan. Tangan-tangan ini membereskan sampah kulit buah di atas meja. Beruntung, kaleng minuman hanya ada satu saja.
"Hah, untung aja!" Perasaanku lega karena tak sempat ketahuan oleh Jose kalau aku sudah mengajak adik sepupuku datang ke sini.
Kepalaku sedikit mendongak dan memperhatikan pintu utama keluar. Tidak ada orang di luar sana, mungkin. Lalu tanganku segera membereskan meja hingga bersih.
Membuang sisa-sisa makanan ke tong sampah, menaruh piring yang masih berisi beberapa potongan buah apel ke atas meja batu.
Melihat bayangan mengilap sekilas ke arah lampu gantung yang bersinar terang. Lalu, tak sengaja menatap sesosok pria telah berdiri di dekat anak tangga. Jose turun sambil mengibaskan poninya yang tampak berkilauan.
Sempat terkesima pelan dan lama.
'Cakep banget gila!'
Dalam hatiku berucap nakal. Sontak aku tertegun dan menegur pikiranku sendiri. Wajahku turun dan cepat-cepat membuang wajah ke mana saja. Lebih baik ke bawah lantai. Kakiku melangkah ke samping meja agar tidak bertemu dengannya.
"Apa yogurtnya masih ada?" tanya Jose membuka lemari es dengan kepalanya mencari-cari.
"Ah!" Tubuhku langsung berhenti untuk menatapnya.
Jose langsung berdiri tegak dengan kepalanya lebih miring dan mengernyitkan dahinya. "Iya, udah lo habis ya?"
Aku meranggul pelan. "Ya, hehe."
Jose tidak menanggapi lagi jawabanku, dia langsung menutup lemari es dan mengambil posisi duduknya.
Melihatnya sudah lebih tenang, aku harus meninggalkan sisinya berada.
"Lo mau ke mana?" tegurnya datar.
Aku berhenti, harus memperhatikan miring ke arahnya yang masih memperhatikan segala isi di atas meja makan.
Aku mundur secara kikuk, lalu berputar dan duduk bersamanya. Duduk di sampingnya dengan jarak satu kursi.
Jose miring, menaikkan alisnya sebelah sangat tinggi. "Lo kayak makan di warteg tau ngak?!' ketusnya. Dia menarik kembali pandangan wajahnya ke depan.
Aku sedikit mendengus kesal oleh tingkahnya. Berangkat, dan berputar hingga benar-benar menghadap wajahnya dan kami saling menatap.
"Hm, kayak gini udah lebih oke kan?" Jose mengacungkan jempolnya meninggi, tetapi tidak membalas tatapanku.
"Ich!" Daguku terangkat, menyentil ucapannya.
"Kenapa?!" Jose mendongakkan dagunya lebih tegas dibandingku.
Aku tidak jadi membalas lagi, lebih memilih diam agar tidak menuai kesalahan. Semakin resah jika harus melihat dirinya lebih berkuasa di rumah ini. Karena rumah ini masih miliknya, jadi aku hanya bisa bertahan untuk segera bebas dari sini.
***
Malam berlalu, apa benar-benar sudah berlalu? Apa ini hanya mimpi? Aku melihat dua pasang mata menatapku di atas tempat tidur. Terlalu remang-remang, redup karena cahayanya belum terang.
Tapi sayang, tanganku seakan terhimpit oleh sesuatu. Bahkan terasa berat karena memikul beban cukup kuat. Ini apa?
Aku berusaha mengambil napas panjang, tapi tidak bisa. Aku mencoba berlari, tapi kakiku layaknya terikat oleh tali besar. Lalu, apa lagi sekarang?
Aku benar-benar putus asa. Di mana ini?
"Hahaha, lihat dia!"
"Hahaha, cewek murahan!"
"Dasar cewek murahan. Terlalu murah, bahkan terlalu palsu."
Dua pasang mata itu lebih terlihat jelas. Kini suara itu ramai, mereka banyak. Ada empat pria yang mengerumuni hadapanku. Mereka seakan mengejekku, seenaknya saja.
Tapi tangan dan kakiku tak bisa berbuat banyak.
"Hah!"
Sialnya, mataku terbuka cepat karena terkejut. Saat dua pasang mata lebih terang menatapku dengan jelas. Itu Jose!
Aku terbangun dari tidurku, cahaya redup dari luar jendela mulai remang-remang naik ke permukaan. Aku sadar, ternyata tadi hanyalah sebuah mimpi belaka. Akhirnya secara sadar aku perlahan mengambil posisi duduk sambil meremas keningku.
Aku masih berada di kamar sempit ini. Tapi, apa yang terjadi padaku semalam? Kepalaku sedikit pusing, melihat ke sekeliling agar lebih pasti.
Tidak ada yang terlihat buruk.
Aku perlahan beranjak dari tempat tidur seukuran satu orang. Tanganku meraih gagang pintu kamar ini, dan melihat kalau Jose sudah berlari-lari kecil di atas Treadmill. Mesin olahraga yang selalu digunakan hampir setiap hari.
"Udah bangun?" Jose sedikit bersuara.
Aku masih saja termangu, berusaha mengingat apa yang sudah terjadi semalam? Padahal, aku sudah menunggu dan menemaninya di meja makan. Tapi apalah daya, setelah itu aku duduk di atas sofa tamu seorang diri.
Setelah itu, apa yang terjadi?
'Apa yang udah terjadi semalam?'
Aku terus berusaha berpikir.
"Lo mungkin capek," ucap Jose berpendapat. Dua tangannya masih melengkung berayun mengikuti arahan mesin tersebut.
Tapi aku masih saja percaya diri dan melangkah. Namun berhenti dan menoleh ke arahnya.
"Jose, lo apain gue semalam?" tanyaku penasaran.
Jose menghentikan mesin olahraga tersebut. Kakinya keluar dari mesin, turun. Berjalan pelan sambil mengusap-ngusap keringat yang bercucur di pipi dan keningnya.
"Masih untung gue bawa lo ke atas," ungkapnya.