Jose mengibas-ngibaskan handuk kecilnya ke pipi yang melingkar di badan leher. Tatapan itu masih datar saat menyorot wajahku. Aku yang baru saja terbangun masih remang-remang menatap ruangan kosong yang telah dia tinggalkan lebih dulu.
Setelah berkata begitu, dia menuruni anak tangga. Dimana diriku berdiri seorang diri masih terlihat bingung.
Kepalaku miring, sedikit berkerut berupaya mengenang kejadian semalam.
"Ah masa sih gue tidur bisa nggak sadar diri gitu? Ngomong-ngomong ... gue mimpi apaan ya semalem?"
Aku menggeleng, lalu berbalik untuk mendekati kamarnya. Ya, aku harus pergi ke kamar ini karena lebih mudah untuk membersihkan tubuh dan ganti baju.
Tak beberapa lama pergi ke kamar mandi, ganti baju dan keluar dari kamar. Kakiku langsung memberi perintah untuk turun ke lantai bawah.
Satu per satu anak tangga, hingga yang kudapati sekarang sosok Jose sedang menaruh beberapa piring ke atas meja. Sabtu pagi dia sudah bangun sepagi ini dan menyiapkan camilan yang cukup banyak.
Ada dua piring yang berisi makanan beraneka ragam. Mataku melirik isi dari atas piring. Sarapan model ini biasanya dilakukan di hotel tempat aku bekerja. Bahkan di beberapa orang kaya.
Aku sudah tidak heran, tetapi aku heran kenapa makanan ini bisa ada di sini.
"Lo," tunjukku mengacungkan jemari ke arah piring. Bola mataku memutar tepat ke badannya.
Dia menaruh satu piring berisi bubur putih dan roti, lalu dua gelas susu. Duduk dan seolah-olah tidak melihatku sudah di depan matanya.
"Lo nggak mau makan nih?" tegurnya seraya meraih sendok garpu.
Karena tatapannya serius pada isi piring, aku menuruti panggilan suaranya untuk segera mengisi kekosongan di depan.
Dua tanganku pelan-pelan menyentuh sendok garpu. Tapi wajahnya tidak menatapku.
"Gue bikin sendiri, kalo soal rasa lo nggak usah khawatir lagi." Jose mulai bersuara saat satu suapan masuk ke mulutnya.
Tapi matanya tetap menyimak isi dari piring.
"Oh," sahutku bernada datar.
Siap-siap untuk menyuap satu sendok garpu mencicipi makanan tersebut. Satu piring penuh dengan telur, kentang, wortel, irisan ayam, sayuran hijau, ada daging di tengahnya.
"Namanya apa?" Aku sedikit penasaran saat rasanya sudah di ujung lidahku.
"Yorkshire pudding," sebutnya mendongakkan pandangan. "Biasanya orang Inggris makan di tiap hari Minggu. Tapi buat apa harus nunggu hari Minggu?"
Jose kembali meraup isi piring itu.
Padahal, makanan ini cukup menarik dan memang jarang aku temui. Seperti disebutkan tadi, makanan ini hanya ada di beberapa rumah orang kaya dan hotel.
Ada beberapa restoran luar negeri yang pasti menyediakan makanan serupa.
"Gue kerja di Inggris sekitar tujuh tahun lalu. Kuliah sambil kerja, terus bisnis papa juga ada di sana. Tapi gue nggak ikut bisnis papa, gue agak bandel dan ikut berandalan lain buat cari duit." Jose terdongak dan mulai bercerita.
Anehnya, dia menjadi sedikit ramah karena pembahasan makanan di pagi ini. Aku sesekali membalas tatapan dan menyuap isi piring ke mulut.
Ternyata, dia pernah tinggal di luar negeri entah berapa tahun.
"Berapa lama?" tanyaku ingin jawaban.
"Cuma lima tahun," sebutnya mantap.
Dia kembali menyudahi sarapan pagi dengan nikmat.
"Kok lo bisa masak seenak ini?" Nadaku ingin memuji, tetapi masih terasa datar dan hambar. Seperti masakan tanpa adanya bumbu penambah.
"Gue kerja di restoran Inggris. Kerjanya di malam hari, tetapi gue belajar banyak hal di sana. Karena itu gue bisa masak beginian." Jose meranggul, sesekali menatap piring dan wajahku secara bergantian.
Kami menyelesaikan sarapan, meminum susu yang sudah dibuatkannya.
"Itu susu kenapa nggak diminum?" tegurnya.
Aku berhenti, saat susu yang sudah setengah gelas habis. Hampir saja tumpah oleh tegurannya. "Susu mana?"
"Itu susu yang gue beli minggu kemarin," ungkapnya.
Deg!
"Apa?!" Suaraku melengking, mataku mencelang tegang, menjatuhkan gelas secara perlahan. Merasa kurang nyaman karena sudah menelan susu yang tidak ingin aku minum.
Jose mulai beranjak, lalu mengitari meja makan. Dia mendekati diriku lalu mendekatkan mulutnya sambil berbisik pelan.
"Gue minta lo minum susunya setiap hari. Tapi kenapa lo dibiarin, hah?!"
Satu tangannya tertahan di ujung meja, sedangkan kepalanya begitu miring dan berkata demikian di telingaku.
Tanpa sadar, aku mulai mengingat susu yang dia belikan untukku. Susu yang menjadi perangsang rahim agar seseorang bisa mendapatkan momongan lebih cepat.
Aku memaksa senyum, hampir gemetar. Walau sebenarnya ini memang konyol dan terlalu berlebihan. Mengenal sosok tidak kukenal sama sekali, malah memintaku secara intim melakukannya.
Dia memang mengenal dekat ayahku, begitu pun sebaliknya. Cerita tidak masuk akal ini hampir membuatku gila.
"Oke, gue minum!" tegasku meraih gelas yang masih tersisa susu putih manis.
Cepat-cepat kutelan sambil memejamkan mata.
Kepala Jose kembali menegak bersama tubuhnya. Dia bersedekap tangan sambil mengawasi tindakanku apa aku benar-benar menelan sisa dari isi gelas.
Kini dia mulai menggerakkan bibirnya. "Lo udah bisa kan naik mobil? Hari ini lo yang nyetir," pungkasnya berbalik tanpa basa-basi lagi.
Aku tinggalkan di meja makan yang sedikit berserakan oleh piring kotor. Sementara Jose ke ruang tengah sambil menikmati ponsel pintarnya.
Mataku melihat tingkah lakunya, sedangkan hatiku mulai berdengus gelisah.
'Apa? Gimana nih? Hari ini kan si Oslan Gavin mau nunjukin lokasi kontesnya.' Gelisahku dalam hati sudah tertindas. Mungkin, hari ini sedikit gagal.
Tidak ada yang bisa menolak dari ajak sang suami sementara itu. Aku beranjak dan masih memperhatikan tingkah suamiku ini. Menjengkelkan, dia seakan senang tinggal di sini. Istri sah Jose pasti sedang merencanakan sesuatu kepadaku.
'Bela pasti pura-pura pengen baik?'
Ucapan dan pikiran dalam hati tidak akan seimbang. Tanganku segera membereskan semua benda di atas meja ke arah wastafel dan mencuci bersih. Tak beberapa lama semua beres, aku segera meraih ponsel yang ada di atas meja di depan cermin besar.
Kepalaku masih mengawasi Jose yang sedang asyik dengan layar Tab dan ponselnya.
'Sekarang.'
Aku mengetik beberapa pesan dan mengirimnya dengan cepat.
[Hari ini gue nggak bisa. Suami gue ada di rumah.]
Terkirim.
Kepada @Oslan Gavin.
Aku segera menutup, dan membalikkan tubuh sambil melebarkan bibir untuk tersenyum.
"Gue udah siap," pungkasku sedang mengenakan pakaian biasa. Celana denim dan blouse pendek.
Jose beranjak, meranggul hingga menyusuri pintu. Kami keluar dan menghampiri garasi yang ada di sebelah rumah. Dia menunjukkan mobil yang sudah menjadi milikku. Ada mobil sportnya di sana, tetapi dia memilih mobilku.
"Ayo!" Jose menggerakkan kepalanya sekali.
Tanganku masih terasa gemetar jika harus pertama kali membawa mobil bersamanya. Jose mulai menduduki kursi penumpang di sebelahku. Aku, pastilah sudah menyiapkan posisi untuk ke depan jalan.
"Bisa kan?"
Aku menoleh, "Emang kita mau ke mana?"
"Ke mana aja," sahutnya sedikit tersenyum.
Perhatian!!
Bagi pembaca setia saya. Saya umumkan di sini. Bagi yang menyukai novel ini dan ingin terus membaca, apa lagi ingin membuka bab privillage/dua bab lebih awal bisa hubungi saya.
Kenapa? Saya punya hadiah untuk pembaca setia berupa koin gratis.
Hubungi di IG saya @ochy_redrose
DM saya secepatnya. Koin gratis terbatas ya guys.
Terima kasih.