"A-apa maksud lo tadi?" Tanganku mendesak Riko untuk mengatakannya lagi. Sebuah kata yang begitu sensitif di ujung telingaku.
"P-playboy?" Nada ini terbata-bata, bahkan wajahku menunduk ke bawah. Suasana yang aku timbulkan sangatlah menegangkan. Walau memang, adik sepupuku memasang wajah sangat serius dari sebelumnya.
Riko mendongakkan dagunya ke depan, mulai meninggi hingga memejamkan matanya untuk beberapa saat. Kemudian wajahnya kembali turun, membuka matanya ke samping diriku berada.
Sepasang bola mata menatapku, serius dan dipenuhi dengan cahaya bola menyatu dengan alam sekitar. Namun lebih cerah dari matahari yang sedang bersinar terang tepat di atas kepalaku. Sedikit condong menyamping, sebentar lagi akan segera mengakhiri siang.
Aku langsung melompat, membawa tubuhku lebih tegak. Mengacungkan dua telapak jemariku ke hadapan Riko, menggeleng-gelengkan kepala. "Riko, kakak mau balik!" tegasku.
Riko ikut berdiri, seakan ingin menghentikan kepulanganku. Tubuhku yang akan berbalik, dia menangkap lenganku. Riko tak ingin aku pergi dari hadapannya. Si adik sepupu yang sering manja ketika dia merasakan sesuatu yang kurang nyaman.
"Kakak!" serunya mencegah. Dia bahkan mencengkeram lenganku lebih keras dari biasanya.
Kepalaku memutar, memandang pergerakan jemari pemuda ini lebih serius. "Riko," lirihku. Berhenti lalu menatap raut wajah si manja. Walau sebenarnya kami serupa, sama-sama bertingkah manja.
"Jauhin Jose, Kak!" tegasnya. Riko menyalang mata dengan sorotan sengitnya.
Tapi aku melepaskan tangannya demi setumpuk uang yang telah aku dapatkan. Aku mendorong jemari adik sepupuku perlahan, hingga dia benar-benar melepaskanku seutuhnya. Lalu aku memberi senyuman, lebih hangat dari biasanya.
"Riko, belajar dan semangat! Sebentar lagi lo bakal wisuda. Nggak usah mikiran kakak."
Aku meraih sesuatu dari dalam tas kecil. Memegang sebuah kartu tebal yang sudah tertulis alamat. "Nih! Alamat baru kakak. Sebenarnya, kakak nggak biasa tinggal sendiri. Kan lo tahu sendiri gimana gue?"
Riko menyambut kartu tertulis alamat sambil memperhatikan saksama. Aku tak kuasa melihat ekspresi yang dia berikan padaku, lalu tanganku menggosok bahunya agar lebih nyaman dan tenang.
"Udah! Kakak tunggu di rumah, ya. Ajak juga si Yuri ke rumah."
Karena waktu, aku meninggalkan sisi terbaik adik sepupuku. Dia memaksa untuk menerima kepergianku lagi. Ketika hampir satu bulan aku jarang mengunjunginya, dia seakan memelas dengan bibir gemulainya.
Walau tampan, dia seakan menampakkan kegelisahan, tetapi para wanita masih tidak memedulikan tingkah konyol anehnya.
Aku melambai dan terus menoleh ke belakang. Riko, dia adalah anak yang paling pintar mengutak-atik keyboard komputer. Bercita-cita menjadi seorang Programer andal dan bisa bekerja dari mana saja.
Bisa di rumah; di kantor; di taman; atau juga di sebuah ruangan khusus. Kami berpisah, lagi-lagi diberi jarak cukup jauh.
Aku menerima sambutan dari kedua pengawal yang sudah membuka pintu lebar-lebar. Duduk di belakang, seperti sediakala. Termenung memikirkan ucapan Riko yang tak sengaja diucapkannya.
'Rasanya, udah biasa kalo gue denger orang kaya playboy. Tapi gue jarang banget kalo denger seorang bos sangat pemalu.'
Hatiku bersuara. Berpendapat kalau suami sementara memiliki sifat yang umum dimiliki oleh kebanyakan pria perkotaan. Padahal ini belum sore, aku sudah siap kembali.
"Nona, apa kita bisa kembali dan ngelanjutin training?" tegur pak Yoanto.
"Oh!" sergahku mendongakkan dagu ke depan. Kepalaku seketika meranggul, mematuhi peraturan yang mereka kunci dengan sebuah perjanjian tertulis.
Walau peraturan itu tidak dicap dengan sah. Kami sama-sama menyalahi aturan hanya karena uang dan kesenangan. Seperti kata ayahku, aku dipilih dan harus menerima akibatnya karena mereka membutuhkan kesenangan.
Sekarang aku memahami, uang tidak segalanya untuk mereka. Tapi mereka butuh kesenangan yang tidak membebani pikiran mereka.
Hutang adalah beban pikiran yang sangat berat dan sensitif.
Kami melaju, menjauhi sisi perkotaan sebelah barat. Kami kembali, ke tengah pusat kota yang begitu macet dan padat.
***
Ini hari yang tidak ingin aku terima. Tapi kali ini berbeda, suasana hatiku terasa diisi oleh sebuah kejutan.
Dia, suami sementara menjemput hari pekannya bersamaku. Konyol!
Tapi, Riko sedang berada di tempat yang sama. Malam ini, adik sepupu bersamaku di rumah begitu asyik duduk ditemani dengan camilan buah apel dengan minuman kaleng dingin. Kami menyantap antara buah dan minum bersama.
"Hahaha."
Aku terkekeh sangat asyik.
"Gue nggak nyangka sama lo. Diem-diem lo bisa nikah sama orang kaya. Dia itu keren lho! Tapi sayang, playboy kelas atas." Riko menimpali dengan kata-kata gelinya. Sedikit sindiran sambil menyenggol lengan bahuku.
Aku terayun, malah membuang kalimat ke lain arah. Kami sedang asyik bersama di tengah malam buta. Malam Sabtu, dia masih libur untuk menuju akhir pekan.
Tiba-tiba, terdengar suara derap kaki melangkah. Bahkan telingaku tidak merespon.
Tap! Tap! Tap!
Riko menyentuh dan menepuk bahuku untuk sadar. Kami berdua memasang wajah ke depan pintu. Bersiap dan menunggu siapa yang datang.
Krek!
Ternyata, pintu itu benar-benar terbuka sendirinya.
"Gawat!" ucapku.
Seketika menghilang! Setelah pintu itu terbuka melebar, aku berdiri sambil meloncat ke lantai tengah. Tepat di posisi tengah ruangan tamu. Jose masuk dengan menundukkan kepala begitu santai.
Kemudian dia menghadapkan badan lalu memasang wajah datarnya.
"Kenapa cengar-cengir?" Alisnya naik sebelah begitu tinggi. Dia merenggangkan badan leher, memutar ke kiri kanan. Lalu melangkah tanpa harus memperhatikan diriku.
Kepalaku malah menunduk yang sesekali mengawasi pintu kamar mandi di sebelah kanan tepat belakang dinding sofa tamu. Pintu kamar mandi tertutup rapat, sedangkan Jose sudah menaruh koper kecilnya ke atas lantai.
Tiba-tiba saja dia berhenti mengawasi meja makan dan ke arahku. Akankah dia curiga? Tapi aku masih saja memaksa tersenyum.
"Kok gue ngerasa ada maling, ya?" pikirnya curiga. Matanya berputar ke segala ruangan, sedikit terdongak menatap langit-langit ruangan.
Jose mengedipkan matanya, lalu mengacungkan jemari tangannya ke arah pintu kamar mandi. "Kok pintu itu tertutup?"
Aku menoleh, lalu kembali menatapnya. Tubuhku segera maju mendekati sosok suami sementara ini. Tanganku melambai sambil menggelengkan kepala. "Nggak ada apa-apa kok! Kalo dibuka sering ada kecoa yang masuk."
Tipu, mungkin bisa membuatnya sedikit percaya. Tapi matanya menyipit panjang, melirik ke wajahku. "Nggak biasanya? Tapi, kenapa bisa ada kecoa di sini? Kamu jarang ngepel, ya!" Jose menunjuk-nunjuk telunjuknya ke depan wajahku.
Aku terpaku diam, tetapi masih berupaya mengelabuinya. Dua tanganku mendorong hangat supaya Jose penurut. "Ayolah, gue bisa nyiapin camilan. Tapi ganti baju ada dulu, ya."
Jose merangkak paksa untuk mendekati anak tangga, kepalaku sesekali melirik ke belakang tepat ke pintu kamar mandi.
"Kenapa sih dorong-dorong?" keluh Jose sedikit penurut.
"Udah, kita naik dulu!" desakku sesekali menoleh ke belakang.
Riko mengendap-endap sambil mengawasi kami naik ke lantai atas. Di kesempatan luang, dia melompat dan mengibrit ke arah pintu, berhasil keluar. Maka aku pun selamat!
Tapi, Jose menjadi sangat curiga lalu berhenti hingga berbalik. Dia memasang tatapan sengitnya.
"Ada yang lo sembunyiin dari gue kan?!"