Luo tampak seperti mayat hidup. Tubuhnya sangat berantakan, dia masih menggunakan kemeja kemaren, mengabaikan pakaian yang telah disiapkan Naraka untuknya. Naraka hanya dapat menghela nafas pasrah. Aheng mengangkat bahunya, pasrah dengan apa yang terjadi ke pada sahabatnya. Mereka berdua sudah berusaha yang terbaik, Luo tetap saja tidak menyentuh sarapan yang Aheng buat, menurut Aheng, sandwich yang dia buat tidak terlalu buruk. Bahkan Naraka, memakannya dengan lahap.
"Em, apa kamu yakin kita bisa meninggalkan Luo seorang diri di sini?" tanya Aheng ragu,
"Menurut kamu, kita harus bagaimana? Membungkus Luo dengan karung dan membawanya ke manapun kita pergi?" tanya Naraka membuat Aheng menatap tajam ke arahnya,
PLETAK!
Bunyi benturan kepala Naraka dan sendok yang mendarat sempurna di atas kepala-nya.
"Sakit njiir!" protes Naraka,
"Kamu bisa serius dikit kan? aku juga bingung. Bagaimana jika Luo berbuat nekat dan mengakhiri hidupnya?" tanya Aheng,
"Luo memang sedang kalut. Tapi dia tidak bodoh. Kita biarkan saja dia di sini. Toh, Luo bukan pria bodoh yang mengakhiri hidupnya hanya karena cinta. Biarkan Luo berfikir dengan jernih. Apa yang dia lakukan ke pada Agatha memang sedikit keterlaluan. Rasa krisis kepercayaan yang dia miliki, membuat Agatha terluka. Setidaknya dari masalah ini, Luo bisa mempercayai Agatha sedikit saja. Jika memang Luo menganggap Agatha itu cinta sejatinya" jelas Naraka membuat Aheng mengeluarkan air yang telah dia minum,
"Kamu Naraka kan?" tanya Aheng,
"Kamu berharap aku siapa? Lee Hee Seung?" tanya Naraka yang membuat Aheng menjambak rambutnya.
"Aku serius kampret! Lagipula siapa pula itu Lee Hee Seung?"
"Yang jelas dia itu tampan. Tau!"
"Taik kamu. Kamu fikir aku jelek?"
"Kamu nggak jelek, hanya saja wajahmu itu standart. You know?"
"ASTAGA!! Kamu suka cowok" teriak Aheng sembari menutupi bagian inti tubuhnya,
"Aku masih suka wanita!" sanggah Naraka yang kini melempar bantal kea rah Aheng, sayangnya tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba ditengah-tengah perdebatan mereka, terdengar suara bel pintu Luo yang berbunyi. Membuat Naraka dan Aheng menghentikan aksi mereka. Aheng berinisiatif untuk bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu, tampak Vania sedang berdiri di depan pintu dengan beberapa berkas di tangannya.
"Kamu mau apa?" tanya Aheng tak bersahabat,
"Aku mau minta tanda tangan Luo. Karena ada beberapa berkas yang perlu dia tanda tangani " jawab Vania yang tiba-tiba saja menerobos masuk dan membuat Aheng mengumpat ke arahnya,
"Hei! Dasar jalang tak beretika"
Vania menghentikan langkahnya, kemudian berbalik ke arah Aheng dan mendekatkan wajahnya ke pada wajah Aheng,"kamu bilang apa?"
"Jalang tidak ber-eti-ka. Apa perlu aku dikte lebih jelas?" tanya Aheng nyalang,
"Kamu lupa? Kita ini masih berteman Renjana"
"Aku nggak punya teman yang berkelakuan seperti jalang di pinggir jalan" sanggah Aheng tanpa menyembunyikan rasa tidak suka-nya ke pada Vania,
"Kamu!" tunjuk Vania yang kini menatap Aheng penuh amarah,
"Jangan sok akrab. Aku dan kamu tidak pernah berteman"
"Kalau begitu, kamu mengakui aku sebagai apa? Mantan kamu?" tanya Vania yang membuat Aheng jengah dan menarik tangan Vania untuk keluar dari apartemen Luo. Kemudian Aheng, merebut paksa dokumen yang Vania bawa. Vania menatap Aheng dengan murka, membuat Aheng mencibir Vania dan membiarkan Vania melampiaskan kekesalannya dengan menendang pintu apartemen Luo. Dengan cuek, Aheng meninggalkan pintu yang tertutup itu dan segera menuju kea rah meja makan. Membuat Naraka menatap Aheng dengan penuh tanda tanya,
"Hanya seorang jalang yang akan memperkeruh suasana" jawab Aheng membuat Naraka menganggukkan kepala dan tidak melanjutkan rasa penasarannya. Naraka tidak ingin menambah satu pasien lagi. Cukup Luo yang setengah waras, jangan sampai Aheng bergabung dan membuat Naraka menjadi sosok seseorang yang sehat secara batin dan fikiran. Setidaknya Naraka berharap seperti itu.
**
Sementara itu, Tere tampak melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap Rei alias Agatha dengan tatapan tidak suka. Tere mendengus kesal, ketika Lisya memberikan roti untuk Rei alias Agatha,
"LISYA!" panggil Tere setengah berteriak, membuat Lisya mencari keberadaan Tere,
"Ada apa Tere? Kenapa kamu memanggil aku seperti itu. Aku tidak tuli. Hanya buta" ungkap Lisya membuat Tere tak enak hati, Tere segera menghampiri Lisya dan Agatha yang tampak duduk menikmati sarapan pagi mereka. Tere tampak secara terang-terangan tidak menyukai Agatha, bahkan Tere tidak menyembunyikan rasa tidak suka-nya ke pada Agatha.
"Hei! Aku tidak bermaksud seperti itu!" tandas Tere dengan perasaan bersalah yang menggelantung di hatinya, membuat Lisya tersenyum. Lisya tau, jika Tere sangat sensitive dengan hal itu. Bahkan, dengan sengaja Lisya menggunakan kelemahannya untuk membuat sahabatnya luluh dan iba ke pada Agatha,
"Aku tau, lalu kenapa kamu memanggil namaku seperti itu?"
"Kenapa kamu bawa dia kemari?" tanya Tere yang kini menunjuk ke arah Agatha alias Rei,
"Aku tidak sengaja bertemu dengan dia di depan kamar Rei. Jadi sekalian saja aku bawa kemari" jawab Lisya setengah berdusta,
"Tapi dia-, bukan orang baik. Dia yang buat Rei seperti itu. Kamu kenapa harus peduli sama orang seperti dia sih!"
"Tere, apakah bunda mengajarkan kita untuk tidak berbuat baik ke pada orang lain?" tanya Lisya,
"Iya. Aku tau. Bunda selalu meminta kita untuk berprilaku baik. Tapi dia, tidak pantas"
Lisya menghela nafas, berharap Tere tidak sekaku itu. Mengingat sosok yang berada di dalam Agatha saat ini, adalah sahabat mereka berdua, Rei.
"Tere, aku tau kamu membencinya. Tapi, dia yang membantu kita untuk merawat Rei selama ini. Aku yakin, dia tidak sengaja malam itu. Kecelakaan itu terjadi, juga karena Rei yang ceroboh. Jangan salahkan Agatha terus" pinta Lisya membuat Tere mengalah dan memutuskan untuk menikmati sarapannya dan mengawasi Agatha dengan tajam.
"Jadi, sampai kapan kamu akan di sini? Aku rasa, kamu harus segera pergi"
"Em, aku memang akan segera pulang. Aku sangat berterima kasih kepada kalian berdua. Karena kalian, sudah menampungku semalam"
"Hm, lagipula untuk apa kabur? Apa anak orang kaya selalu melakukan hal itu jika mereka merajuk?" tanya Tere dengan lidah pedasnya,
"Aku, aku hanya butuh tempat menenangkan diri sejenak. Aku minta maaf, sudah merepotkan kalian" jawab Rei,
"Tere! Jangan seperti itu. Apa kamu ingin terlihat tidak sopan?" tanya Lisya sedikit emosi dengan apa yang Tere katakana ke pada Agatha,
"Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Seharusnya dia tidak pergi dan merajuk. Karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalahnya. Meskipun aku tidak tau apa masalahnya, setidaknya kamu hadapi dan selesaikan" papar Tere yang membuat Rei tersentil dan menundukkan wajahnya. Apa yang dikatakan Tere benar. Tidak seharusnya Rei lari dari masalah. Rei segera berdiri dari posisi duduknya, kemudian menatap Lisya dan Tere secara bergantian,
"Terima kasih, kamu sudah membuka mata hatiku" aku Rei tulus, membuat Tere menganga.
Lisya tersenyum. Meskipun dia tidak melihat dengan jelas, dia dapat mengetahui ekspresi Tere saat ini.