Ketukan pintu ruang kerja terdengar keras. Daffa yang sedang sibuk mempelajari berkas yang harus ditandatanganinya merasa terganggu. Ia membiarkan saja orang yang sedari tadi sudah dua kali mengetuk pintu itu.
Tok! Tok! Tok!
Kali ketiga terdengar lagi. Daffa meletakkan pulpen yang sedang digunakannya dengan keras. Ia menghembuskan napas jengkel. Ia sungguh benci jika ada yang mengganggunya bekerja. Daffa bukan orang yang mudah berkonsentrasi, juga bukan orang yang dapat mempertahankan ritme kerja yang lama. Jadi, ia selalu jengkel jika diganggu,
"Masuk!" serunya dengan keras.
Pintu ruangan terbuka. Pelan-pelan ia melihat seseorang berdiri dengan takut-takut disana. Daffa mendengus kesal. Seorang OB yang telah lama bekerja di kantor itu berani mengganggunya.
"Ada apa?" tanyanya jengkel.
OB itu perlahan memasuki ruang kerja Daffa yang tergolong mewah. Meja dan sofa buatan Italia berada di sudut ruangan. Biasanya digunakan untuk menerima tamu. Meja besar yang digunakan nama untuk bekerja pun export dari Italia, makanya terlihat gagah dan mewah.
Daffa merasa jengkel. Ia melihat OB itu mematung di tengah ruangan. Jarak yang masih cukup jauh untuk melemparkan sesuatu yang ada di tangan OB. Wajahnya yang kelihatan lelah, tidak membuat Daffa sama sekali merasa kasihan. Daffa malahan mengamati OB itu dari atas sampai bawah, mengernyit membayangkan tangannya yang kotor karena mengelap dan melakukan pekerjaan kasar.
"Kamu punya mulut apa enggak sih?" tanya Daffa kasar. Kesabarannya nyaris habis. Ia benci dengan pekerja yang lambat dan tidak bersemangat. Daffa menekan punggungnya pada sandaran kursi, bersiap hendak mendengar apa alasan OB itu mengganggunya.
"Maaf, Pak p Daffa, " ujar OB tersebut dengan suara yang kecil, nyaris tak terdengar.
"Udah nggak punya mulut, nggak punya suara lagi! Pantes kamu di sini cuma jadi OB!" seru Daffa setengah berteriak. "Kamu tahu nggak sih? kalau saya nggak suka diganggu? Apalagi kalau kerjaan lagi banyak!"
OB itu semakin diam mematung. Serba salah rasanya menghadapi bos yang temperamental. Seandainya saja tadi si pengirim surat ini tidak mengatakan bahwa apa yang ada di dalam amplop coklat harus dibaca segera oleh Pak Daffa, ia tak akan berani mengetuk ruangan bosnya itu.
Kenapa surat ini diantar di waktu sore? Terpaksa OB itu yang memberikannya pada Daffa. Jika sudah sore, surat itu tidak lagi bisa dititipkan ke sekretaris Daffa. Orang-orang kantor lebih suka menitipkan segala sesuatu ke sekretaris Daffa daripada berurusan dengan Daffa. Karyawan tidak tahan mendengar ocehan Daffa yang cenderung menjatuhkan bawahannya. Daffa sangat berbeda dengan Aisha ketika memimpin.
"Kamu siapa namanya?" tanya Daffa ingin tahu. Iya, memang Daffa tidak suka mengingat nama orang, bahkan kolega pentingnya sering ia lupakan, hanya Aisha dengan sabar selalu mengingatkan siapa saja jika ada acara penting.
"Ah, Aisha!" sungut Daffa dalam hati, mengapa nama itu kembali lagi terbayang di benaknya, setelah kejadian itu?
"Anto Pak," jawab OB itu.
Daffa mengangguk, "Kamu ngapain kesini Anto?"
Anto mendekat. Dengan gemetar ia meletakkan amplop coklat itu ke meja Daffa. "Katanya dari kantor pengacara Pak!"
Daffa menyeringai,"kantor pengacara siapa?" tanyanya menyelidik.
Anto menggeleng, "Saya tidak tahu Pak. Cuma pesannya hari ini juga surat ini harus sampai pada Pak Daffa."
Daffa terdiam. Dalam hati bertanya. Surat apa yang dikirimkan karena sudah sangat lama ia tidak berhubungan dengan pengacara manapun. Tidak ada tindakan hukum apapun yang perlu diambilnya.
Daffa mengambil amplop coklat itu.
"Andini Law and Firm," gumamnya. Perlahan ia merobek pinggiran amplop tebal itu. Lalu ia melirik OB yang masih diam mematung.
"Kamu ngapain disini? Sana! Tugasmu sudah selesai?" dengus Daffa.
Anto mengangguk, "Maaf Pak. Saya ke pantry dulu."
"Iya. Eh, iya buatkan saya kopi pahit. Cepat, nggak pakai lama!" Perintah Daffa pada Anto yang menghilang di balik pintu.
Dengan tak sabar, Daffa menarik kertas putih itu. Lalu, ia membacanya dengan cepat. Nafasnya memburu. Wajahnya mengeras. Tangannya mengepal. Dihantamkannya kepalan tangannya itu ke mejanya.
Brak!
Ia kemudian meremas kertas itu. Emosi membuatnya hampir saja merobek surat itu, tapi diurungkan niat untuk merobek kertas putih itu. Bergegas ia membereskan berkas-berkas di atas meja. Ia menumpuk semua berkasnya di tepi meja dekat foto mesranya bersama Vana.
Daffa lalu mengambil telepon genggamnya, lalu menekan tombol yang sudah dihafalnya.
"Vana", katanya keras begitu Vana di seberang sana menerima teleponnya.
"Tumben kamu menelpon?" tanya Vana keheranan. Amat jarang Daffa menelponnya, kecuali ada urusan yang mendesak dan tidak bisa dihindarkan.
"Bisa pulang ke rumahku sekarang?" tanya Daffa mendesak.
"Nggak bisa! Aku lagi bareng-bareng temanku sekarang," tukas Vana menanggapi permintaan Daffa.
"Besok?"
"Memangnya ada apa sih?" tanya Vana heran dengan desakan Daffa.
"Penting! Aku harus ngomong sama om Danu, tante Azza, dan Safira."
"Mereka juga?"
"Kamu budek apa bagaimana?" sembur Daffa merasa jengkel dengan pertanyaanya Vana yang bertubi-tubi.
"Ya, sudah. Aku pulang."
"Aku tunggu. Awas jika kamu tidak pulang." Nada mengancam terdengar dari mulut Daffa yang sedang panik.
Daffa mengambil tasnya dan bergegas pulang. Sampai ia tak melihat pintu kantornya terbuka, dan kopi yang dibawa oleh Anto menyiram kemejanya.
"Brengsek!" umpat Daffa. "Mata pernah dipakai Anto?" tanyanya dengan keras. Daffa mengibas-ibas dadanya yang terasa panas tersiram kopi.
"Maaf Pak." Anto terbungkuk-bungkuk mengelap kemeja Daffa yang basah dengan kain lap yang biasa dibawanya.
"Stop!" Daffa membentak Anto.
"Kamu pikir, saya ini kaca kotor? Kok berani-beraninya kamu lap pakai kanebo?" teriak Daffa menarik perhatian satpam yang kebetulan sedang berkeliling.
"Ada apa Pak?" tanya satpam mendekati Daffa.
"OB goblok, menyiram saya pakai kopi panas!" Daffa masih memaki Anto yang ketakutan. Daffa mengeluarkan semua umpatan yang tidak perlu pada Anto. Walaupun ia tahu, bukan salah Anto, tetapi amarahnya membuat Daffa ingin memukul setiap orang yang ditemuinya sore ini. Dan itu semua gara-gara sebuah surat yang baru saja diterimanya.