Riana masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak melihat Aisha di parkiran. Riana menjadi curiga pada Bihan karena memberikan peringatan. Ia yakin jika Bihan bukan orang baik karena telah mencuri dengar pembicaraannya dengan Aisha. Riana menghidupkan mesin mobil namun langkahnya terhenti karena melihat Bihan menghalangi mobilnya. Ia menatap sekeliling namun parkiran sangat sepi dan gelap. Riana tidak mendapatkan tempat parkir yang strategis karena penuh. Bukannya takut Riana malah menginjak pedal dan mulai menabrak Bihan. Tak ada rasa takut dalam diri pria itu. Ia masih berdiri, menghalangi mobil Riana meski wanita itu sudah memberi aba-aba tidak akan berhenti. Bihan pria yang tangguh dan pantang menyerah. Riana hanya masalah kecil baginya dan tidak perlu ditakutkan. Kedua bertatapan penuh amarah.
Riana tersenyum evil. Pria itu memang keras kepala. Bihan masih saja memblokir jalannya dan tak memberinya ruang untuk pergi. Riana pun nekat menabrak Bihan. Ia sudah memasang ancang-ancang jika Bihan hanya patah tulang dan tidak mati. Riana kembali menginjak gas lalu menyetir mobilnya dengan melaju. Bihan yang awalnya yakin Riana tidak berani mulai berkeringat dingin. Perempuan itu memang sadis dan tak bisa diremehkan. Mobil itu hanya berjarak satu meter lagi darinya. Bihan semakin gemetaran. Riana tidak bisa digertak. Bihan menutup matanya dengan kedua tangannya karena ia sudah tidak bisa lari lagi. Bihan merasa aneh. Kenapa tubuhnya tidak terlempar. Riana mengklakson. Bihan membuka matanya. Ia melihat mobil Riana hanya berjarak beberapa centi dari tempatnya berdiri.
Riana keluar dari mobil dengan kemarahan yang memuncak. Ia menatap Bihan dengan kebencian dan amarah yang menyala.
"Kamu gila." Bihan malah memaki Riana ketika perempuan itu turun dari mobil.
"Baru tahu jika aku gila? Mau melihat aku lebih gila lagi. Aku masih berbaik hati tidak menabrak kamu dan membuat kamu patah tulang."
"Seharusnya kamu meminta maaf padaku karena telah berusaha membunuhku." Bihan tidak terima dengan ucapan Riana.
"Minta maaf?" Riana malah menyindir Bihan. Ia memperlihatkan wajah muak dan hidungnya mengembang.
"Yang gila siapa? Yang minta maaf siapa? Hello tuan sombong. Jangan pernah menganggap remeh aku. Meski aku wanita tapi mentalku tidak kalah dengan pria. Kamu pikir aku tidak tahu jika kamu ingin menggertak kamu. Kenapa tidak terima jika rudalmu yang kecil itu aku tendang? Apa sekarang dia sudah impoten dan tidak mampu berdiri?" Riana malah mencemooh Bihan.
Reflek Bihan menutup selangkangannya. Itu adalah harta pusaka yang sangat berharga dan tidak ada penggantinya ketika rusak atau sakit. Riana menertawakan Bihan karena bertingkah konyol. Bihan mengubah ekspresi wajahnya karena tahu ditertawakan. Ia memasang wajah dingin dan bengis. Ia ingin melihat keberanian Riana.
"Mau membuktikan jika rudalku besar dan panjang." Bihan semakin ingin menggertak Riana. Ia bersiap menurunkan resleting celananya. Bihan yakin jika Riana akan takut dan tak berani padanya.
Riana hanya tersenyum simpul dan tertawa terbahak-bahak. Pria itu terlalu pede dan meremehkannya. Riana malah mengambil handphone dan mulai merekam video Bihan yang mau menurunkan celananya.
"Ayo turunkan celanamu. Aku mau lihat rudal kamu. Apa benar besar dan panjang," ucap Riana merekam video.
"Aku mau bandingkan mana yang lebih besar dari video rudal koleksiku. Mana yang lebih BESAR dan PANJANG. Rasanya sangat kecil. Plong aja dan ga berasa kalo MASUK," ucap Riana memprovokasi Bihan.
"Gadis sialan. Kamu jangan memprovokasi aku. Jika aku buka kamu tidak akan tidur semalaman."
"Ayo buka. Mau aku bantu melepaskan celananya?" Riana malah tersenyum mengejek. Tak ada rasa takut dalam dirinya.
Bihan makin ketar ketir ketika Riana akan mencapai celananya. Pria itu berbalik dan pergi dari hadapan Riana.
"Hei kenapa kabur? Apa kamu malu karena rudalmu hanya sebesar cacing?" Riana menyelesaikan rekamannya.
Sialan! Bihan memaki Riana dalam hati. Sudah dua kali pria itu kalah dari wanita itu. Wanita itu terlalu barbar dan berani.
Riana masuk ke dalam mobil dan balik menuju ke kantor. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Belum terlambat untuk kembali ke kantor. Ia masuk ke dalam ruangannya. Untuk sementara Riana membantu Daffa di perusahaan karena selama tiga bulan ini Aisha menghilang. Riana merasa bodoh karena tidak sadar jika telah ditipu. Ternyata selama ini handphone Aisha dipegang oleh Daffa sehingga ketika chat pada Aisha dibalas oleh Daffa. Riana tidak kehilangan kontak dengan Aisha karena pesannya selalu dibalas. Pria itu sangat pintar memainkan perannya. Riana sangat membenci Daffa dan keluarganya. Mereka selama ini baik pada Aisha karena wanita pemilik perusahaan. Mereka merencanakan pembunuhan Aisha.
Riana menghentikan langkahnya ketika masuk ke dalam ruangan Daffa untuk mengantarkan file.
"Dari mana saja kamu?"
Bukan Daffa yang menegur Riana, tapi Vana. Perempuan itu duduk di pangkuan Daffa dengan gaya pongah layaknya nyonya. Riana menganggukkan kepala dan bersikap hormat.
"Maaf Bu. Saya ada urusan diluar?"
"Apa ini ada urusannya dengan kantor?" Daffa menatap Riana tidak suka.
"Benar Pak. Saya bertemu dengan wartawan," ucap Riana asal. Ia ingin mengetes ombak. Apakah Daffa dan Vana akan takut atau tidak.
"Jangan mengarang kamu." Vana menyembunyikan rasa kagetnya.
"Tadi wartawan dari majalah TIME menghubungi saya. Dia ingin mengkonfirmasi tentang pemindahan kepemilikan Nadia kosmetik. Nadia menjadi perhatian publik karena produk skincare kita viral Pak. Mereka mempertanyakan tentang kepemilikan Nadia. Sebelumnya perusahaan terdaftar atas nama Ibu Aisha lalu pindah ke Bapak. Kemarin Ibu Aisha sudah membalas saya jika ingin fokus pada kehamilannya dan tidak ingin mengurus perusahaan sehingga mengganti kepemilikan perusahaan atas nama Bapak. Sekarang wartawan mempertanyakan kenapa perusahaan ganti pemilik lagi ke Pak Danu."
"Apa kamu ingin mempermainkan saya Riana?" Daffa menatap Riana tidak suka. Riana terlalu tahu banyak tentang perusahaan sehingga Daffa tidak bisa menendangnya begitu saja.
"Siapa yang berani mempermainkan Bapak. Saya pasti sudah ukur kekuatan Pak. Saya hanya semut bukan gajah seperti Bapak. Mana mungkin saya mempermainkan Bapak. Saya hanya meluruskan citra perusahaan saja karena pernikahan Bapak dan Ibu Vana sudah diendus wartawan. Saya tidak ingin mereka curiga. Kenapa Pak Daffa dan Ibu Vana menikah padahal kakak dari Ibu Aisha. Maka saya menemui wartawan majalah TIME untuk meluruskan masalah ini."
"Apa yang sebenarnya kamu lakukan Riana?" Vana malah mencengkram leher Riana hingga perempuan itu mendongak.
"Ibu Vana. Why you hurts me? What's wrong?" Riana hanya tersenyum dan tidak memperlihatkan ketakutan meski Vana tengah mencekiknya.
"Jangan menatapku seperti itu?" Vana melepaskan cengkramannya.
Vana menelpon salah satu redaksi dari majalah TIME. Ia ingin memastikan jika Riana tidak berbohong. Ia menghidupkan speaker agar semua orang bisa mendengar percakapannya.
"Halo. Selamat siang. Dengan Vano, editor majalah TIME. Ada yang bisa dibantu?"