Bihan memarkirkan mobilnya di depan pintu masuk proyek. Alil sedang memantau proyek kampus baru sebuah universitas. Proyek ini sangat besar karena merupakan universitas yang bergengsi di Indonesia. Kampus ini membuat universitas baru sehingga membutuhkan gedung baru untuk mendukung pembelajaran. Bihan membuka pagar yang dibuat dari atap seng. Para pekerja melihat kedatangannya dan menyapanya dengan hormat. Dari bawah Bihan melihat Alil sedang bicara dengan kepala proyek di lantai enam. Bihan mengambil ponsel lalu menghubungi Alil yang ada di atas. Handphone dijepit di telinganya namun matanya terus menatap Alil yang fokus mendengarkan kepala proyek bicara.
"Kamu sudah sampai Bihan?" tanya Alil menatap sekeliling. Ia melihat ke bawah. Ia melihat Bihan melambaikan tangan dengan tersenyum.
"Sudah Pak Alil."
"Baik. Aku akan ke bawah." Alil menutup telepon dan menyelesaikan pembicaraan dengan kepala proyek. Setelah itu Alil turun ke bawah dan menemui Bihan. Keduanya keluar dari proyek dan masuk ke dalam mobil.
Alil duduk di kursi belakang, sementara Bihan menjadi sopir. Alil hanya ingin ditemani Bihan dan tak ingin orang lain menjadi sopirnya. Ia sangat percaya dengan Bihan karena pria itu sudah sepuluh tahun mendampinginya.
"Pergi kemana istriku hari ini?" tanya Alil membuka percakapan.
"Pergi ke kantor pengacara Pak. Ibu Aisha menemui pengacara Bapak." Bihan menjawab pertanyaan Alil namun matanya fokus ke depan karena menyetir.
"Kenapa dia ke kantor pengacara?"
"Ibu mendapatkan informasi jika asprinya mencarinya. Aspri Ibu Aisha baru menyadari apa yang terjadi pada bosnya. Mereka akhirnya bertemu setelah tiga bulan tidak bertemu."
"Awasi Aisha. Jangan biarkan dia pergi sendirian. Sebelum mendapatkan bodyguard dia tidak boleh pergi sendirian."
"Baik Pak. Ibu sudah di rumah. Ibu langsung pulang ketika selesai dengan kantor pengacara. FYI Pak. Daffa memindahkan kepemilikan Nadia pada Danu setelah mendapatkan surat pembatalan pernikahan. Daffa ketakutan. Daffa akan menikah dengan Vana, kakak tiri Ibu Aisha. Pria itu benar-benar bajingan. Dia mengadu domba dua saudara untuk saling bermusuhan. Ternyata sebelum Ibu Aisha menikah dengan Daffa, pria itu dan Vana sedang berkencan. Keluarga Danu merencanakan pembunuhan itu pada Aisha untuk mendapatkan Nadia Grup."
"Aku sudah tidak terkejut mendengarnya. Danu dan keluarganya. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Mereka semua sama. Fokus kita sekarang menghancurkan Danu dan keluarganya. Kita tidak boleh menghancurkan Nadia karena perusahaan itu milik Aisha dan dia telah bekerja keras membangun Nadia hingga sebesar sekarang."
"Apa Bapak ingin memiliki Nadia juga?"
"Aku akan merebut Nadia tapi bukan untukku. Nadia milik Aisha dan harus kembali pada Aisha."
"Kenapa Bapak melakukan sebanyak ini? Apa tidak cukup jika membantu Aisha membalas dendam?"
"Bihan. Jangan lupakan syarat dari kakek. Warisan dari Marta Grup akan menjadi milikku jika menikah dan memiliki anak dari istri sah. Ingat. Kakek memberikan aku waktu dua tahun untuk memiliki anak. Jika dalam jangka waktu dua tahun aku tidak bisa memiliki anak, maka aku tidak akan menjadi pewaris utama dari Marta Grup. Alan akan menggantikanku menjadi CEO Marta Grup. Aku tidak akan membiarkan Marta Grup hancur ditangan Alan meski aku memiliki perusahaan sendiri. Papaku dan kakek sudah bekerja keras membangun Marta Grup hingga menjadi perusahaan besar dan memiliki tiga puluh bidang bisnis. Marta adalah denyut nadi dari papaku. Papaku bahkan meninggal ketika bekerja di kantor. Apa aku akan membiarkan Marta jatuh ke tangan dia? Tentu saja tidak."
"Kenapa harus Aisha Pak?" Bihan merasakan keanehan. Ia merasakan hal yang berbeda. Ia melihat Alil sangat melindungi Aisha.
"Karena aku ingin dia yang menjadi Ibu dari anak-anakku bukan wanita lain. Anak-anakku harus lahir dari rahim Aisha."
"Bapak dan dia hanya menikah kontrak. Kalian sudah membuat perjanjian pranikah."
"Perjanjian hanya perjanjian. Aisha akan menjadi istriku untuk selamanya."
"Bagaimana dengan Ibu Aisha? Di matanya, aku hanya melihat dendam. Ibu Aisha bertahan untuk saat ini hanya untuk membalas dendam pada keluarga Danu terutama Daffa."
"Jangan kamu pikirkan. Aisha akan menjadi urusanku."
"Baik Pak." Bihan manggut-manggut dan tak berani bertanya lagi. Ia tahu jika Alil tidak suka diusik tentang masalah pribadinya. Ia terus menyetir dan membawa Alil pulang ke rumah.
Satpam membukakan pintu pagar ketika melihat mobil Alil. Satpam di rumah Alil bernama Uya. Sudah lama pria itu menjadi keamanan di rumah Alil. Alil sejak dulu suka tinggal sendiri dan tidak mau tinggal bersama keluarganya.
"Sore bos," sapa Uya ketika membukakan pintu mobil untuk Alil.
"Sore Uya. Rumah aman?" tanya Alil berbasa-basi.
"Aman bos."
"Bagus." Alil memberikan jempol pada Uya. Ia lalu melangkah masuk rumah. Bihan mengikutinya dari belakang. Alil melihat beberapa orang ART sedang menyapu rumah.
"Pak," sapa mereka dengan ramah.
"Ibu mana?"
"Ada di kamar Pak."
"Bapak merindukan Ibu?" Goda Bihan pada Alil. Pria itu tersenyum manis menyadari jika Alil menyukai Aisha.
"Bihan," panggil Alil dengan suara bariton. Ia tidak digoda.
"Siap salah Pak," balas Bihan hormat bendera. Alil kembali bersikap dingin.
Alil tidak mempedulikan permintaan maaf Bihan. Ia menaiki tangga dan menuju ke kamarnya untuk menemui istrinya. Alil membuka pintu kamar. Ia melihat Aisha hanya mengenakan handuk. Ternyata Aisha baru saja selesai mandi. Aisha kaget melihat kedatangan Alil yang tiba-tiba. Reflek Aisha menyilangkan tangannya ke dada. Meski mereka sudah berhubungan badan beberapa kali, Aisha tetap saja merasa malu. Ia melayani Alil di ranjang hanya untuk menyelesaikan kewajibannya sebagai istri. Tak ada rasa cinta. Hanya berusaha menyenangkan Alil saja.
Tetesan air rambut turun ke leher Aisha. Alil melihatnya tanpa berkedip. Terlalu seksi dan menggoda. Jakun Alil turun naik melihat keseksian Aisha. Meski sudah melihat tubuh itu beberapa kali namun masih penasaran dengan apa yang tersembunyi dibalik handuk itu.
"Jangan menatapku seperti itu Alil." Aisha malah mencubit perut Alil hingga pria itu menjerit kesakitan.
"Awwwwww… Sakit," ucap Alil pura-pura lebay.
"Drama king." Aisha malah meledek Alil. Ia mengambil pakaiannya di dalam lemari dan juga mengambil pakaian Alil. Aisha memberikan Alil handuk.
"Gak mau mandi sendiri. Maunya di mandiin," kata Alil dengan nada manja. Ia mendekati Aisha lalu menyandarkan kepalanya di bahu telanjang sang istri.
"Alil," balas Aisha tersenyum pura-pura. Ia terpaksa melayani kekonyolan Alil karena ingat pesan dari Bihan. Ia harus bisa menyenangkan Alil jika tidak… Ya begitulah…
Aisha harus bersandiwara menjadi istri yang mencintai suaminya. Ia harus berpura-pura pada Alil agar bisa membalas dendam. Aisha sudah tahu sepak terjang Alil. Ia sudah menyelidiki asal usul suaminya diam-diam. Diam seperti pemalu, tapi bergerak mencari tahu siapa suaminya. Mereka menikah karena keadaan bukan cinta.
"Jangan panggil aku Alil. Panggil aku Hubby atau sayang." Alil mencium tengkuk istrinya.
Tubuh Aisha bergetar ketika bibir Alil mencumbunya. Leher adalah bagian tubuh paling sensitif bagi Aisha. Aisha berusaha menghindar namun Alil menahan pinggang Aisha dan merapatkan tubuh mereka.
"Mau kemana?" tanya Alil sensual di telinga Aisha.