Chapter 3 - Warnet

"Ko, it—emph!!" El mau berkomentar dengan apa yang ia lihat. Kodrat manusia untuk mempertanyakan sesuatu yang tak ia ketahui. Namun belum juga bibirnya terbuka, tangan besar Eko langsung menempel di bibir. El terkejut tentu, hanya saja, melihat mimik Eko, dia paham jika kawannya menyuruh ia diam sejenak.

Dalam diam, kelereng gelapnya mengamati gerak-gerik dua manusia di ujung sana. El sebisa mungkin memasang muka tenang. Tapi dalamnya tidak, Elysha sumpah, jejeritan girang.

Dia hampir lupa kalau di dunia yang ia buat, Indonesia lebih open minded. Ada satu dua orang homophobic, tapi tidak semuanya demikian. Kebanyakan, mereka menghargai hak manusia untuk memilih preferensi. Meski tidak dilegalkan, banyak sekali pasangan-pasangan pelangi membuka diri di publik dan tidak ada yang menggunjing.

El terdiam. Keningnya tertekuk dengan sebuah kesadaran yang merasuk.

Bila … bila LGBT lebih diterima … bukankah ada kesempatan lebih banyak mendapatkan uang dari jalur itu? Misal open bo? Apalagi sekarang dia laki-lak—

El menggeleng kuat untuk menepiskan pemikiran yang tidak-tidak dari otaknya. Mungkin tekanan dari emak sudah cukup mencekiknya sampai dia ingin melakukan jalan pintas saja. Haha.

Jujur, sebelum menjadi El, Elysha mengira yang sering ditekan itu anak perempuan—karena dia perempuan. Dulu saat masih 23 Tahun, Ibunya selalu memberondonginya dengan pertanyaan, 'kapan nikah? Jodoh mana? Awas lho perawan tua. Tar jadi kembang layu duluan baru payu (laku),' atau semacam itu. Dia kira habis jadi laki-laki, akan terbebas dari tuntunan sosial. Eh sama saja ternyata.

Lelah hati sumpah Elysha diminta kerja mulu. Dia tahu Ibunda mas El ini tidak ada maksud jahat dengan memaksanya kerja, tapi beliau minim pemahaman. Masa iya dia mantengin laptop cari lowongan pekerjaan dibilang, 'ngocok teroooos.' Ebuset, emang kalau laki-laki mantengin laptop buat ngocok doang? Terus kalau diberi tahu dia sedang apa, dibilang El sedang buat alibi saja. Kalau ia jawab sudah mengirimkan lamaran pekerjaan juga, besoknya langsung ditanya, 'kapan mulai kerja?'

Haaah, El membuang napas lagi. Ia mengacak rambutnya sembari mengeluarkan ponsel. Hpnya bukan keluaran terbaru bahkan sudah boncel disana-sini, tapi setidaknya hp ini masih bisa browsing. Ya, dia di warnet, tapi dia punya paket data dan berkunjung kemari tujuannya cuma untuk ngeprint. Dia tahu uangnya tak banyak dan tak seharusnya meleng melakukan yang lain di luar rencana.

"El, rangkap berapa nih printnya?" El mendengar suara Eko. Dia bergerak menjauhi meja tempat temannya bekerja dan duduk di kursi plastik dekat pintu. Selagi kakinya melangkah, matanya mantengi layar ponsel, ia menjawab laki-laki berkulit tan di sana, "print sekali aja. Terus copy-in 10 kali. Kamu ada amplop coklat besar, kan?"

"Copy-nya hitam putih lho ya … ini fotomu bakal hilang lho."

El duduk di tempat tujuannya. Dia menimpali pernyataan Eko tanpa pikir panjang, "nggak apa. Aku lagi nggak ada uang buat print banyak-banyak."

Well, semenjak wisuda dan resmi jadi pengangguran, El tidak menerima uang saku. Selama di kota M, ia mendapatkan sedikit uang dari sisa beasiswa yang ia terima. Namun setelah pulang ke rumah, mungkin karena terbiasa tidak memberi uang pada anaknya, Ibu lupa untuk memberi dia uang saku. El sendiri paham, dia sudah dikuliahin tinggi-tinggi, rasanya tetap minta uang dan jadi beban keluarga itu memalukan. Karenanya dia diam, tak meminta sepeserpun uang pada Ibunya. Yang ia lakukan selama ini hanya mengelola tabungannya yang tak banyak. Nah, masalahnya tabungan itu sudah hampir habis.

Sambil browsing lowongan pekerjaan, El menekuk kakinya. Dia menopang dagu sambil membaca blok demi blok yang ditawarkan oleh internet. Selain itu ia juga melihat kapan job fair akan diadakan. Dia mencari lokasi yang terdekat dari kota K.

"Aaah! Kenapa kebanyakan job fair begini di kota besar sih?! Padahal kota ini juga punya universitas berderet lho ya! Kenapa nggak ada yang ngadain sebijiii aja dalam waktu dekat sih?!" menggerutu, El mengungkapkan kekesalannya dengan keras. Ia bahkan menghentakkan kaki kesal dan mengacak tatanan rambutnya.

Stres! Dia stres berat!

"Haaa! Aku pengen minggaaaaa—"

Sebelum El bisa lebih berisik, sebuntal plastik menggetok kepala, membungkam bibir yang dari nyerocos tak jelas. Dengan muka tertekuk, El menoleh ke arah temannya itu. Mimiknya tunjukkan betapa ia tak suka diperlakukan begini, lancang sekali getak-getok kepala orang seenaknya!

Namun ancaman dalam diam El tak tembus pada Eko. Sosok berbalut celana pendek selutut dan kaos hitam sablonan kepala gundala itu justru menempelkan jari di bibir dan berdesis, "ssst! Berisik! Masih ada klien di sini, tahu!"

"Ya tapi jangan timpuk orang seenak jidat dong," balas El dengan suara lirih. Saking lirihnya seperti orang berkumur.

Tentu itu masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri Eko. Dia memberikan plastik ke arah El, menyebutkan harga semua yang harus di bayar, sebelum duduk di samping lelaki berbalut baju rapi itu. Sambil jigrang ia mengamati El lekat-lekat, dari atas ke bawah.

"Aish! Apaan sih? Homo ya?!" tuduh El risih karena dilihatin begini. Karena terlalu risih sampai bulu roma merinding, pemilik rema abu itu menggeser pantatnya. Kini ia dan Eko berjarak satu kursi.

Eko tergelak melihat reaksi ini. "Aku pemakan segala, sans," katanya bangga. Seulas senyum miring merekah di wajah kokoh tan itu. El hanya bisa mengerjap, lalu bentukkan huruf O melalui bibir dan membuang muka.

Kemudian keheningan membalut. El sibuk mengambili uang pecahannya dari dalam dompet, menghitung sesuai yang diminta Eko. Sedang kawannya itu bersial-siul tak jelas sambil memandang ke dalam warnet yang ia jaga.

Beberapa saat mereka tak saling bicara. Baru ketika El menyodorkan uang, Eko kembali bertanya, "habis ini mau kemana?" sambil mengecek jumlahnya.

El mengetuk-ketukkan jari di dagu. "Aku mau ke kota dulu. Keliling siapa tahu ada yang buka lowongan."

"Hooo," Eko manggut-manggut paham. Pemilik rambut agak gondrong itu berdiri kemudian. Ia bergerak ke balik meja untuk memasukkan uang yang diberikan oleh El. Selagi kaki bergerak, bibir kembali berbicara, "Ngomong-omong, warnet ini buka lowongan juga lho."

"Huh?" El mengerjap mendengar ucapan Eko.

"Kalau kamu mentok nggak dapet kerjaan. Bisalah, di sini. Bisa ngenet gratis, dapet kasur juga lho," Eko tersenyum lebar di balik mejanya. "Selain itu gajinya lumayan. Kita bisa dapet uang seperti PNS kalau mau jaga malam. Pokoknya nggak boleh tidur selama jaga malam, maka sehari pow! kamu bisa dapet 1.5 juta!"

El menaikkan dua alisnya mendengar hal ini. Dia berterimakasih dengan kebaikan hati kawannya memberi tahunya lowongan ini. Sejenak, ia berpikir.

Ia tak memikirkan pendapatan yang menggiurkan itu. Jujur, yang ia pikirkan ... kalau di sini, dia bisa keluar dari rumah dan tidak mendengarkan ibunya berteriak setiap saat. Terus juga dia bisa melamar pekerjaan yang lain dan menghemat pengeluaran paket data. Tidak buruk. Kalau tak kunjung mendapatkan jalan keluar, mungkin warnet ini bisa jadi penyelamat.

Sambil mengangguk, memikirkan ucapan Eko, El memandang sekali lagi warnet yang kelak bisa saja ia jaga. Tanpa sadar, pandangannya kembali ke pojok sana. Dia terdiam sejenak melihat lelaki berbalut kemeja rapi dan celana kain model slimfit di depan ruangan itu. Orang itu tengah memandangnya.

Dan pandangannya ... aneh?

"Oh, kalau kamu jadi di sini ... ruangan itu tak boleh kamu sentuh kalau kamu bukan member," Eko yang menyadari hal ini, kembali berbicara agar perhatian El terarah padanya lagi.

"Kenapa? Karena ruangan itu bilik khusus buat enaena?"

"Iya ben—KOK KAMU TAHU?!"

El tertawa di sini. Sudah dia duga. Mungkin El yang asli tak akan memahami hal ini kendati dia memiliki kecurigaan yang kuat pada ruangan itu. Namun heh, di dalam tubuh El ada Elysha. Dan Elysha fujoshit tingkat akut yang bahkan doyan beastility.

"El. El! Jangan-jangan kamu ..." Eko terkesiap atas pengetahuan ini. Matanya membelalak melihat ke arah kawannya itu. El bodoh amat sambil memasukkan barang ke dalam tas.

Berikutnya, tanpa memberikan jawaban pada lelaki tan berotot di balik meja kasir, ia berkata, "dah ya. Doain aku dapet kerja biar enggak ikutan kamu open bo."

Eko makin membelalak. Bibirnya menganga. Mukanya sedetik kemudian langsung memerah. Ia pun berseru, "EEEEEELLLLLLLL!" sedang pemilik nama hanya terbahak sembari melenggang kangkung.

[]