"El, habis ini makan dulu terus berangkat cari kerja!"
El Reski nama pemuda itu, hanya bisa melengos panjang mendengar teriakan dari ibunda begitu dia keluar dari kamar mandi. Matanya yang pedas karena kemasukan sabun tadi, tiba-tiba terasa tak pedas lagi begitu mendengar desingan dari ibu sendiri.
"Pak Supri tanya, kamu kok di rumah mulu nggak kerja-kerja itu kenapa ... terus Mak Jum juga komentar, 'katanya Sarjana, kok nganggur ...' kapan kamu kerja to El, El ..."
El menghirup napas dalam-dalam mendengar tuturan wanita paruh baya itu. Dia terdiam, berdiri di perpotongan jalan. Mukanya mengeras, tampak dia menggemeretakkan gigi dari otot-otot mukanya yang tegang.
Lalu perlahan, seiring sang Ibu makin berceloteh perihal cuap-cuap tetangga ... El menoleh ke sumber suara. Bibirnya peelahan terbuka, ia ingin sekali menjawab ucapan sang Ibunda. Tapi ...
Di sana, di dalam dapur ... kelereng hitamnya bisa melihat wanita yang telah melahirkannya sedang sibuk memotong wortel sambil melirik ke arahnya. Pandangannya tajam setajam pisau do tangan.
"Kamu mbok ya tau diri gitu lho El. Ndang o (cepatlah) kerja. Apa angon (gembala) sapi wae kalau nggak bisa dapet kerja?!" tanya sang Ibu seraya mengangkat tinggi-tinggi pisau besar itu. "Tapi masa Sarjana angon sapi? Kalau sarjana itu kerjanya di kantoran. Gajinya jutaan," ia berkata sembari menyeringai tipis ke arah El. Mata ke mata ia mewanti-wanti, "ngerti kamu?" sebelum ctoook! menghantamkan mata tajam ke arah papan irisan. Wortel pun terpotong dan potongannya menggelinding.
El seketika menutup kembali bibir. Tangannya langsung menangkup selangkangan. Angin dingin bak ular, menjalar naik.
"O-ok buk. Siap!" buru-buru dia menjawab sebelum ngacir pergi. Hawa horor mencekiknya, bulu roma berdiri sempurna. Entah mengapa dia punya firasat wortel kecilnya akan tersunat jika tetap berada di sana.
Ngeriii. Mamak mas El memang ngeriii.
Cepat wanita yang kini bertubuh lelaki itu masuk kamar. Ia menendang pintu dan langsung menguncinya. Helaan napas panjaaaaang ia keluarkan kemudian. Pelan ia bahkan merosot di belakang pintu hingga terduduk.
Saat ini El sedang mengenakan setelan kaos oblong dengan katok kolor. Pakaian-pakaian yang habis disetrika memang diletakkan mamak di lemari atas mesin cuci, maksud dan tujuan, untuk memudahkan anak-anaknya berganti pakaian selepas mandi. Tapi bukan itu yang menjadi masalah sekarang! Bukan itu!
Jiwa El Reski, Elysha, selalu kewalahan menghadapi alunan kehidupan keluarga lelaki ini setiap pagi.
Elysha tahu siapa El, dia tokoh viguran yang ikut melihat kehebohan Male Lead dan orang tuanya turun dari helikopter hanya demi menemui sang Main Character.
El hanya pemeran yang keluar sekilaa. Singkat kata, El adalah ekstranya ekstra dari novel; novel yang ia buat bersama kawannya. Meski ekstra, tapi lokasi tempat tinggal El, jelas. Dia dari desa T, kota kecil K di provinsi JTim.
Naaah, masalahnya di sini. Di siniii! Pada satu-satunya novel yang ia buat sampe mau tamat meski baru draft saja, El hanya disebutkan dalam satu episode dan itu sebagai sosok yang iri dengan mas MC karena hidupnya enak sekali, dapat suami cakep, sudah kerja, punya helokipter, sementara dia tidak. Padahal, mereka sama-sama mengenyam pendidikan di kota yang sama. ALIASNYA, El ini tetangga jauhnya si Main Character di kampung halaman.
Kampung. Desa.
Masalahnya di siniiii!
Elysha tidak kuat hidup sebagai orang desa. Desa itu asik untuk berlibur. Tapi kalau hidup kelamaan di dalamnya, ia bisa gila.
Baru sepuluh hari di sini saja Elysha sudah ingin minggat dari rumah! Dia berasa hidup dibayang-bayangi tetangga.
"Kalau berdasarkan cara ibuk ngendikan (berbicara), kejadian itu belum terjadi," El berpikir. Ia bangkit dari posisi dan bergerak ke meja belajar mungilnya. Di sisi meja ada kalender gantung, cepat-cepat El mengambil ballpoint lalu memandangi kalender seksama. Otaknya berpacu.
"Seingatku setelah dinyatakan lulus, tapi belum wisuda, Cakra akan pulang." El menuliskan poin poin di kalender.
Sel kelabu bergulung, ia mengingat jika Universitas tempat Cakra—si Main Character—menimba ilmu, memiliki tiga sampai empat kali wisuda dalam setahun. Elysha tidak menyebutkan secara jelas Cakra lulus kapan di tulisannya, tapi dia sebutkan ada waktu jeda lama sejak doi dinyatakan lulus sampai akhirnya wisuda. Wisudanya diadakan di akhir tahun. Di waktu tenggang ini Cakra pulang kampung. Dan blam! ia tanpa sengaja merubah drastis kehidupan pemuda-pemudi di kampung sana.
Why? Karena emaknya pacar Cakra, si Male Lead bernama Haris Wijaya, memutuskan ikut anaknya mengunjungi Cakra dan itu naik helikopter. Gila kan? Sebenarnya b-aja untuk setingkat crazyrich, Elysha menyadari itu. Tapi damagenya nggak ngotak buat warga desa biasa—buat emak El Reski misalnya.
"Aku menyesal sudah bikin cheesy line 'aku kangen kamu cak. Pulang kerja aku langsung cus ke sini~' buat Haris, Gusti. Gara-gara omongannya itu nanti ... standard emak-emak di desa ini semakin tinggi. Anak mereka harus kerja dan punya heli, nggak boleh kalah dari anak tetangga. Anjirlah, emang cari kerja segampang balikin tangan apa?!" El mengacak rambutnya sendiri. Ia menggila. Sekarang saja tekanan dari ibunda bikin kena mental, apalagi selepas Haris dan ortunya berkunjung nanti. Makin bikin stres.
Memberikan bulatan pada bulan November, lalu mengamati sekarang masih Maret, El memutuskan sesuatu. Biar dia tetap waras, dia harus keluar dari rumah ini secepatnya!
Tapi kemana?!
Dan ... ngapain?!
"EL RESKI!" suara cempreng itu terdengar lagi. El tersentak dari lamunannya. Dia cepat-cepat berdiri, memasukkan pena yang dia pakai ke laci dan menjawab, "bentar buk! Ganti baju!"
Segera setelah sukses berbenah dan merapikan kamar, El menyambar tas selempang bututnya dan berlari ke dapur. Dia siap habis makan ini untuk pura-pura cari kerja.
***
"Pakai baju rapi, sepatu cling, lah kok beloknya ke warnet to El," komentar ini menyapa gendang El begitu dia masuk ka warnet terdekat. Dia melirik, mendapati lelaki seumurannya sedang geleng-geleng kepala sambil menyeruput es kelapa.
"Diem, Ko. Aku mau ngeprint," El menjawab ketus, tangannya merogoh-rogoh tas sebelum mengeluarkan flashdisc kuning dan menyerahkan ke arah Eko. "Nama filenya: surat lamaran kerja," begitu fd diterima kawan main kelerengnya itu, El menambahi. Sejenak dia terdiam sebelum berikan imbuhan, "oh. Sama CV kerja!"
"Oke oke," ogah-ogahan, pemuda berambut keriting di depan El itu menimpali. Ia mulai mengutak-atik komputer di depannya.
Sembari menunggu, El mengedarkan pandang. Warnet ini terletak di pinggir jalan besar, jalan antar kota. Dari rumahnya kira-kira 7 kilometer. Bagi Elysha yang tinggal di kota besar, warnet ini tidak ada apa-apanya. Lantainya cuma tanah dipadatkan, tanpa ada keramik. Genteng pun langsung terlihat jika mendongak ke atas, tidak ada langit-langit. Bilik yang tersedia juga biasa saja, kotak-kotak sederhana dengan kursi plastik.
Tapi ada yang aneh di warnet ini. Sejak pertama kali El datang kemari, ia sudah mencurigai ruangan di ujung sana.
Ada kaca buram tidak tembus pandang melingkupi petak tanah seukuran 2x3m. Ruangan itu lebih tinggi dari yang lain dan dilapisi keramik. Pintunya pun selalu tertutup, ada plakat VIP.
Yang paling aneh adalah ... yang masuk ke sana. Pakaian mereka tidak seperti dari desa. Ada sentuhan modis dan brand di setiap aksesori.
"Ko Eko. Aku kok kepo ya," seraya mengetukkan jemari, El berbicara pada temannya. Ia terang-terangan menatap ruangan tertutup itu sambil menyangga kepala. Meja kasir ini cukup tinggi untuk dia berdiri sambil melakukan ini.
Ucapan El dibalas dengan hmmm alakadarnya oleh Eko. Bukan hal yang tidak biasa, karenanya, El melanjutkan tanya, "itu lho ... Ruangan ap—"
Namun suara El terpenggal dengan bunyi-bunyian ceklak ceklak handle pintu dibuka, diikuti pintu menjeblak dan seorang remaja keluar dari dalam ruangan itu dalam keadaan bugil.
Berikutnya entah siapa yang ada di dalam ruangan melemparkan pakaian ke arahnya. Saweran uang pun menyusul.
El terdiam. Terpaku. Menganga.
Wut. The. Puk?!
[]