Chereads / SECRET AND LOVE / Chapter 15 - PEMBALASAN II

Chapter 15 - PEMBALASAN II

Oscar tersenyum puas.Ia merasa beruntung jika kakeknya ditinggalkan bersamanya. Lihat saja nanti apa yang kira- kira bisa ia lakukan untuk melenyapkannya. Tidak mengapa jika tidak bisa menyiksa dan melihatnya mati menggelepar. Dia sudah tua dan rasanya Oscar juga malas melihat tubuh keriputnya menggelepar.

Frans, Marini dan Nadia akhirnya pulang. Mereka harus bersiap untuk acara doa 3 hari meninggalnya Camelia Wijaya.

Oscar mengamati ruangan VVIP ini. Cukup besar dengan sofa yang bisa dijadikan tempat tidur. Kursi kecil, kulkas mini,televisi, ada meja dan lemari kecil. Kamar mandi yang dilengkapi dengan air hangat. Pasti mahal harga per malamnya. Tapi, dengan harta yang dimiliki Surya Wijaya sekarang ini, tentu tidak masalah untuk kamar sebagus ini.

Oscar melihat layar monitor yang menunjukkan kondisi jantungnya normal. Lelaki tua itu nampak pulas tertidur. Tiba- tiba pintu kamar diketuk, Oscar bergegas membukanya. Ternyata seorang perawat berwajah cantik dan seorang dokter berdiri di balik pintu.

"Selamat malam, Mas. Saya mau memeriksa pasien dulu. Oh, ini dokter Edo," kata perawat itu ramah. Oscar membaca namanya pada name tag yang ia pakai, namanya Adinda. Oscar tersenyum dan memberi jalan supaya mereka bisa masuk. Dokter Edo langsung memeriksa kondisi kakeknya itu dengan telaten. Dan Adinda menyuntikkan obat ke dalam cairan infusnya.

"Kita tunggu sampai besok pagi ya, Mas. Jika sampai besok pagi beliau masih tidak sadar itu akan sangat berbahaya. Mudah- mudahan saja beliau akan terbangun. Kondisi fisik beliau sudah kurang baik karena usia." Kata dokter Edo.

"Kalau pasien sadar, tolong segera panggil kami ya, Mas. Karena saat ini pasien berada dalam kondisi yang sangat kritis," timpal Adinda.

"Baik, Suster saya akan memanggil jika kakek saya terbangun," jawab Oscar sambil tersenyum.

Adinda mengangguk, sesekali ia mencuri pandang ke arah pemuda itu. Gadis ini cantik juga, pikir Oscar.

"Baiklah, sudah selesai semua. Nanti, kalau cairan infusnya tinggal sedikit beritahu kami juga ya. Jangan menunggu sampai kehabisan," kata Adinda lagi. Oscar hanya mengganggukkan kepala sambil tersenyum.

Setelah dokter Edo dan Adinda keluar Oscar menyalakan televisi. Oscar ingin sekali langsung melenyapkan sang kakek. Tapi, Oscar harus berhati-hati. Ia tidak boleh menimbukan kecurigaan. Apalagi sampai meninggalkan jejak. Rencananya harus berjalan dengan sempurna.

Oscar membaringkan tubuhnya di atas sofa. Hmm, empuk juga ternyata, pikir pemuda itu.

Ingatannya menerawang jauh. Tiba- tiba Oscar mengingat peristiwa malam itu. Bayangan ibunya sedang bersama lelaki itu. Membuatnya membayangkan Adinda. Ada suara- suara dalam kepalanya seolah memerintahkan Oscar untuk mencekik sang kakek yang sedang berbaring tanpa daya di hadapannya. Tapi, no no no, Oscar tidak suka menyiksa orang yang tengah tertidur. Oscar suka saat mereka mengerang dan meregang nyawa.

Oscar hampir saja terlelap saat Oscar menyadari ada suara erangan. Oscar bangkit dan Oscar langsung memeriksa kondisi sang kakek. Ternyata ia sadar. Saat melihat Oscar dia langsung melotot ke arahnya.

"Uuuu.....aaa..uh uh..."

Oscar tertawa sinis melihat Surya Wijaya berusaha untuk bicara. Perlahan Oscar mulai mendekatinya.

"Kau bicara apa, kakekku tersayang?" Tanya Oscar sambil membelai rambutnya. Oscar tau, ia akan merespon dengan emosi. Ternyata dugaanku benar. Perlahan ia membuka alat bantu pernafasan yang menutupi mulut dan hidungnya itu. Aah, rupanya ia ingin bicara. Baik, kita akan bicara, tua bangka.

"Ma-mana anakku? B-buat apa kau di sini bocah busuk?"

"Waah ckckckkc kakek, tidak baik memaki orang lain. Apalagi ini cucu kakek sendiri," ujar Oscar sambil menyeringai. Oscar memang sengaja tidak memanggil perawat atau dokter. Karena Oscar menginginkan kematiannya malam ini juga.

Lelaki tua itu memandangku penuh amarah. Namun, tiba- tiba ia memegangi dadanya dengan tangan kanannya yang terbebas dari jarum infus. Oscar tau dia sedang merasakan sakit. Oscar tertawa kecil melihatnya.

"Kau mau mendengar cerita sebelum kau mati, kakek tua? Casandra anakmu, dia mati setelah melakukan hubungan terlarang. Lelaki yang menjadi pasangannyalah yang mencekik dia sampai mati. Dan kemudian, akulah yang menusuk lelaki bajingan itu sampai ia menggelepar di hadapanku dan mati pelan- pelan."

Napas Surya Wijaya makin memburu, dan ia makin kuat memegangi dadanya.

"Dan, kau tau? Saat itu lelaki busuk yang katanya adalah ayahku itu pulang dalam keadaan mabuk. Dan, akulah yang membuatnya menjadi pembunuh dan dijebloskan ke dalam penjara. Hahaha...kasian sekali bukan? Tadinya aku merasa senang,aku akan tinggal bersama kakek dan nenekku. Tapi, kau mencampakkan diriku karena ayahku. Dan putramu sudah menipuku. AKU akan menghukum kalian. Mulai dari kematianmu malam ini, kau dengar?"

Surya Wijaya, lelaki tua bangka itu makin merasakan sesak, ia berusaha untuk kembali memasang alat bantu pernapasannya. Oscar tertawa kecil, Oscar tau, saat ini dia sedang bertarung dengan maut. Tangannya mulai menggapai- gapai. Sementara tangan yang satunya meremas sprei dengan kuat. Hahahah, rupanya bisa kesakitan juga. Oscar membiarkannya selama beberapa menit. Oscar memang sengaja mengulur waktu. Dia tidak boleh selamat. Malam ini dia harus menyusul istri dan anaknya. Setelah yakin ia tidak akan selamat, Oscar menekan bel yang ada di dekat ranjang. Tak lama terdengar suara langkah- langkah orang yang berjalan dengan tergesa-gesa. Oscar mulai dengan sandiwaranya sekarang.

Pintu terbuka, dokter Edo dan beberapa perawat masuk.

"Kakeknya sadar, Mas?"

"To- tolong kakek saya. Barusan ia terbangun dan langsung memegangi dadanya seperti ini."

Adinda langsung menarik tanganku untuk menjauh, sementara dokter langsung memeriksa.

"Ambilkan defribrilator suster , cepat!" Seru dokter Edo. Seorang perawat yang berdiri di sampingnya segera berlari keluar dan kembali dengan membawa defribrilator atau alat kejut jantung. Satu kali, dua kali..... tiba-tiba tuuuuuuuuut. Monitor menunjukkan garis lurus. Dokter Edo menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Oscar langsung menghambur, "Tidaak ... tolong kakek saya dokter dia tidak apa-apa kan Dok?!" Seru Oscar berpura-pura panik.

Dokter Edo menepuk pundakku. "Maafkan kami, kami sudah berusaha tapi, Tuhan rupanya punya kehendak yang lain. Maafkan kami," ujar dokter Edo. Oscar menangis tersedu-sedu sambil memeluk Surya Wijaya. Ah, di hadapan orang-orang ini Oscar tentu harus pura- pura bersedih. Oscar merasa tubuhnya ditarik perlahan.

"Mas, sudahlah. Sekarang yang penting mas harus menghubungi orang tua mas." Kata Adinda. Oscar merogoh sakunya dan menyerahkan ponsel kepada Adinda. "Tolong suster saja yang menelepon. Aku tidak sanggup mengabarkan kabar duka ini." Oscar berkata sambil mengusap air matanya.

Suster Adinda mengangguk. Oscar memberi tahu yang mana nomor ponsel Frans supaya ia bisa menelepon. Dan setelah beberapa saat bicara di telepon, ia mengembalikan ponsel pemuda itu.

"Orang tua mas akan segera datang. Mas sebaiknya duduk dulu. Saya ambilkan air ya," kata Adinda sambil membimbing pemuda itu untuk duduk di sofa. Oscar hanya menurut.

Dalam hati Oscar tertawa keras. Ia merasa puas sekali. Satu orang telah berhasil ia lenyapkan.