Pagi itu Leo sengaja mampir ke Rumah Sakit Jiwa tempat Oscar di rawat. Sudah 2 minggu ini hari dia di masukkan ke rumah sakit jiwa itu. Oscar di tempatkan di kamar khusus. Hanya di siang hari saja Oscar di izinkan bergabung dengan pasien lain, tentu saja dengan pengawasan. Dan pagi itu, Oscar sedang di suapi sarapan oleh seorang perawat. Leo mengerutkan dahinya melihat hal itu.
"Dokter, kenapa dia harus di suapi?" Tanya Oscar pada dokter Yulia.
"Oscar selalu mengamuk jika tidak di suapi. Dia menjadi seperti anak kecil yang butuh kasih sayang. Terkadang, perawat kami menemaninya sampai ia tertidur di malam hari. Beberapa hari yang lalu, ada yang menjenguknya. Seorang ibu setengah baya, katanya ibu itu adalah seorang pengurus panti asuhan. Menurutnya,Oscar kecil pernah tinggal di sana."
Leo mengangguk, "Iya betul, Oscar kecil tinggal di panti asuhan sebelum paman dan bibinya mengambil dan mengadopsinya. Entah apa yang menyebabkan dia menghabisi nyawa paman dan bibinya itu," kata Leo.
"Jiwanya sakit, itulah sebabnya dia tidak tau apa yang dia lakukan. Pernah ,suatu malam seorang perawat memergokinya sedang menangis. Ia memanggil- manggil ibunya. Setelah di dekati, ia memeluk perawat itu,lalu berkata' ibu jangan pergi lagi' dan akhirnya ia minta di temani sampai tertidur."
"Dia tidak pernah berbuat kasar?" Tanya Oscar. Dokter Yulia menggelengkan kepalanya. "Tidak, dia seperti anak kecil di sini pak Leo. Dia bermain bola bersama pasien lain dengan gembira, menontot televisi bersama. Hanya memang, untuk makan dia selalu minta di suapi. Dan, hanya mau dengan satu orang saja. Dengan suster Helena, dia tidak mau yang lain."
Oscar mengerutkan dahinya. "Lalu jika Helena tidak masuk?"
"Suster Alana yang akan menggantikan. Oscar hanya mau di rawat oleh mereka. Dia tidak mau jika perawat pria yang merawatnya. Hari pertama dia di sini kami kaget sekali. Dia mengamuk saat salah seorang perawat kami mendekatinya. Akhirnya dia terpaksa kami suntik dengan penenang. Setelah itu, ketika ia sadar, suster Helena dan suster Alana yang pertama kali dia lihat. Sejak hari itu dia hanya mau di rawat oleh mereka."
"Bisa saya bertemu dengan mereka? Suster Helena dan Alana?" Tanya Leo. Dokter Yulia mengangguk, "Bagaimana kalau kita bicara di ruangan saya saja?" ia menawarkan. Leo mengangguk setuju. Mereka pun melangkah menuju ruangan dokter Yulia, setelah sebelumya Yulia menyuruh seseorang untuk memanggil suster Helena dan suster Alana ke ruangannya.
Leo mengamati ruangan dokter Yulia. Ruangan itu begitu rapi, dan mirip toko boneka kecil. Di sudut ruangan terdapat lemari kaca berukuran sedang yang penuh dengan boneka. Ada boneka panda, minion, doraemon, spongebob dan yang lainnya. Bahkan dinding ruangan itu di hiasi dengan wallpaper bergambar Cinderella dan Snow White. Dokter Yulia tersenyum melihat dokter Leo yang nampak bingung dengan dekorasi ruangannya.
"Saya pecinta boneka dan tokoh kartun, pak. Jadi, saya meminta izin kepada kepala rumah sakit untuk mendekorasi ruangan saya seperti ini. Setiap hari saya menangani pasien yang sakit jiwa. Saya butuh yang namanya ketenangan dan kenyamanan. Dan, saya merasa nyaman dan tenang saat saya masuk ke ruangan saya seperti ini. Yang saya tangangi bukan pasien biasa loh. Saya bisa ikut- ikutan tidak waras nantinya jika saya tidak mendapatkan ruang untuk saya bisa merasa nyaman." Kata dokter Yulia menjelaskan seolah dia membaca isi pikiran Leo.
Leo tertawa kecil, "Anda masih sangat muda, dok. Kenapa memilih menjadi ahli jiwa? Kenapa tidak menjadi dokter spesialis gigi, misalnya?"
Yulia tertawa geli mendengar pertanyaan Leo, namun ekspresi wajahnya kemudian berubah sedih.
"Mama saya sakit. Ketika saya kecil, papa mengalami kebangkrutan, dan mama yang biasa hidup mewah mendadak kehilangan semuanya. Ia tidak siap dan akhirnya menjadi sakit. Papa banting tulang mencari nafkah sampai akhirnya beliau bangkit kembali. Sayang, saat beliau bangkit,mama meninggal akibat bunuh diri. Sejak saat itu, aku ingin menjadi dokter jiwa. Aku tidak ingin melihat ada pasien yang sakit jiwa berakhir dengan kematian yang tragis seperti mama."
"Maafkan saya dok, kalau pertanyaan saya mengingatkan dokter pada kejadian yang tidak menyenangkan."
"Tidak masalah kok.Ah, itu Helena dan Alana."
Leo menoleh ke arah pintu. Dua orang suster yang berwajah cantik tersenyum ke arahnya. Pintar juga Oscar, jiwanya sakit. Tapi dia masih bisa liat wanita cantik, bening putih mulus begini, rutuk Leo dalam hati.
"Dokter memanggil kami?" Tanya Helena.
"IPTU Leo ingin bicara dengan kalian, duduklah."
Helena dan Alana pun duduk.
"Kalian yang merawat Oscar?" Tanya Leo memastikan.
"Betul pak, kami yang selama dua minggu ini merawat saudara Oscar Ramon." Jawab Alana.
Alana dan Helena memiliki kulit yang putih mulus. Mereka sama-sama cantik. Sekilas jika di perhatikan wajah mereka memang hampir mirip. Mungkin itu sebabnya Oscar hanya mau di rawat oleh keduanya. Dan, Leo memperhatikan wajah Helena dan Alana hampir mirip dengan almarhum Casandra. Hmm, apakah Oscar memang merindukan sosok ibunya.
"Apakah Oscar pernah melakukan hal yang aneh selama dalam perawatan?" Tanya Leo. Helena dan Alana menggelengkan kepala, bersamaan.
"Dia tidak pernah bicara. Hanya satu kata yang sering terucap dari bibirnya, yaitu Ibu." Kata Helena.
"Dia seperti anak balita. Senang menonton kartun, bermain permainan anak- anak," timpal Alana.
"Masa kecil yang tidak bahagia. Saat ini dalam pikirannya, ia adalah anak kecil. Dan ia merindukan kasih sayang sang ibu. Beban mental yang di alami Oscar cukup berat. Di usia nya yang muda dia sudah menyaksikan pembunuhan bukan?" Kata Yulia.
Oscar menganggukkan kepalanya. Bukan hanya sekali ia mendengarkan hal ini. Tika pun pernah mengatakan hal ini. Tapi, entah mengapa dalam hati Leo masih merasa Oscar sedang berpura-pura. Tapi, ia tidak memiliki bukti yang kuat.
"Baiklah, kalau ada perkembangan apapun mengenai Oscar, tolong kabari saya dokter. Sekecil apapun informasi itu, kabari saya." Kata Leo sambil memberikan kartu namanya.
"Baik, saya akan mengabari bapak." Kata Yulia.
"Sebelum saya pergi, boleh saya menjenguknya? Apa boleh?" Tanya Leo.
"Tentu saja boleh, mari kami antar." Kata Yulia.
Oscar sedang menonton televisi saat Leo menghampirinya.
"Kau betah disini?" Tanya Leo sambil menepuk bahu Oscar. Leo berharap Oscar akan bereaksi lebih saat melihat kedatangannya. Tapi , Leo salah, Oscar hanya meliriknya sekilas, lalu ia kembali menonton televisi sambil bertepuk tangan. Persis seperti anak kecil. Leo hanya menggelengkan kepalanya. Ia pun memutuskan untuk pergi.
"Saya rasa cukup, saya akan kembali lain waktu, Dok. Selamat pagi." Kata Leo kepada Yulia.
Yulia hanya mengangguk dan tersenyum.