Pagi itu Leo sudah sampai di kantor. Wajahnya begitu lesu, semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan kasus yang sedang di tangani nya.
"Pagi, komandan," sapa seorang anggota yang sedang piket. Leo mengangguk dan langsung masuk ke ruangan nya. Ternyata Rendy sudah menunggunya di dalam sambil meminum secangkir kopi.
"Kusut sekali mukamu," kata Rendy. Leo hanya melengos kesal.
"Bajingan itu membuatku tidak bisa tidur."
"Memangnya dia tidur di rumah mu?!" Tukas Rendy.
"Iya, tapi dia tinggal di dalam pikiranku!"
Rendy tertawa terbahak-bahak. Sejak dulu Leo memang tidak pernah berubah. Jika sedang menghadapi sesuatu maka dia akan terus memikirkan hal itu terus menerus sampai bisa mendapatkan jalan keluar.
"Kopi? Nampaknya kau lebih butuh kopi itu daripada aku. Minumlah dulu, aku baru meminumnya sedikit." Kata Rendy sambil menyodorkan cangkir berisi kopi hitam miliknya.
Tanpa basa basi lagi, Leo meraih cangkir kopi itu dan meminumnya hingga habis dalam sekali teguk.
"Astaga, kau haus? Ckckckck, benar- benar," gerutu Rendy. Leo hanya tertawa terbahak-bahak.
"Psikiater akan datang sebelum jam makan siang. Dia akan memeriksa kejiwaan bajingan tengik itu."
"Siapa namanya? Wanita?"
"Cantik, masih muda, tapi soal pengalaman jangan di ragukan. Namanya Afrialentika Kusuma." Kata Rendy sambil cengengesan.
"Lalu , kalau dia cantik?"
Rendy menepuk dahinya. "Aku curiga, kau masih normal kan sebagai lelaki? Burungmu masih bisa berdiri jika melihat wanita cantik? Atau jangan-jangan berdiri kalau melihat pria tampan?"
"Bangsat...! Memangnya aku seperti kau? Tidak bisa liat jidat licin langsung kau tawari untuk mengantarkan pulang." Maki Leo. Rendy tertawa terbahak-bahak.
"Sudah kodratnya kaum Adam itu, bro. Tapi, kau tenang saja, kalau masalah hati, seluruh hatiku sudah aku persembahkan untuk Lucia terkasih."
"Hah, jangan harap kau bisa mendapatkan restu ku jika masih saja seperti itu tingkahmu. Dasar playboy cap duren tiga."
Rendy kembali tertawa terbahak-bahak. Ia memang paling hobby menggoda Leo seperti itu. Sejak dulu, Leo terkenal dingin pada wanita. Sampai kini belum ada wanita yang sanggup membuat jantungnya berdegup kencang. Sementara wanita yang melihatnya sudah pasti terpesona dengan ketampanan nya. Leo memang gagah dan tampan. Tubuhnya berbentuk karena ia rajin berolahraga. Lirikan matanya mampu membuat wanita- wanita jatuh cinta. Tapi, sayang sikapnya selalu dingin. Terkecuali pada adik semata wayangnya.
Leo hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Rendy.
Tok tok tok
"Pagi komandan..."
Leo dan Rendy serempak menoleh. Ternyata Bripka Rachel sudah berdiri di depan pintu. Tentu saja Leo mengerutkan dahinya.
"Bu Renata kan memberimu cuti seminggu. Kenapa kamu malah bekerja?"
Rachel menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Saya nggak betah di rumah, dan. Malah kebayang- bayang mayat yang kemarin. Makin nggak bisa tidur."
"Haduh, Polisi macam apa kamu ini. Sama mayat kok takut,"ledek Rendy.
"Mayat kemarin kan pengecualian komandan." Elak Rachel.
"Mayat ya mayat. Bedanya apa?"
"Mayat biasa kan nggak begitu bentukan nya,komandan."
"Haaah, sudah, kalian ini malah berdebat soal mayat. Lebih baik kamu bantu aku mengatur jadwal pertemuan antara Oscar dan Ramon," kata Leo. Rachel mengerutkan dahinya. Oscar dan Ramon? Bukankah nama Oscar itu adalah Oscar Ramon?
Seolah mengerti kebingungan di wajah Rachel, Leo mengeluarkan berkas berisi kasus Ramon Tanoto dan memberikan nya pada Rachel.
"Pelajari berkas itu, maka kau akan mengerti Ramon mana yang aku maksud." Kata Leo.
Tanpa banyak bertanya Rachel pun langsung menyambar berkas yang di berikan Leo, setelah memberi hormat ia pun langsung melangkah keluar ruangan.
Rendy menepuk bahu Leo perlahan. "Dia cantik."
"Siapa?"
"Rachel..."
"Bocah tengik, dia itu rekan kerja kita. Kau sudah tidak waras?!"
"Selamat pagi, maaf siapa di antara anda yang bernama IPTU Leo?"
Sekali lagi, Rendy dan Leo menoleh bersamaan ke arah pintu masuk. Dan,untuk sesaat Leo merasa takjub dengan pemandangan di hadapannya. Seorang wanita cantik dengan mengenakan setelan blazer berwarna coklat berdiri di depan pintu. Rambutnya panjang terurai, matanya begitu teduh, bibirnya di poles lipstik berwarna pink. Terlihat begitu kontras dengan kulitnya yang putih.
"Maaf, saya Leo. Anda siapa ya?"
"Aaah, ini pasti Afrialentika Kusuma? Kita bicara di telepon kemarin. Saya IPTU Rendy." Rendy langsung menyambut dan menyalami Afrialentika.
"Panggil saya Tika saja, Pak."
Leo mengusap wajahnya, baru kali ini ia merasa berdebar melihat wanita cantik. Namun, ia dengan cepat dapat langsung menguasai diri.
"Ini berkas mengenai saudara Oscar. Silahkan ibu pelajari dulu datanya." Leo menyerahkan map berisi data- data Oscar.
Tika meraih berkas- berkas itu lalu ia mulai membuka dan membacanya.
Leo memperhatikan air muka Tika yang begitu serius membaca. Sesekali dahi wanita cantik itu berkerut. Lalu ia mengangguk- anggukkan kepalanya . Leo menikmati pemandangan langka di hadapan nya itu.
"Saya harus bertemu dengan Oscar. Bisa siapkan saya ruangan?"
"Bisa menunggu 30 menit?" Jawab Leo. Tika mengangguk. Namun,baru saja Leo hendak beranjak pergi, Rendy mencegahnya.
"Biar aku saja, kau di sini saja menemani Tika," kata Rendy. Leo hanya mengendikkan bahu, lalu ia pun duduk kembali.
Suasana terasa sedikit canggung. Tika dan Leo masing-masing sibuk dengan ponselnya.
"Pak..."
"Bu..."
Leo dan Tika pun tertawa kecil.
"Silahkan, ladies first," kata Leo.
"Menurut data yang saya baca, korban adalah orang tua angkat tersangka?"
"Begitulah, menurut beberapa kesaksian almarhum Frans dan Marini sangat menyayangi Oscar. Bahkan, segala kebutuhan Oscar selalu mereka penuhi. Itulah sebabnya, tidak ada yang menyangka bahwa Oscar sanggup menjadi seorang pembunuh berdarah dingin yang bahkan sanggup memutilasi tubuh ayah angkatnya itu."
"Kasus yang cukup menarik, pak."
"Sejauh ini, Oscar tidak pernah mau buka mulut. Setiap kali kami interogasi, dia hanya tertawa terbahak-bahak. Dan membalikkan setiap perkataan kami. Tapi, kemarin saat saya menyebutkan nama ayah kandungnya, mendadak dia langsung berapi-api. Saya melihat sepertinya ada dendam yang terpendam di hati Oscar terhadap ayah kandungnya." Kata Leo.
Tika menghela napas panjang. "Jika melihat dari data- datanya kemungkinan besar begitu, pak. Sejak kecil, Oscar sudah sering melihat sang ayah menyiksa ibu nya. Bahkan, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sang ibu menemui ajal di tangan sang ayah. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh sekali pada perkembangan psikologi nya."
"Apakah trauma masa kecil itu memiliki pengaruh yang besar sampai dewasa?"
"Tentu saja, pak. Apalagi jika Oscar melihat kekerasan itu sejak balita. Seperti yang kita tau, usia di bawah 7 tahun adalah masa golden age. Masa- masa itu seharusnya di isi dengan hal- hal yang baik dan menyenangkan. Sehingga akan membuat anak tumbuh sehat dan bahagia." Kata Tika.