Chereads / Falcon ( Legendary Land) Bahasa Indonesia / Chapter 15 - Kelompok Pemberontak

Chapter 15 - Kelompok Pemberontak

"Aku tidak mau jadi pancingan lagi!" Suwa mendengus kesal. Melengos memunggungi Ludra yang tengah memberi makan Zie.

Suwa bersumpah tidak akan mau melakukan tindakan gila seperti yang terjadi sebelumnya. Menantang maut demi perintah sang majikan. Ya dewa, ia tidak akan melakukannya lagi.

Memancing beberapa makhluk membuat ia nyaris terkena serangan jantung. Jika terus menerus terjadi, bisa-bisa dirinya akan mati muda.

Bayangan wujud makhluk - makhluk yang mengejarnya kemarin masih tercetak jelas dalam ingatan. Astaga.... Mereka sangat mengerikan. Makhluk - makhluk tersebut memiliki bentuk dan rupa aneh yang tentu saja membuat bulu kuduk merinding. Tidak seperti siluman rubah yang menangkapnya waktu itu yang masih segar dipandang mata.

Suwa bahkan tak bisa tidur dan makan, teringat betapa sangar wajah siluman maupun monster kemarin.

Ada yang bentuknya menyerupai babi namun berjalan dengan dua kaki memanggul palu besar sebagai senjata. Ada monster mengerikan bertubuh kekar, besar dengan gigi taring mencuat mengeluarkan lendir menjijikkan di sekitar mulutnya hampir mirip seperti werewolf. Ada pula yang menyerupai pohon namun ternyata merupakan monster mengerikan dengan tatapan angkara murka yang berhasil melukai kaki kiri Suwa dengan rantingnya sebelum sang Falcon datang tepat waktu dan bertarung hebat dengan makhluk tersebut.

Peristiwa kemarin benar - benar membuat perempuan itu trauma.

"Aku tidak mau melakukannya lagi." Suwa masih terus menggerutu. Namun sang Falcon terlihat acuh. Masih sibuk memberi sejumput daging untuk Zie.

"Lalu?"

Pertanyaan singkat Falcon terakhir membuat Suwa terperangah. Astaga makhluk ini benar-benar sialan.

"Aku tak mau jadi tameng lagi. Aku hampir mati jantungan kemarin." Kali ini Suwa kembali membalikkan badan menatap kesal sosok bermata sejernih kristal itu.

"Oww." Setelah memberi makan Zie, Ludra kembali menerbangkan elang yang sedari tadi bertengger di sikunya. "Lalu kau mau apa?"

"Pekerjaan lain. Hmmm, maksudku aku tidak mau berurusan dengan makhluk - makhluk aneh seperti kemarin."

Ludra terdiam. Menunggu Suwa menyelesaikan acara protesnya.

"Tenang, aku tetap akan membantu memulihkan kekuatanmu tuan. Dengan merekomendasikan beberapa orang yang pantas mati."

"Terakhir melakukannya kau malah pingsan."

"I... Itu karena baru pertama kali. Setelah dipikir - pikir aku sangat senang, mereka pantas mendapatkannya."

"Hmm." Ludra mengangguk-angguk mengerti, "Lalu siapa yang akan kau rekomendasikan lagi?"

"Tempat perdagangan wanita." Jawab Suwa mantab. Tersenyum miring ia mengimbuhkan, "Di negeri ini pasti sangat banyak. Dan aku ingin kau menghancurkan semuanya."

Karena, dia begitu benci. Teramat benci atas perlakuan manusia-manusia biadab, manusia - manusia tak bermoral, manusia - manusia yang justru pantas disebut iblis.

Suwa masih mengingat kilasan - kilasan masa lalu yang begitu ingin ia kubur. Namun tetap saja, peristiwa tersebut masih terlintas di dalam memorinya.

"SUUU WAAA."

Seruan itu terus menerus menggema. Membuat gadis delapan tahun tersebut meringkuk dengan tubuh gemetar. Bersembunyi di bawah meja berharap tidak ditemukan.

"BAA..."

Suwa terperanjat kaget. Sosok pria berkumis tersenyum setan melongok kolong meja.

"Dasar gadis kecil." Pria tersebut mencengkeram punggung mungil Suwa. "Ayo! mereka sudah menunggu."

Suwa meronta, menjerit, menangis meraung namun apa daya dirinya hanya bocah berusia delapan tahun yang tak bisa apa - apa. Dengan tubuh gemetar ia mematung. Meremat ujung pakaian indahnya, beberapa pria dewasa mengelilinginya. Mata mereka menatap lapar. Beberapa bahkan menyeringai sadis.

Ya, di usia semuda itu, Suwa beserta gadis-gadis tak berdaya lain akan dijadikan barang untuk dilelang. Dan Suwa tidak akan pernah melupakan senyuman serta tatapan bejat para manusia - manusia tersebut.

****

"Huba kemari!"

Sosok yang dipanggil tersenyum lebar memperlihatkan dua gigi taring sekecil duri. Monster kecil tersebut berlari hingga pipi gembul serta perut buncitnya bergoyang.

Aira memeluk Huba lalu menggendongnya. Monster kecil tersebut tertawa geli saat Aira menggelitik perut empuk sang monster. Lalu tawa mereka terhenti saat Aira mendapati sosok pria beriris merah keluar dari kamar.

"Ada apa?" Langkah Heise terhenti. Menutup pintu dengan kekuatan tanpa menyentuh gagang pintu.

Tumben sekali tahanannya ini memasuki biliknya. Aira tidak akan pernah menginjak tempat ini jika tak ada maksud apapun.

"Hmm..." Sejenak Aira menurunkan Huba. Setengah ragu dia berkata, "Tuan akan pergi ke dunia manusia kan?"

"Ya." Sebelum Aira berucap, dengan tegas Heise mengimbuhkan, "Jika kau berpikir ingin kembali ke dunia manusia, lebih baik simpan impianmu. Karena itu tak akan pernah terjadi."

"Tapi tuan, aku merindukan orangtuaku. Setidaknya aku ingin melihat keadaan mereka."

Heise tersenyum mencemooh, "Kau bodoh atau apa, Heh? Mereka yang menjadikanmu persembahan dan kau ingin menemuinya." Heise menggeleng miris, "Kau- Aira sudah dianggap mati oleh semua orang. Tidak ada yang peduli denganmu lagi. Sekarang kau sudah menjadi milikku."

Mata Aira berkaca-kaca. Pernyataan Heise begitu mencubit hatinya. "Tapi aku belum mati."

"Bagi mereka kau sudah mati."

"Lalu kenapa anda tidak membuat saya mati saja seperti gadis-gadis persembahan lain? Kenapa anda malah mengurung saya, melecehkan saya? Lebih baik bunuh saya!"

Seketika rahang Heise mengeras. Dengan gerakan cepat ia menerjang Aira. Membuat gadis itu terpental di tembok. Heise mencengkeram leher Aira membuatnya meringis sesak.

Manik merah Heise menyala. Menelusuri wajah lembut Aira yang tengah membiru. Perlahan ia melepas cengkeramannya. "Lebih baik aku bersenang-senang dulu denganmu." Kembali. Kali ini Heise mencium bibir Aira kasar. Gadis bersurai kelam itu hanya bisa pasrah. Tersengal, ia mungkin akan kehabisan nafas akibat ciuman brutal sang naga merah.

Sementara tak jauh di sana, rubah cantik ekor sembilan menatap marah. Iris emasnya berkilat menahan emosi. Dia begitu benci. Manusia penggoda itu harus dimusnahkan.

"Ya.. Kau akan mati Aira. Di tanganku."

****

Segerombolan makhluk terbang lalu mendarat ke bagian hutan dunia manusia. Moncong siluman anjing bergerak-gerak mengendus adanya makhluk yang mati. Seorang pria turun dari macan putih terbang yang ia tunggangi. Ia berjalan menyisiri hutan tersebut. Jemarinya bergerak menyentuh debu abu-abu yang melekat pada dedaunan.

Pria tinggi kekar seperti binaragawan dengan wajah tegas itu mencium debu lalu sedikit menjilatnya. Sedetik kemudian senyum tersungging.

"Baru ada pertempuran hebat rupanya."

"Ya, dan ini pasti ulah sang Falcon." Kao, pemimpin klan Urocyon melirik jejak berupa kepingan es yang mencuat di dada sebatang pohon yang mati dan mengering. Pohon itu tidak lain adalah monster.

"Lalu di mana dia?"

"Masih di sekitar sini, atau mungkin sudah pergi." Jawab Kao. "Sekarang lebih baik kita pergi ke tempatku. Anak buah sang kegelapan sebentar lagi pasti juga akan datang ke sini."

Pria penunggang macan bersayap tersebut mengangguk. "Dan kita harus menemukan Falcon terakhir sebelum mereka."

Ya. Gerombolan ini merupakan para pejuang Legendary Land. Kelompok yang disebut pemberontak kekuasaan sang kegelapan. Selama ribuan tahun, mereka berusaha mengalahkan Dosta namun tak kunjung berhasil. Dan saat mendengar kemunculan makhluk penghuni istana es, mereka seketika menyusun rencana untuk melakukan kerjasama dengan sang falcon. Membantu keturunan dewa perang tersebut untuk melawan sang kegelapan.

Mereka turun di hutan ini atas petunjuk Kao yang melihat keberadaan Falcon. Dipimpin 'Jaozi' si penunggang macan putih. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama mengendus jejak Falcon sementara kelompok ke dua mencari sang penyihir langka yaitu Momoru. Penyihir yang selalu berkamuflase dengan mengubah-ubah wajahnya. Penyihir putih atau biasa disebut si seribu wajah.

"Aku sangat takjub, kelompok pemberontak mencari ku."

Suara itu seketika membuat beberapa makhluk menoleh. Kao serta Jaozi menyimpitkan mata. Menelaah siapa pria yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke arah mereka.

"Dia Momoru." Suara lain terdengar. Seorang wanita dengan mata kiri tertutup layaknya bajak laut meloncat ke hadapan Jaozi.

"Daia." Celetuk mereka.

Wanita yang disebut tersenyum. "Dengan susah payah aku menemukan dan membujuknya untuk membantu kita."

"Hahaha." Penyihir putih tertawa lebar. Perlahan tawanya terhenti, berubah menjadi nada sinis, "Sudah ku bilang suatu saat kalian akan mencariku. Dulu kalian tidak percaya perkataanku kan."

Jaozi, Kao serta beberapa kelompok lain hanya mendengus. Ya, tidak bisa dipungkiri ratusan bahkan ribuan tahun lamanya saat penyihir putih berkata bahwa makhluk bernama Falcon itu memang benar-benar nyata. Mereka semua tidak percaya lalu menganggap bahwa sang prnyihir hanya membual.

Sebenarnya, bukannya mereka tak percaya. Hanya saja, mereka terlalu jengah dan bosan mendengar cerita mengenai makhulk mitologi yang bernama Falcon di dunia Legendaris. Makhluk yang bahkan ratusan ribu tahun tak pernah muncul. Jejak maupun puing-puing peninggalan sang Falcon pun juga tak pernah ditemukan. Hingga masyarakat legendaris putus asa. Dan menganggap bahwa cerita mengenai Falcon hanyalah mitos serta dongeng belaka.

"Ayolah, kami benar-benar minta maaf." Daia menghela nafas. Berbagai cara ia lakukan agar Momoru bersedia bergabung dengan kelompoknya. Bahkan Daia rela meminum racun tertawa yang membuatnya berkelakuan seperti orang gila atas perintah si penyihir.

"Oke. Oke. Aku ini penyihir baik hati." Momoru tersenyum lebar. Membuat Jaozi serta Kao memutar bola mata jengah.

"Aku tidak suka basa-basi." Jaozi menatap tajam Momoru, "Bantu kami menemukan Falcon segera!"

Momoru menelengkan kepala. Menggaruk-garuk rambut berpikir, "Rrrr.... Tuan Ludra saat ini pasti semakin sulit ditemukan." Lalu senyumnya mengembang, "Tapi aku masih tahu dia di mana."

Demi Dewa!!!  Sungguh, aku ingin memotong kepala penyihir ini.

Jangan lakukan itu Jaozi.

Kao melirik Jaozi yang sudah memasang wajah tidak sabar. Mereka tadi bicara lewat telepati.

Balas tersenyum, pemimpin klan Urocyon itu mendekati Momoru. "Lalu, di mana sang Falcon berada saat ini?"

"Sebenarnya tidak terlalu penting mencari Falcon."

Jawaban Momoru membuat semua kalayak mengernyit. "Maksudmu?"

"Yang perlu kalian lakukan adalah melindungi gadis pemanggil Falcon."

"Kenapa kami harus melakukan itu?"

"Hahaha.... Ternyata kalian minim infomasi." Momoru berpangku tangan. Dengan seringaian menyebalkan dia berkata, "Apakah kalian tahu mengapa pemanggil Falcon adalah manusia?"

"Karena pemegang sisi gelap dan putih adalah makhluk yang disebut manusia." Jawab Daia.

Penyihir putih mengangguk. "Tidak salah dan tidak betul." Ia kembali bertanya, "Apakah kalian tahu mengapa siapapun yang memanggil Falcon harus menjadi pelayannya seumur hidup?"

"Karena dia harus menemani perjalanan Falcon dan membantu apapun segala kebutuhan sang Falcon. Termasuk harus menjadi tumbal sekalipun." Kali ini Kao yang menjawab.

"Hmm... Betul." Penyihir putih bertampang menyebalkan yang terkadang membuat orang jengkel karena sikapnya cenderung berbelit-belit itu berdehem sebelum mengungkapkan pertanyaan terakhir.

"Apakah kalian tahu bahwa pemanggil sang Falcon hanyalah seorang wanita?"

Jaozi habis kesabaran. Menahan nafas seketika ia meluapkan emosi. "TIDAK. JAWABLAH SENDIRI PERTANYAANMU."

Momoru hanya tersenyum. Menyembunyikan jawabannya dalam hati.

"Karena dia..... ditakdirkan untuk melahirkan keturunan-keturunan Falcon selanjutnya."

****

NB : Terjawab sudah mengenai tugas Suwa yang sebenarnya. Hahaha.

Jangan lupa votement. Kalau banyak bakal cepat update.