Seekor burung berwarna hitam legam dengan suara berkaok parau namun memekakan telinga mendarat di pertengahan hutan.
Seiring kakinya menapakkan tanah, gagak tersebut merentangkan sayap dan mengibas - ngibaskan dengan gaya anggun kemudian menjelma menjadi perempuan rupawan berpakaian hitam nan seksi dengan banyak belahan di sepanjang kaki sampai paha. Senyumnya mengembang, "Aku menang, Yazzi."
"Karena aku mengalah." Pria berkulit pucat dengan netra sewarna zamrud berlebel penyihir muncul secara ajaib di belakang siluman gagak.
"Salahmu." Meilan mengibaskan rambut, kaki jenjangnya melangkah dengan pinggul bergerak - gerak bak model, "Dan aku tidak akan bercinta denganmu."
Yazzi tersenyum, "Aku sudah pernah merasakannya."
"Dan kau ingin selalu merasakannya."
Tertawa, Yazzi melangkah santai mengikuti wanita gagak itu. "Berapa makhluk yang sudah kau goda?"
"Banyak." Meilan menjawab enteng, "Itu kegiatan menarik. Aku bahkan berniat mencuri serbuk perayu si rubah untuk kepuasanku."
"Dasar sundal."
"Hahaha terimakasih pujiannya." Meilan terkekeh dengan punggung tangan menutupi mulutnya. Dia selalu riang, ramah, optimis dan juga menggoda. Dengan gayanya yang centil nan menyenangkan membuat siapapun makhluk akan menyukainya.
"Tapi aku merasa bosan." Meilan menghela nafas, "Belum ada yang membuatku terpuaskan."
"Coba saja dengan Orpha."
"Hahaha ide bagus." Meilan berhenti sejenak, "Tapi aku selalu ingin bercinta dengan taunku Sang Kegelapan."
Dan Yazzi tidak berkomentar, hanya bisa tertawa lebar sambil terus melangkah memperhatikan keadaan hutan sekitar.
"Ayo cari Falcon! Kelompok pemberontak pikir kita belum mengunjungi daerah ini." Ujar Yazzi dengan senyum remeh di sudut bibirnya.
Ya, anak buah sang kegelapan lebih dulu mengendus jejak Falcon. Pertarungan Ludra dengan beberapa siluman dan monster di sini telah mereka ketahui sebelum kelompok pemberontak datang.
Sengaja. Yazzi dan Meilan bersembunyi di balik rerimbunan dengan menggunakan serbuk kamuflase yang diberikan Sang Kegelapan sehingga siapapun tak dapat melihat maupun mencium keberadaan mereka. Namun serbuk tersebut hanya bisa bertahan beberapa menit. Yazzi dan Meilan pun segera pergi sebelum sempat melihat penyihir Momoru datang di antara kelompok pemberontak.
****
Ketika mereka menemukan tanda - tanda sang Falcon, makhluk itu sudah tak berada di hutan tersebut. Ia sudah berada di tempat lain bersama pelayannya, gadis pemanggil Falcon menuju tempat yang mereka rencanakan.
Menelusuri satu desa ke desa lain untuk meratakan perdagangan manusia, namun sesungguhnya bukan hanya itu yang membuat Ludra melaksanakan niatnya. Ia bisa menebak bahwa keberadaannya telah tercium. Dengan berpindah - pindah tempat, setidaknya sang kegelapan tidak dapat menemukannya dengan cepat. Tidak, lebih tepatnya dia tak ingin Dosta menemukan pemanggilnya.
Ludra melirik Suwa. Ekspresinya terlalu datar hingga siapapun tak bisa menebak apa yang dipikirkan pria itu sekarang.
"Aku lelah." Suwa menghela nafas. Berdiri dengan tidak semangat. "Bisakah kita beristirahat sejenak?"
Ludra melihat sebuah pemukiman tak jauh dari tempat mereka berada. Terdapat sebuah bangunan besar, sangat mencolok dibanding beberapa rumah lain.
"Pergilah ke penginapan! Kau bisa istirahat di sana."
Mata Suwa melebar, "Benarkah?"
Ludra mengangguk.
"Yeah.." Tersenyum gembira, Suwa berlari ke arah penginapan. Wajahnya berbinar-binar. Dia sangat senang. Tentu saja. Sudah beberapa lama ia tak merasakan hangatnya berada di dalam ruangan. Tidur tanpa harus khawatir angin akan mengusiknya.
Apalagi ketika membayangkan kasur empuk yang menjadi alas nanti pasti akan membuat tidurnya nyenyak. Sejenak dia berpikir, ingin membawa Zie untuk menyelimutinya dengan bulu-bulu halus milik elang putih tersebut. Ohh... Pasti sangat nyaman.
Suwa juga terlalu lelah. Ingin makan banyak. Perjalanan demi perjalanan membuatnya lapar dan lemas. Tapi.... Tunggu!
Mendadak langkahnya terhenti saat menyadari sesuatu.
Bagaimana dia akan membayar penginapan?
"Tenang saja." Ludra berseru seakan tahu apa yang dipikirkan Suwa. Perlahan ia membalikkan telapak tangan, secara ajaib beberapa koin emas muncul dalam genggaman Ludra.
"Wuaa.. kau bisa menciptakan uang?" Suwa ternganga. Makhluk ini benar-benar sakti.
"Sebagaian besar makhluk legendaris bisa menciptakan barang manusia dari berbagai hal. Termasuk uang. Tapi bukan asli. Ini hanya ilusi. Setelah beberapa waktu koin ini akan hilang."
Ohh... Menakjubkan. Pikir Suwa. Dia pernah mendengar cerita mistis terkait uang yang tiba-tiba berubah jadi daun. Saat itu, dirinya masih bekerja di rumah bangsawan Haye. Mendengar gosip bahwa tetangga pemilik toko kain mendapat pembeli dalam jumlah besar. Semua kain motif terbaik diborong oleh seorang perempuan lalu membayarnya dengan sekotak emas batangan tetapi keesokan hari saat diperiksa, emas tersebut menghilang lalu berubah menjadi dedaunan tidak berguna yang tentu saja membuat orang menangis darah karena rugi.
Ia pikir, itu hanya bualan. Namun sekarang sepertinya Suwa harus mempercayai hal-hal tak kasat mata lain yang terjadi di dunia ini.
Menerima koin emas yang diberikan Ludra, gadis itu hendak beranjak. Sebelum....
Terperangah lagi saat secara mencengangkan Ludra menghilangkan tubuh agar tak ada manusia yang melihat. Kali ini Suwa sudah tak bisa berkata. Hanya melongo, kaget, kagum jadi satu.
Satu lagi kekuatan yang dimiliki Ludra. Dan mungkin akan banyak kekuatan tak terduga lain yang akan muncul jika sang Falcon terakhir berhasil menuai nyawa.
Ya Ampun ini sungguh~ luar biasa.
Dan juga~ bahaya. Bahaya bagi dirinya. Kesempatan kabur tidak akan pernah ada.
Suwa hanya bisa membatin. Mendadak muram. Ia lantas melangkah menuju penginapan.
****
Meski manusia lain tak melihat. Suwa masih bisa menangkap Ludra yang tampak transparan di matanya. Ludra seperti air jernih yang membentuk sosok pria tinggi tegap berdiri tak jauh darinya.
Menyerahkan koin emas yang cukup untuk menginap dan juga makan. Suwa tersenyum, mengucap terimakasih kepada nenek pemilik penginapan lalu segera meraih kunci kamar. Ia ingin mandi, makan kemudian tidur. Ohh... Membayangkannya saja sudah membuatnya bahagia.
Setelah sampai kamar. Suwa melakukan apa yang telah ia rencanakan. Dirinya merasa segar. Saat mendengar ketukan di luar pintu, senyumnya mengembang.
"Pesanan anda nona." Seorang bocah laki-laki sekitar sepuluh tahunan menyodorkan nampan yang berisi makanan serta beberapa buah-buahan pencuci mulut. Lalu meletakkannya di meja ruangan kamar tersebut.
"Terimakasih."
"Semoga menikmati, nona."
"Tentu saja." Dengan tidak sabar Suwa ingin melahap segera makanan yang tersaji di depan, nampak lezat. Namun dirinya mengernyit saat bocah gemuk tersebut tak kunjung pergi.
"Hmm... Aku tak butuh apa-apa lagi." ucapnya pada bocah tersebut yang masih diam. Seakan menunggu.
Suwa benar-benar tidak paham. Sampai bocah tersebut memutar bola mata kemudian berkata, "Tidakkah nona akan memberiku uang tambahan?"
Suwa mengerjap, "Ohh" ia hendak mengambil koin yang masih tersisa di dalam saku bajunya. Namun gerakannya terhenti saat menyadari sesuatu.
Uang yang Ludra berikan adalah palsu. Dan ia tidak tega memberikan sesuatu yang tidak nyata pada bocah yang pasti bekerja keras seperti dia.
Dengan penuh penyesalan Suwa berkata. "Maaf aku tak memiliki koin lagi."
Bocah laki-laki tersebut hanya mendengus. Wajahnya nampak muram dan kecewa. Kemudian ia melangkah keluar.
"Hei... Siapa namamu?"
"Diyang."
"Hmmm.... Maafkan kakak." Suwa benar-benar tak tega. "Besok kakak akan memberikanmu koin."
Wajah tertunduk lesu itu seketika mendongak, "Benarkah?"
"Ya. Besok kembalilah!"
Bocah gemuk tersebut mengangguk antusias sebelum benar-benar pergi.
Suwa menghela nafas. Ekspresi bocah tadi mengingatkan pada dirinya ketika kanak-kanak. Saat Suwa juga harus bekerja keras demi sesuap nasi. Berbagai carapun dilakukan, termasuk mengemis sekalipun.
Sesungguhnya ia tak tahu bagaimana cara mendapatkan uang asli untuk ia berikan pada Diyang. Tapi itu ia pikirkan nanti. Saatnya mengisi perut dulu.
Seketika Suwa meraup makanan yang ada di meja. Melahapnya rakus, sampai perutnya penuh sesak.
Dan tanpa Suwa sadari. Ludra sudah duduk di depannya. Memperhatikannya sedari tadi.
'Uhuk.' Suwa tersedak akibat makan terburu-buru. Secara cekatan, Ludra meraih gelas air lalu memberikannya kepada Suwa.
"Terimaka~." Suwa berjingkat kaget. Pasalnya Ludra kembali menampakkan diri secara tiba-tiba. "Astaga! Kau membuatku terkejut." ucap Suwa kemudian segera menegak air sampai tandas.
"Tidak bisakah kau makan dengan baik?"
"Aku kelaparan." Sahut Suwa dengan sadis. Sepertinya makhluk ini berusaha menghinanya. Hanya saja nada bicara Ludra diucapkan dengan sopan.
Ludra hanya terdiam, menaikkan sebelah alis lantas berbalik menatap keluar jendela. "Siluman." Gumamnya lirih.
Dia merasakan kehadiran siluman yang cukup banyak.
****