Malam hari, tempat semakin ramai. Pengunjung berdatangan dari berbagai kalangan. Perempuan-perempuan cantik dengan pakaian menggoda meliuk-liukkan tubuh. Menjerat laki-laki hidung belang untuk dikuras kantongnya.
Dan yang berada di tempat ini tidak hanya manusia. Perempuan-perempuan penggoda dengan paras jelita, tubuh indah, kaki jenjang sebagian adalah siluman.
Ludra duduk berjongkok di sela-sela atap. Mengawasi, mengantisipasi kemungkinan yang terjadi. Meski saat ini dirinya menghilangkan tubuh. Namun ia tetap harus berhati-hati. Banyak makhluk lain berkeliaran di tempat ini. Dan tidak menutup kemungkinan di antara mereka dapat merasakan maupun melihat kehadirannya. Kekuatannya belum stabil. Ludra bisa mencium adanya makhluk berkekuatan tinggi.
Suara teriakan, jerit tangis terdengar di salah satu ruangan. Pintu ruangan tersebut terbuka kasar. Beberapa wanita berhambur keluar. Ingin melarikan diri dari aksi perdagangan wanita. Namun apa daya penjaga rumah merah bergerak menangkap. Mereka tak segan menjabak, memukul maupun mencambuk wanita yang berusaha kabur.
Jeritan tangis memekakkan telinga. Tidak ada yang membantu. Pengunjung malah menatap puas. Bahagia dengan apa yang mereka lihat. Salah satu perempuan menggigit tangan penjaga, membuatnya mendapat tamparan. Penjaga itu mendesis marah, lalu dengan tidak berperasaan merobek pakaian gadis iitu di depan umum.
Tidak bisa dibiarkan.
'CRASSHHH'
Dalam hitungan detik, tubuh penjaga berseragam merah terbelah dua. Semua mata melebar. Kali ini jeritan semua orang terdengar.
Siapa yang melakukan ini?
Beberapa siluman yang menyamar menjadi manusia sontak memasang kuda-kuda. Mendelik waspada. Mencari sosok yang melakukan hal ini.
Dan salah satu siluman wanita yang cukup berilmu menangkap sebuah sosok berjongkok di atap dengan iris perak berkilat.
Siluman wanita itu mendesis. Menjulurkan lidah ular. Ia menampilkan wujud asli. Kulitnya berubah bersisik, matanya gelap. Lalu dengan sekali sentakan menyerang Ludra lewat selendang yang ia kibaskan. Tentu saja semua orang syok. Bergetar takut bahkan banyak yang melarikan diri meninggalkan tempat.
Atap itu hancur seketika akibat terjangan selendang wanita ular. Ludra berhasil menghindar. Melesat cepat, ia mengeluarkan senjatanya lalu membalas serangan siluman tersebut.
Dan.....
'CRASHHHH'
Wanita ular itu jatuh tersungkur dengan Ludra menusuk dada siluman tersebut dengan pedang esnya. Dan bersaamaan itu, Ludra menampakkan wujudnya. Membuat semua mata terbelalak antara takjub dan ngeri.
Makhluk apa ini?
Ludra mencabut pedangnya. Iris peraknya menatap para siluman dan prajurit merah tajam. Membuat mereka beringsut menjauh.
Jelas bukan lawan mereka.
"Selamat datang sang Falcon terakhir."
Sebuah suara sengau terdengar. Sosok pria bertubuh jangkung dengan topeng tanpa wajah tiba-tiba muncul.
Aung. Salah satu anak buah sang kegelapan.
Aung seketika menarik pedang lantas menyerang Ludra. Gerakannya cepat. Secepat lesatan Ludra. Bergerak gesit bagai ninja, mengayungkan pedang bagai samurai. Ludra hampir terkena ujung pedangnya. Beruntung Ludra berhasil menghindar.
Inilah dia. Makhluk berkekuatan tinggi yang Ludra rasakan.
****
Suwa menatap cemas. Banyak orang berhambur keluar. Berteriak panik dan histeris. Namun Ludra tak kunjung kembali.
Didorong oleh rasa kemanusiaannya. Ia berlari ke rumah merah.
Suwa bertanya di tengah orang yang berhamburan. Dan dia menangkap wajah wanita yang tak asing.
Kakak Diyang.
"Apa yang terjadi?"
Kakak Diyang menggeleng. Tubuhnya bergetar. "Per-ta-ru-ngan si-siluman."
Suwa menghela nafas lega. Mungkin ini karena Ludra yang menghabisi penjaga rumah merah.
"Jangan takut nona. Makhluk itu baik, dia memang datang untuk menolong kalian."
Kakak Diyang sedikit tercekat. Menatap tak percaya. Dan Suwa memberi anggukan agar ia yakin.
"Makhluk itu akan memusnahkan tempat terkutuk ini. Dengan begitu tidak ada lagi tempat perdagangan wanita."
Kakak Diyang menggeleng, "Tidak, tidak kau tidak bisa memusnahkan rumah merah jika masih ada kerajaan Kilan."
Suwa tersentak. Apa maksudnya? Belum sempat ia bertanya.. Mendadak seseorang terlempar membuat bangunan itu bolong.
Ludra ?
Mata Suwa melebar tak menyangka bahwa tuannya bisa kalah.
Siapa yang Ludra lawan?
Ludra bangkit. Menciptakan cemeti dari es, ia berusaha mencabik anak buah sang kegelapan. Kali ini, cemeti itu mengenai bagaian tubuh Aung membuatnya terdorong mundur. Tapi Aung tak mudah kalah. Ia bangkit dan menyerang Ludra kembali.
Pertarungan sengit tak bisa terhindarkan.
Suwa menatap getir Ludra yang terlihat terpojok. Berusaha menolong Ludra, ia berteriak keras.
"LUDRA!!!!"
Dan seketika Aung menoleh. Dia bisa menerka siapa gadis manusia itu. Tanpa pikir panjang, Aung melesat menghujamkan pedang di tubuh Suwa.
Iris Ludra melebar. Melesat gesit, ia merangkul Suwa sebelum pedang Aung mengenai tubuh gadis itu.
GREIGG.
Bekuan es yang Ludra cipta menjadi dinding pelindung. Pedang Aung menancap ke dinding tersebut. Namun, ujung pedang yang tertembus dinding mengenai punggung Ludra.
Ludra mengernyit, lantas bersiul. Tak butuh lama, elang raksasa muncul seketika membawa Ludra dan Suwa pergi menjauh dari anak buah sang kegelapan.
Dan Aung hanya menatap kepergian sang Falcon terakhir dalam diam.
****
Suwa meneguk ludah. Sekali lagi ada desiran dalam hati saat sang Falcon kembali melindunginya. Entah sejak kapan ini terjadi, yang jelas Suwa merasakan sesuatu berdetak di dalam tubuhnya. Perlahan tapi menegangkan.
Suwa menggigit ujung bibir. Dia merasa bersalah lantaran keegoisannya membuat Ludra terluka. Padahal Ludra sudah menyampaikan bahwa rumah merah dijaga makhluk dengan kekuatan tinggi.
"Ma-maafkan aku." Suwa menunduk. Rasa bersalah menyelimuti hati.
"Kau tidak apa-apa?" Balasan Ludra membuat Suwa kembali mendongak.
Seharusnya yang bilang begitu adalah aku.
Suwa mengangguk pelan. "Ya, aku baik-baik saja."
Ludra tersenyum lega. Lantas memejamkan mata. Menahan sakit di punggung. Saat ini mereka kembali ke penginapan.
"Aku akan mengobatimu." Sedikit canggung, Suwa hendak melepas pakaian atas Ludra. Memeriksa luka di punggungnya. Darah merembes cukup banyak.
"Kau ingin mengobatiku?"
Suwa mengangguk. "Aku akan mencari dedaunan pencegah infeksi. Mungkin nenek penginapan memilikinya."
"Tidak perlu. Aku bukan manusia. Aku hanya perlu..... " Ludra berdiri. Mencegah Suwa pergi, dirinya meraih dagu Suwa lantas mencium gadis itu.
Dan Suwa hanya bisa terpaku dengan tubuh menegang.
ASTAGA!!!!
****
Ruangan itu berantakan. Bak kapal pecah. Banyak porselen-porselen cantik hancur tak karuan. Kain-kain berserakan di lantai. Ranjang itu seperti terserang badai.
Aira beringsut. Mengambil selimut menutupi tubuh polosnya. Melirik ke lantai di mana pakaiannya sudah robek tak berbentuk. Sama dengan nasib porselen - porselen itu. Dirinya juga merupakan porselen. Dipajang, dipakai, dihancurkan. Air matanya sudah tak mampu menetes.
Dia sudah hina. Saat sekali lagi Aira ingin kembali ke dunia manusia. Lebih tepatnya kabur. Heise selalu menghukumnya tanpa ampun. Memaksakan kehendaknya. Bila berontak, Heise tak segan membuat memar tubuh ringkih gadis itu. Namun Heise pula lah yang selalu mengobati kulit Aira dengan kekuatan ajaibnya.
"Apa anda sudah puas?" Aira berseru lirih. Tubuhnya sudah lemas. Heise tak menjawab. Pria itu meraih tubuh Aira. Memeluknya dari belakang. Kemudian mengecupi punggung memar Aira. Setiap kecupan Heise, kulit Aira berangsur pulih. Lebam-lebam kemerahan di kulitnya perlahan hilang.
Ada tatapan getir di mata Heise. Gadis manusia ini begitu tak berdaya. Yang selalu ia siksa. Yang selalu ia paksa. Sejenak Heise menghela nafas.
"Jangan memancingku bertindak kasar lagi, Aira." Heise merebahkan Aira kembali. Dikecupnya bibir itu sekilas. Menatap lembut Aira lantas merapikan pakaiannya kembali.
"Pelayan akan membantumu." Heise beranjak dari ranjang. Memejamkan mata sejenak. Seolah tengah memikirkan sesuatu. Lantas melangkah pergi.
Aira tergugu. Kenapa? Terkadang Aira tidak mengerti dengan sikap sang naga merah. Kadang pria itu sangat menakutkan, kadang pria itu begitu lembut.
Kenapa dia tidak membunuhnya saja seperti para tumbal lain?
Aira masih teringat jelas bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini. Dalam cengkeraman sang naga. Saat itu, dirinya merupakan gadis persembahan. Semua warga di lingkungan istana Kilan wajib menyerahkan seorang gadis untuk persembahan. Setiap keluarga yang memiliki anak perempuan belia wajib menyerahkannya untuk dijadikan tumbal. Mereka menunggu giliran. Tak terkecuali para bangsawan.
Oleh karena itu, banyak keluarga yang memiliki cukup uang memilih membeli gadis - gadis muda untuk mereka gunakan sebagai tumbal kerajaan Kilan.
Tradisi mengerikan atas nama kesejahteraan rakyat. Namun, percaya atau tidak kerajaan Kilan memang sangatlah makmur. Mereka hampir menguasai seluruh wilayah. Banyak perang selalu kerajaan itu menangkan. Rakyat menjadi sejahtera dan makmur. Tanah mereka subur. Bahan pangan melimpah ruah.
Itu karena mereka menyembah sang naga.
Malam itu, setelah tari-tarian ritual. Seperti yang sudah-sudah, Aira diikat dan ditinggalkan sendiri di gunung keramat. Menunggu sang naga menjemput tumbalnya.
Aira menitikkan air mata. Benar-benar takut. Tubuhnya gemetar. Kabut tebal perlahan muncul, menyelimuti gunung tersebut.
Aira benar-benar merinding ketika mendengar kepakan sayap menggelegar. Mendadak terjadi guntur, petir menyambar-nyambar. Saat itulah sosok naga begitu jelas terlihat. Naga itu turun, berjalan mendekat. Lantas berubah menjadi sosok pria rupawan dengan tatapan tajam. Pria itu adalah Heise.
Aira tak begitu tahu kejadian selanjutnya. Rasa takut luar biasa merenggut kesadarannya.
Dia akan mati.
Dan.... Saat matanya kembali terbuka. Kesadarannya pulih. Ia sudah berada dalam dunia Legendary Land.
****