Bangunan itu mewah. Berdiri megah dengan beton - beton kuat sebagai benteng. Sungguh kokoh. Merah mencolok menjadi ciri khas bangunan tersebut. Mansion bercat merah dengan ukiran kayu rumit, serta berbagai furnitur - furnitur mewah sungguh fantastis. Sederet prajurit berpakaian senada berlalu lalang di sekitar. Menjaga penuh siaga. Macam penjagaan istana saja.
Ya, ini adalah rumah merah. Tempat perdagangan manusia atau bisa disebut rumah bordil terbesar dan terkenal di seluruh penjuru.
Suwa mendesah. Melihat dari balik teropong. Sepertinya ini tidak akan mudah. Apalagi setelah Ludra mengatakan bahwa tempat itu tidak hanya dijaga oleh manusia saja. Ada makhluk lain di sana yang mungkin kekuatannya sangat hebat.
"Benarkah kau tak bisa langsung menghabisi mereka?" Suwa bertanya untuk ke sekian kali. Dan ia pun mendengus kesal lantaran Ludra tak berminat memberi jawaban. Makhluk tampan itu hanya menatap lurus bangunan yang nampak menjulang dengan kedua tangan dilipat kebelakang.
Saat ini, mereka berada beberapa meter di lokasi rumah merah. Bangunan yang megah nan mencolok tersebut tentu saja bisa terlihat meski dalam jarak jauh.
Andaikan saja kemarin para makhluk yang disebut kelompok pemberontak ikut membantu menemani mereka ke rumah merah. Pasti situasi akan berjalan lancar. Tidak seperti ini, menunggu tak jelas apakah Falcon mampu mengatasi semuanya.
Kemarin, saat kelompok pemberontak menawarkan bantuan. Ludra hanya diam, menampilkan ekspresi yang sulit dimengerti. Ekspresinya terlalu datar, tak menunjukkan penolakan maupun kesepakatan.
Pria itu hanya berkata, "Nanti, aku akan memanggil kalian."
Kalimat singkat itu mengakhiri semua. Ludra tanpa aba-aba meraih tubuh Suwa membuat Suwa terkesiap kaget. Lalu membawanya melesat pergi. Sungguh tak sopan. Tapi itulah Ludra, sang Falcon terakhir dengan sikap dingin namun tak membekukan. Berwajah datar namun tak menakutkan. Bukan sosok dengan wajah keras, penuh ketegasan nan mengintimidasi. Tetapi anehnya setiap ketenangan, tatapan mata, sikap Ludra meski tak banyak kata memberi kesan mengendalikan.
Dia sangat bersahaja.
Suwa mau tak mau harus mengakui itu. Makhluk yang telah menjadi tuannya ini seakan dapat mencengkeram seseorang lewat auranya.
Terbukti dari selama beberapa waktu bersama Ludra, Suwa meski membangkang namun raganya seolah menuruti apa perintah Ludra. Seperti kali ini, meski menggerutu, Suwa menurut saja perintah sang Falcon agar menunggu di sini. Di dekat tebing, di mana mereka bisa mengawasi kondisi rumah merah. Dan menunggu saat yang tepat menyerang tempat itu.
Lama. Mereka menunggu dari pagi hingga siang. Membuat Suwa terus-menerus menggerutu tak jelas. Berjalan mondar-mandir tak sabar.
Hiih... Menyebalkan. Sampai kapan seperti ini terus.
"Bisakah kau berhenti melakukan itu, Suwa?"
Teguran Ludra seketika menghentikan aksi gadis itu.
Mendengus. Suwa melangkah berdiri menjajari Ludra. Tubuh Suwa terlihat begitu mungil, kontras dengan tubuh Ludra yang tinggi tegap.
"Sampai kapan kita akan di sini, tuan Ludra?"
"Sampai waktu yang tepat."
Jawaban tidak memuaskan.
Suwa menggerakkan bibir, mengutuk makhluk sedingin es ini. Kemudian manik kelamnya menangkap sesuatu bergerak-gerak di balik semak. Penasaran, Suwa mendekati semak-semak tersebut. Ludra berbalik. Mengikuti Suwa dari belakang.
Setengah waspada, kedua tangannya menyingkap semak tersebut. Ingin tahu apa yang ada di baliknya.
Sejenak ia terpaku. Matanya membulat sempurna melihat sesuatu di hadapannya. Dua ekor hewan aneh berbulu.
Ludra seketika menciptakan pisau dari semburat es. Bersiap menyerang. Namun Suwa secara cepat menghentikan tindakan Ludra.
"Kau tak boleh membunuhnya!" Hati-hati Suwa mendekat, mencoba menyentuh dua hewan mungil yang tengah meringkuk dengan mata bulat menatap seperti anak kucing yang sedang memelas.
Meski aneh, hewan ini begitu menggemaskan. Mirip anak anjing, berbulu putih dengan warna-warna lain di sisi-sisi tubuhnya. Merah muda, biru, ungu. Sangat indah. Mata keduanya nampak bercahaya. Suwa tak pernah melihat hewan seperti ini.
Hewan ini berbeda. Wujudnya unik. Dan Suwa bisa menyimpulkan mereka bukan berasal dari dunia manusia.
Tanpa merasa takut. Suwa mengelus-elus bulu hewan tersebut. Hewan itu melenguh memanja.
"Lucunya." Hati-hati Suwa menggendong ke duanya. Mereka begitu mungil. Lengan Suwa begitu pas mengapit keduanya.
Hewan ini sangat jinak dan lucu. Sepertinya dapat menghibur rasa sepi Suwa. Suwa akan memeliharanya.
"Tinggalkan mereka, Suwa!" Ludra tidak begitu senang dengan ide gadis itu.
Suwa menggeleng, "Aku akan membawanya. Sepertinya mereka menyukaiku." Suwa tersenyum kecil, menggelitik hewan berbulu itu yang nampak nyaman bergelung di lengannya.
"Suatu saat mereka akan memangsamu Suwa."
Suwa melengos. Memberi sorot nyalang, "Yang akan memakanku itu adalah KAU, tuan Ludra."
Ludra sedikit tersentak akan nada tidak terima Suwa. Namun, sedetik kemudian sang Falcon terakhir menarik sudut bibir. Tersenyum miring. Seakan perkataan Suwa barusan sesuatu yang lucu.
"Terserah, jika mereka menyerang mu aku tidak akan membantu." Ludra melewati Suwa dan kembali ke posisinya semula. Berdiri mengamati rumah merah.
Sementara Suwa sedikit ketakutan akan peringatan Ludra.
Benarkah mereka berbahaya?
Suwa kembali menatap dalam-dalam kedua hewan tersebut. Tidak ditemukan kebringasan pada mereka. Malah hewan ini seperti anak anjing yang menurut pada majikan.
Yang berbahaya itu adalah dia. Suwa memcibir Ludra. Kemudian kembali menunduk menatap dua hewan memggemaskan ini. Tersenyum senang, ia punya teman mengusir sepi.

Matahari mulai tenggelam berganti rembulan meneduhkan. Suwa mengerang frustasi. Ini sudah malam tapi Ludra tetap diam tak bertindak. Kakak Diyang pasti sudah sengsara di dalam sana.
"Sampai kapan kita akan begini terus?"
Ludra yang saat ini duduk bersila dengan mata terpejam sontak membuka mata. " Tidak bisakah kau tenang, Suwa?"
"Astaga.... Bagaimana aku bisa tenang. Kita pasti sudah terlambat menyelamatkan kakak Diyang." Menghentakkan kaki, Suwa memutuskan pergi ke rumah merah sendiri.
"Kau mau menyetorkan tubuhmu, Heh?" Kali ini Ludra berdiri, menarik tangan Suwa agar tidak bertindak sembrono.
Benar apa yang diucapkan Ludra. Suwa tidak mungkin bisa menghadapi penjagaan rumah merah. Bisa-bisa dirinya ikut jadi korban.
"Tap-tapi..." Mengenyahkan ego, Suwa menggeleng keras kepala. "Kalau kau tidak segera menyerangnya, aku yang akan pergi sendiri."
Suwa benar-benar serius dengan perkataannya. Tanpa basa-basi ia melangkahkan kaki menuju rumah merah dengan menggendong kedua hewan yang baru ditemuinya tadi.
Masa bodoh dengan Ludra. Masa bodoh dengan kekhawatiran. Dirinya sudah berjanji menyelamatkan kakak pelayan pengantar makanan itu.
Ludra mendengus. Seketika melesat dan menggendong Suwa. Jelas gerakan tiba - tiba itu membuat Suwa tersentak. Tapi kali ini, Suwa tersenyum. Sang Falcon terakhir menurutinya.
"Tunggu di sini!" Ludra menurunkan Suwa di dekat pepohonan tak jauh dari rumah merah.
Sejenak Ludra terdiam, iris peraknya mengedarkan pandang, "Apapun yang terjadi nanti, tetaplah di sini!" Peringat Ludra. Pria itu kembudian meloncat dan menghilang masuk ke dalam rumah merah.
****