Chapter 17 - Salju (B)

Ludra berdiri was - was di ambang jendela. Hari sudah petang. Hawa siluman semakin kuat namun belum ada satu siluman pun yang ia lihat. Melirik sang pelayan yang tengah tertidur. Dengan kekuatannya, Ludra menutup jendela lantas berjalan mendekati tubuh wanita yang meringkuk pulas.

Ludra duduk di sisi ranjang. Mengamati wajah damai gadis manusia yang telah menjadi pelayannya. Sebelah tangannya merapikan helaian-helain rambut Suwa yang menjuntai menutupi wajah. Ada tatapan hangat saat Ludra melakukannya. Membelai rambut hitam Suwa dengan lembut seakan menimang - nimang gadis itu untuk tidur lebih pulas.

"Ku harap kau jangan lari lagi!" Gumam Ludra.

Dalam mimpi. Suwa sedang berada di atas dataran putih berisi salju yang terbentang luas. Tidak ada apapun selain tumpukan salju. Suwa membuka mata, lalu bangkit dan merasakan hawa dingin menerpa di sekujur tubuhnya. Dari kejauhan, samar-samar ia melihat sosok berjubah hitam dengan tundung kepala menutupi wajah berjalan ke arahnya. Seperti penyihir Momoru. Tidak, itu bukan dia. Sosok tersebut menguarkan asap hitam di sepanjang tubuhnya. Suwa menyimpitkan mata mencoba melihat jelas siapa sosok tersebut. Dia berjalan pelan tapi entah kenapa aura pria itu serasa.....

Tes.

Mendadak Suwa terkesiap saat merasakan bulir - bulir salju jatuh menyentuh kulitnya. Detik itu juga Suwa terlonjak. Dia panik dan segera berlari mencari tempat berlindung. Suwa berlari, bertepatan saat makhluk berjubah tersebut semakin mendekat padanya.

Dia benci salju. Dan seketika itu, Suwa tersadar dalam tidurnya.

"Ya dewa." Suwa membuka mata dengan nafas terengah. Mimpi yang membuat energi nya terkuras.

"Kau baik-baik saja?" Ludra segera bergerak menenangkan Suwa yang terlihat berantakan.

"Aku bermimpi."

Ludra memgernyit, "Mimpi apa?"

"Seorang pria dan salju." Suwa mendengus, "Aku tidak suka salju."

"Seorang pria? Siapa?"

Suwa menggeleng, "Tak tahu. Dia memakai jubah hitam."

"APA?" Ada kilatan di mata Ludra. "Lalu apa yang terjadi setelahnya?"

"Aku terbangun saat salju turun mengenai kulitku." Suwa menghentakkan ke dua tangan di ranjang lantas segera bangkit. "Aku benci salju."

Ludra hanya terdiam. Menelaah mimpi yang terjadi pada Suwa. Ke dua tangannya terkepal. Dia tahu, sosok yang muncul di mimpi Suwa tidak lain tidak bukan ialah sang kegelapan.

Dosta. Sudah mulai bergerak.

"Mau ke mana?" Ludra bertanya saat Suwa berjalan hendak keluar kamar.

"Aku butuh udara segar." ucap Suwa lantas meraih ganggang pintu dan membukanya.

****

Suwa duduk bersender di tepi ruangan. Sama seperti mimpinya, di luar sedang turun salju. Ia melihat beberapa anak dan wanita berlari kecil, saling melempar bola salju dan membuat boneka salju. Sungguh menyenangkan.

Hampir semua orang menyukai salju. Namun tidak dengannya. Salju mengingatkan Suwa akan masa lalunya. Masa terpahit dalam hidupnya.

>

( Dua belas tahun lalu )

Tidak ada yang menyukai bocah perempuan berambut sebahu itu. Semua orang menghindarinya. Seakan dirinya adalah kuman penyakit yang harus dibasmi. Bahkan oleh keluarganya sendiri.

Keluarganya memperlakukan Suwa rendah.

Suwa merupakan anak haram hasil hubungan gelap salah satu anggota bangsawan Chi terhadap pembantunya. Pembantu tersebut berhasil menyembunyikan kehamilan sampai Suwa lahir. Lalu meninggalkannya bersama mereka.

Anggota bangsawan Chi mengucilkannya. Dan dia dirawat oleh paman Dang. Pelayan gaguk yang merupakan juru masak bangsawan tersebut. Hanya dia yang peduli padanya. Hanya dia yang menyanyanginya. Suwa masih bisa berpikir jernih dan tersenyum karena paman Dang. Orang yang lebih ia pilih sebagai sosok ayah ketimbang ayah kandungnya sendiri.

Ayahnya selalu diam saja saat dirinya diperlakukan buruk. Saat anggota bangsawan Chi memperlakukannya seperti budak. Suwa tidak pernah dibiarkan hidup bebas.

Apalagi isteri sah ayahnya yakni nyonya Mou, dia tak hanya  memperlakukan Suwa sebagai budak. Bahkan ia menganggap Suwa adalah boneka. Nyonya Mou kerap menyuruh Suwa memakai pakaian tidak layak, compang-camping seperti pakaian pengemis. Bahkan nyonya Mou pernah menyuruh Suwa  makan layaknya anjing juga merangkak seperti binatang ke arahnya.

Nyonya Mou beberapa kali memoles wajah Suwa selayak badut kemudian menyuruh Suwa kecil untuk berjalan di muka umum. Tentu saja banyak orang yang menertawainya. Menganggapnya sebagai bocah gila. Apalagi ayah kandungnya tak pernah melakukan apapun setiap kali Suwa diperlakukan seperti itu.

Suwa ingin menangis, tapi ia tahan. Suwa ingin berontak tapi mencoba sabar. Karena dia ingin disayangi. Berharap jika ia menurut, mereka akan menganggapnya sebagai keluarga.

Hanya paman Dang yang selalu menghapus air mata Suwa. Yang selalu menyemangatinya. Yang selalu memberi kekuatan untuk menjalani hidup. Yang selalu memberi topangan saat Suwa sedih. Dan yang selalu mengembalikan senyum Suwa. Namun, apalah kata. Paman Dang hanyalah seorang pelayan di sana. Tak punya kuasa apapun ketika mereka memperlakukan Suwa begitu buruk. Dia hanya bisa membantu dengan memberi kasih sayang kepada Suwa. Kasih sayang yang teramat tulus.

Sampai suatu hari, nyonya Mou membuat ide gila yakni menyingkirkan Suwa dengan menjualnya sebagai pelacur. Untuk pertama kali ayah kandungnya terlihat melindunginya. Dan terjadi pertengkaran besar.

"Anak pelacur harus jadi pelacur juga."

"Hentikan tindakan gilamu itu Mou. Dia masih kecil."

"Aku tidak peduli. Dia bukan anakku. Dia anak pelacur. Apa sekarang kau peduli padanya heh? Apa kau mencintai pembantu itu, hah?"

Tetapi lagi-lagi ayah kandungnya hanya bisa pasrah dan mengalah pada isteri gilanya.

Dan itu tidak bisa diterima oleh paman Dang. Mereka sudah kelewatan. Ia tidak mau melihat Suwa terus menerus menderita.

Saat Suwa digelandang menuju rumah bordil. Paman Dang yang mempunyai masalah kesulitan bicara tersebut mengikutinya. Lalu dengan penuh tekad membawa Suwa melarikan diri. Walau ia mendapat pukulan bertubi-tubi dari penjaga rumah bordil. Ia terus bertahan sampai akhirnya berhasil membawa Suwa kabur.

Paman Dang membawa Suwa ke kampung halamannya. Lalu merawat Suwa sepenuh hati. Menganggap Suwa sebagai anaknya sendiri. Begitupun Suwa, ia telah menganggap bahwa paman Dang adalah ayahnya. Di sana, Suwa juga mendapat keluarga baru yakni ibu dan kakak paman Dang. Yang Suwa anggap sebagai nenek dan bibinya. Mereka memperlakukan Suwa dengan hangat.

Selama beberapa tahun, Suwa hidup dengan bahagia. Sampai akhirnya malapetaka itu datang.

Di musim dingin. Saat salju turun. Saat semua orang gembira bermain benda putih, dingin nan empuk yang turun dari langit.  Segerombolan pasukan berkuda mendatangi tempat Suwa.

Lalu dengan tiba-tiba memporak-porandakan bangunan rumah sederhana milik ayahnya. Suwa yang bermain salju bersama teman-teman sebaya seketika bangkit menuju rumah saat melihat keributan terjadi.

Ketika dirinya hendak memasuki rumah. Matanya terbelalak kala melihat ayah, nenek dan bibinya dihajar habis-habisan oleh beberapa pria. Tubuh Suwa bergetar, air matanya tumpah. Dia ingin menolong keluarganya. Dan saat Suwa berlari menuju ambang pintu.

BREKKKK!!!

Sebuah salju dari atas genting tiba-tiba longsor lalu menimbun tubuh kecil Suwa. Membentuk gundukan besar. Suwa tertimbun di dalamnya. Dan tak bisa bergerak.

"Di mana dia?"

Sebuah suara samar - samar terdengar. Telinga Suwa berdenging. Manik kelamnya berembun. Kepalanya terasa pening. Tumpukan salju ini membuat Suwa hampir hilang kesadaran.

BRUAKKK!

Seorang pria membanting tubuh ayahnya hingga tersungkur.

"Katakan di mana anak itu!"

BUAKK.

Sebuah pukulan kembali menghujaminya. Ayahnya meringkuk tak berdaya dengan luka di sekujur tubuh. Ia lemah. Tubuhnya lebam dan berdarah-darah. Meski sudah sekarat, mereka masih terus menghajarnya.

Suwa yang tertimbun salju menatap sang ayah miris. Meski samar, ia masih bisa melihat penderitaan sang ayah. Dirinya ingin bangkit menolong. Namun salju ini begitu  menghimpitnya seakan menekan Suwa agar tak bergerak.

BRAKKK!!

Kembali. Ayahnya dilempar layaknya kaleng bekas. Ia tersungkur dengan kepala tepat menghadap gundukan salju yang menimbun Suwa. Sang ayah dapat melihat Suwa dengan mata bengapnya.

Air mata Suwa pun jatuh menetes. Ingin berteriak namun sang ayah yang menatap Suwa di sisa-sisa kesadaran mengangkat telunjuk ke bibir sebagai isyarat agar Suwa diam. Tersenyum pelan. Dan...

GREIG!!!

Salju putih tersebut bersimbah darah. Manik kelam Suwa membulat histeris. Seakan oksigen habis, ia tercekat saat kepala sang ayah terpisah dari tubuhnya.

Begitupun dengan jerit nenek dan bibinya yang juga mati akibat pedang menyayat perut mereka.

Ayahnya yang gaguk itu begitu baik. Merawat Suwa dengan sepenuh hati. Jika tidak ada dia, mungkin Suwa tidak akan bisa hidup. Nenek dan juga bibinya begitu baik, menyanyangi Suwa tulus. Padahal mereka bukan keluarga kandungnya.

Jika salju tak menimbunnya. Suwa mungkin dapat memyelamatkan keluaraganya.

Suwa berharap mati membeku tertimbun salju. Menyusul keluarganya. Tapi ternyata salju itu mulai mencair. Menyisakan gadis kecil yang menggigil sendirian. Menangis dalam duka. Menyambut hidup baru yang membuat Suwa membenci kehidupan.

>

****

Air mata Suwa menetes mengingat masa kecilnya. Hatinya begitu nelangsa mengingat betapa kejam dunia ini padanya.

Ya Dewa!!!

Suwa menutup mata. Dan~

SRETTT!!!

Sebuah anak panah nyaris menancap kepala Suwa sebelum dengan sigap Ludra datang merengkuh tubuh Suwa yang masih tercekat dalam keterkejutan.

****