Kepala Tetua Suma Bing kemudian berjalan mondar-mandir di dalam ruangan pengobatan tersebut. Semakin lama, wajahnya tampak makin muram.
Dua Tetua yang berada di sana semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sedikit pun tidak ada yang mengangkat kepalanya.
"Tetua Huo Ming, berapa jumlah murid kita sekarang?" tanya Kepala Tetua Suma Bing kepada salah satu Tetuanya.
Orang yang dipanggil Huo Ming langsung mengangkat kepalanya. Setelah termenung sesaat, dia segera menjawab, "Menurut perhitunganku, murid yang tersisa saat ini tinggal sekitar dua ratus lima puluhan saja. Hitungan itu sudah termasuk murid senior dan guru pengajar," jawab Tetua Huo Ming.
Kepala Tetua Suma Bing sedikit terkejut ketika mendengar jawaban tersebut. Itu artinya, korban yang tewas karena penyerangan aliansi setara dengan setengahnya jumlah murid keseluruh Sekte Gunung Surgawi.
"Aih, tidak bagus, tidak bagus. Kalau situasinya terus seperti ini, maka Sekte Gunung Surgawi pasti akan lenyap dari muka bumi," ujarnya penuh rasa khawatir.
Dua Tetua mengangguk-anggukkan kepala. Mereka menyetujui ucapan Kepala Tetuanya tersebut.
Memang benar, kalau terus seperti itu, maka makin lama situasinya makin mengkhawatirkan. Apalagi kalau diingat kembali, masalah ini pasti akan lebih panjang dan rumit daripada sebelumnya.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang ini, Kepala Tetua?" tanya seorang Tetua yang satu lagi.
Tetua itu bernama Chan Yang. Julukannya si Panglima Pedang. Dalam dunia persilatan Kekaisaran Song, nama Panglima Pedang sudah tidak asing lagi. Semua orang-orang persilatan pasti mengenalnya. Apalagi sepak terjangnya selama ini selalu menggetarkan nyali setiap lawan.
Tetua Chan Yang dijuluki Panglima Pedang bukan lain adalah karena permainan pedangnya yang ganas dan mematikan. Selama ini, rasanya tidak banyak musuh yang mampu selamat dari jurus-jurus pedangnya tersebut.
Pada saat terjadi penyerangan ke Sekte Gunung Surgawi pun demikian. Di medan pertempuran, dia sangat berperan penting. Sepak terjangnya benar-benar membuat lawan merasa jeri dan berpikir beberapa kali Kalau ingin menghadapinya.
Sementara itu, ketika ditanya demikian, Kepala Tetua Suma Bing tampak kebingungan. Untuk beberapa saat, dia belum bisa memberikan jawaban untuk mengambil langkah selanjutnya.
Posisi pihaknya sekarang sungguh sangat genting. Kecuali berharap agar masalah cepat selesai, rasanya tidak ada hal lain lagi yang mampu mereka lakukan.
"Untuk sementara, lebih baik kita mundur saja dulu," ujarnya sambil menghela nafas.
Tetua Huo Ming dan Tetua Chan Yang membelalakan matanya lebar-lebar. Jawaban dari Kepala Tetua Suma Bing sungguh diluar dugaan mereka berdua.
Bahkan, keduanya menganggap bahwa ini hanyalah mimpi.
Tapi, benarkah ini hanya mimpi?
Tentu saja bukan. Ini bukan mimpi. Ini nyata!
"Apa? Kepala Tetua, apakah kau tidak salah bicara?" tanya Tetua Huo Ming masih setengah percaya.
"Aku tidak salah bicara,"
"Tapi Kepala Tetua …"
"Aku sudah memutuskan untuk mengambil tindakan ini! Jangan pernah membantah setiap ucapanku!" ujar Kepala Tetua Suma Bing dengan tegas.
Nada suara orang tua itu mendadak berubah. Wajahnya juga terlihat lebih sangar dan berwibawa.
"Ba-baiklah. Kami …kami mengerti," jawab Tetua Chan Yang dengan patuh.
Dia sangat paham watak Kepala Tetuanya. Oleh karena itulah dirinya tidak mau membantah lagi.
"Bagus. Aku tahu kalian memang pasti akan mengerti. Sekarang keluarlah, lakukan tugas kalian!"
"Baik. Kami terima perintah," ujar keduanya secara bersamaan.
Begitu selesai berkata, dua Tetua Sekte Gunung Surgawi itu segera pergi keluar dari ruangan pengobatan tersebut.
Sekarang, yang ada di ruangan itu hanyalah Kepala Tetua Suma Bing dan cucunya, Lin Feng yang telah tiada. Sampai kini, orang tua itu masih saja meratapi nasib cucu satu-satunya tersebut.
Semua peristiwa yang menimpa cucunya itu bagaikan mimpi. Mimpi paling buruk seumur hidupnya.
Sungguh, kematian Lin Feng rasanya jauh lebih menyakitkan daripada kematian kedua anaknya dulu ketika bertempur di medan perang.
Kepala Tetua Suma Bing menaruh harapan besar terhadap bocah itu. Lin Feng adalah bocah yang sangat cerdas. Dia pun sangat berbakat. Walaupun usianya baru sepuluh tahun, tetapi dia sudah mencapai tingkatan Pendekar Bumi tahap lima. Menurutnya, dalam waktu satu atau dua tahun lagi, dia pasti bisa mencapai tingkatan Pendekar Bumi tahap tujuh.
Sayang, sayang sekali. Harapan besarnya harus rela hancur begitu saja. Mimpi indahnya telah direnggut oleh sebuah takdir yang tidak bisa diubah oleh siapa pun.
"Hahh …" Kepala Tetua Suma Bing menghela nafas panjang.
"Langit, kalau memang cucuku harus mati di usia anak-anak, maka aku akan berusaha untuk merelakan kepergiannya. Tapi kalau memang belum saatnya tiba, tolong berikanlah keajabian kepadanya," gumam orang tua itu sambil memandangi wajah Lin Feng.
Selesai berkata, Kepala Tetua Suma Bing segera pergi keluar daro ruang pengobatan. Niatnya, dia ingin mengurusi beberapa hal penting lainnya yang masih berhubungan dengan sekte.
Salah satunya adalah penguburan murid dan cucunya yang gugur di medan perang.
Langkah orang tua itu tampak lesu. Wajahnya juga jelas menggambarkan kesedihan yang mendalam.
Sekarang, yang ada di dalam ruangan tersebut hanya mayat Lin Feng saja.
Keadaan sepi sunyi. Hening. Tiada suara apapun. Tidak terlihat juga satu orang pun.
Pada saat demikian, tiba-tiba tubuh bocah itu menunjukkan sedikit pergerakan. Pertama-tama gerakan itu dimulai dari kedua jari tangannya. Disusul kemudian kepada kedua jari kakinya. Dilanjut lagi dengan terbukanya dua bola mata dan seluruh tubuhnya.
Apa yang sudah terjadi?
Apakah Lin Feng hidup lagi?
Ya, Lin Feng memang hidup lagi. Tapi, Lin Feng yang sekarang bukanlah Lin Feng yang dulu lagi.
Dia yang sekarang adalah jelmaan dari Dewa Pedang Api. Salah satu dari Sepuluh Dewa Senjata yang terdapat di Dunia Para Dewa.
Sang Dewa ternyata telah bereinkarnasi!
"Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" gumamnya sambil melihat ke sisi kanan dan sisi kiri.
Dewa Pedang Api yang sekarang menjelma menjadi sosok Lin Feng terlihat kebingungan. Dia merasa asing terhadap segala yang ada di sekitarnya.
Dewa Pedang Api berusaha menenangkan diri. Namun betapa kagetnya setelah dia menyadari bahwa dirinya sudah bereinkarnasi menjdi seorang bocah.
"Apa-apaan ini? Kenapa aku bisa jadi bocah kecil?"
Dewa itu menggerutu seorang diri. Dia sangat kesal ketika mengetahui apa yang sebenarnya telah menimpa dirinya.
"Cih, daripada bereinkarnasi menjadi manusia, apalagi jadi seorang bocah, lebih baik aku langsung mati saja. Kenapapa Yang Agung membuat garis takdir seperti ini kepadaku?"
Kekesalan di hatinya makin lama makin bertambah. Tapi sayangnya, sekesal dan semarah apapun Dewa Pedang Api, hakikatnya tetap saja. Dia tidak mampu mengubah garis takdirnya sendiri.
Entah sudah berapa lama waktu yang telah lewat, namun lambat laun kekesalan di hatinya itu mulai lenyap begitu saja.
Sekarang, Dewa Pedang Api sudah mendapatkan kembali ketenangannya. Dia tidak lagi menggerutu, tidak pula mencaci maki garis takdir hidupnya.