Pelukan Kepala Tetua Suma Bing sangatlah erat. Malah makin malah semakin erat. Sampai-sampai Lin Feng merasa sesak dan kesulitan bernafas karenanya.
"Terimakasih Dewa, ternyata kau mengabulkan keinginanku. Cucuku benar-benar hidup kembali. Terimakasih," Kepala Tetua Suma Bing berkata dengan sungguh-sungguh.
Bahkan bersamaan dengan keluarnya ucapan itu, terdengar pula isak tangisnya.
Akibat hal tersebut, Dewa Pedang Api yang kini berada dalam tubuh Lin Feng pun merasa sangat terharu.
"Kakek, aku tidak bisa bernafas," katanya kemudian.
Kepala Tetua Suma Bing terkejut. Dia baru menyadari kalau pelukannya ternyata terlalu erat.
"Aih, maaf, cucuku. Maaf. Kakek benar-benar bahagia sehingga tanpa sadar telah memelukmu sangat erat," katanya sambil tertawa bodoh.
Orang tua itu membalikkan tubuh. Kemudian segera mengusut air matanya yang sempat keluar. Di hadapan orang lain, pantang bagi Kepala Tetua Suma Bing kalau harus memperlihatkan kesedihan yang sedang dirasakannya.
"Tabib Fu … Tabib Fu," teriaknya memanggil.
Begitu selesai panggilan tersebut, dari luar mendadak terdengar suara langkah kaki. Sesaat kemudian, masuklah seorang tua berjubah hijau dengan rambut digelung ke atas.
Usia orang tua itu mencapai tujuh puluh tahunan. Kulit tubuhnya sedikit hitam dengan bola mata yang hitam pula.
"Ada apa, Kepala Tetua?" tanyanya setelah memberikan hormat.
"Coba kau periksa kembali keadaan cucuku,"
"Tapi, bukankah …"
"Apa kau tidak melihat kalau Feng'er telah hidup kembali?" tanya Kepala Tetua Suma Bing sambil menatap tajam ke arahnya.
Orang tua yang dipanggil Tabib Fu itu kaget. Tapi bersamaan dengan itu, tanpa sadar matanya berpaling ke arah pembaringan. Dan betapa terkejutnya dia ketika menyaksikan kalau ucapan Kepala Tetua Suma Bing tadi ternyata memang benar.
Lin Feng telah hidup kembali!
"Kepala Tetua, ini …"
"Sudahlah. Cepat periksa kondisinya sekarang juga," potong Kepala Tetua.
"Baik, baik. Aku akan memeriksanya sekarang juga,"
Tabib Fu segera berjalan ke pembaringan. Setelah dekat, dia berkata "Maaf, Tuan Muda,"
Lin Feng hanya menganggukkan kepala sambil melemparkan senyuman. Dia membiarkan saja ketika urat nadinya diperiksa oleh Tabib Fu.
Selama proses pemeriksaan kondisi tersebut, ekspresi wajah Tabib Fu terlihat berubah-ubah. Kadang-kadang tampak terkejut, kadang gembira, kadang pula terlihat kagum.
"Sungguh ajaib. Aih, kejadian seperti ini mungkin tidak akan terjadi dalam kurun waktu seribu tahun sekali pun," gumam Tabib Fu.
Setelah selesai memeriksa kondisi Lin Feng, dia segera berjalan kembali ke arah Kepala Tetua Suma Bing yang sudah menunggunya sejak tadi.
"Bagaimana?" tanyanya begitu Tabib Feng tiba di hadapan.
"Ajaib sekaligus aneh," jawab tabib itu dengan singkat.
Kening Kepala Tetua tampak berkerut. Dia masih belum mengerti ucapan dari Tabib Fu.
"Apa ajaibnya?"
"Ajaibnya adalah karena sebelumnya Tuan Muda Feng sudah meninggal. Tapi kini, secara tiba-tiba dia bisa hidup kembali, bukankah ini sangat ajaib?"
Kepala Tetua Suma Bing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia setuju dengan ucapan Tabib Fu.
Hakikatnya, kejadian yang menimpa cucunya tersebut menang terhitung sangat ajaib.
"Lalu, apa pula anehnya?" tanyanya lebih lanjut lagi.
"Anehnya adalah seluruh luka di tubuh Tuan Muda Feng sudah hilang secara keseluruhan. Baik itu luka luar, maupun luka dalam yang diakibatkan oleh racun, semuanya lenyap begitu saja,"
"Apakah ucapanmu ini benar?"
Bagi Kepala Tetua, penjelasan pertama Tabib Fu sudah sangat mengejutkan hatinya. Namun setelah mendengar penjelasan kedua, ternyata malah jauh lebih mengejutkan lagi.
"Kepala Tetua, sudah berapa lama kau kenal aku?"
"Hampir dua puluh tahun,"
"Selama dua puluh tahun ini, apakah kau sudah mengetahui sifatku?"
"Tentu saja. Sifatmu yang aku kagumi adalah kau tidak pernah berbohong. Kepada siapa pun, kau selalu jujur. Kalau iya, bilang iya. Kalau tidak, bilang tidak,"
Di mata Kepala Tetua Suma Bing, sosok Tabib Fu ini memang istimewa. Bahkan dia sendiri mengatakan kekagumannya secara terbuka.
Salah satu sifat yang paling dikagumi dari tabib itu adalah bahwa dia selalu jujur. Selama dua puluh tahun ini, rasanya Tabib Fu tidak pernah melakukan suatu kebohongan walaupun hanya satu kali.
Baginya, hal tersebut sanga luar biasa. Sebab pada dasarnya, dia tahu bahwa setiap manusia pasti pernah melakukan kebohongan walau itu suatu hal yang kecil.
Tapi Tabib Fu ini memang lain daripada orang lain.
Dia benar-benar tidak pernah berbohong.
Sementara itu, setelah mendengar jawaban tersebut, Tabib Fu kemudian segera angkat bicara.
"Nah, kalau kau sudah tahu bahwa aku tidak pernah berbohong, lalu kenapa sekarang Kepala Tetua nampak ragu dengan semua ucapanku? Apakah kau menganggap aku berbohong?"
Kepala Tetua Suma Bing langsung membungkam mulutnya. Pada dasarnya, dia memang masih belum percaya dengan semua ucapan Tabib Fu terkait kondisi cucunya tersebut.
Tapi, semuanya kembali lagi ke awal.
Tabib Fu tidak pernah berbohong!
"Bukannya aku tidak percaya. Hanya saja, penjelasanmu itu bagiku tidak masuk akal," jawabnya jujur.
"Jangankan bagi Kepala Tetua, bahkan bagiku saja demikian. Seumur hidup, rasanya aku baru mengalami kejadian ini pertama kali,"
Kalau seorang tabib handal dan berpengalaman saja berkata demikian, lantas bagaimana dengan yang bukan tabib?
"Jangan lupa, Kepala Tetua. Di dunia ini, sebenarnya banyak terjadi hal-hal yang bahkan kita sendiri tidak mengerti sama sekali," lanjut Tabib Fu.
"Benar. Aku setuju," jawabnya singkat.
Mau tidak mau, Kepala Tetua Suma Bing memang harus setuju dengan pernyataan tersebut. Karena hakikatnya, dia sendir tahu apa yang dimaksudkan oleh Tabib Fu.
"Sekarang, aku ingin menyuruhmu untuk membubarkan seluruh murid. Biarkan mereka istirahat, dengan catatan terus perketat penjagaan. Di sisi lain, aku juga menyuruhmu untuk memanggil para Tetua Sekte Gunung Surgawi. Suruh mereka berkumpul di ruangan biasa. Tidak terkecuali dengan kau sendiri," tukas Kepala Tetua Suma Bing memberikan perintah.
"Baik. Perintah akan segera dilaksanakan," kata Tabib Fu.
Setelah memberikan hormat, dia langsung keluar dari ruangan dan segera menjalankan tugasnya.
###
Tengah hari telah lewat. Sore hari telah datang.
Semburat cahaya merah di langit barat, memancar ke seluruh penjuru mata angin. Udara terasa sejuk. Suara kicau burung di hutan gunung terdengar begitu merdu dan menenangkan.
Di sebuah ruangan khusus, di sana sudah duduk tujuh petinggi Sekte Gunung Surgawi. Tidak ketinggalan pula dengan Tabib Fu, dia pun ikut hadir di ruangan tersebut.
Di dalam ruangan itu ada sebuah meja yang terbuat dari batu giok berkualitas tinggi. Di atas meja tersebut, ada pula tiga guci arak mahal, komplit bersama dengan hidangan pelengkapnya.
Tujuh petinggi yang dimaksud itu adalah lima Tetua dan satu orang Wakil Kepala Tetua Sekte Gunung Surgawi. Mereka datang ke ruangan tersebut sesuai dengan permintaan Kepala Tetua Suma Bing.
Kini, orang-orang penting itu sedang minum arak sambil sesekali berbincang-bincang hangat. Sampai sekarang, Kepala Tetua masih belum bicara serius. Dia masih tampil seperti biasanya.