"Huuuffftttt ... Akhirnya setelah sekian lama aku bisa mencium bau harum tanah yang basah karena terkena air hujan."
Gumamku saat pertama kali menginjakkan kaki di negara kelahiran Mamaku. Aku dulu sudah pernah datang ke Indonesia, tetapi hanya berkunjung ke tempat sahabat kakakku yang dulu pernah tinggal di Shanghai.
Saat ini aku baru saja sampai di apartemen baruku. Saat aku memutuskan untuk tinggal dan menetap di negara ini, Kakak sulungku membelikanku sebuah apartemen yang cukup mewah dan juga sebuah mobil dan tentu saja rekening tabungan yang sangat banyak. Aku juga di tugaskan menjadi salah satu pemimpin hotel milik Kakakku yang ada di Indonesia ini.
Aku merasa sangat lelah sehingga aku memutuskan untuk langsung beristirahat dan akan membereskan barang-barangku setelah aku sudah cukup beristirahat nanti. Aku segera menuju ke dalam kamar mandi dan menyalakan air hangat lalu aku berendam di dalam bathub sebentar karena meski aku sangat lelah, tetapi aku tdak akan pernah bisa beristirahat kalau belum mandi. Hal ini menurut Kakakku sangat bertolak belakang dengan kebiasaan Mamaku yang malas mandi.
Aku baru saja selesai mandi dan masih menggunakan jubah mandi saat ponselku berbunyi. Aku segera meraih ponsel yang aku letakkan diatas tempat tidurku dan aku langsung tersenyum saat aku melihat nomor milik Kakakku muncul dilayar ponselku. Aku segera menyentuh gambar terima dan langsung menyapa Kakak lelaki yang sangat menyayangiku meski aku bukanlah adik kandungnya.
"Assalamu'alaikum Koko, maaf, aku belum sempat memberitahu kalau aku sudah sampai karena disini udara sangat panas dan aku baru selesai mandi." Ucapku menjawab panggilan dari Kakak lelakiku yang paling tampan sedunia.
"Luna, kamu selalu membuat Koko khawatir! Apa sangat berat cuma mengatakan kalau kamu sudah sampai! Apakah kamu tahu kalau aku sangat khawatir dengan keadaanmu?"
Tanya Koko dengan nada sangat kesal dengan sikapku yang masa bodoh dengan kekhawatirannya. Aku sebenarnya sudah akan menghubunginya, hanya saja aku berpikir akan mandi terlebih dahulu dan benar saja kalau Kakakku itu jadi naik darah. Dia sangat menyeyangiku seperti menyayangi putrinya sendiri.
Usia kami terpaut cukup jauh dan sepertinya aku dan Kakakku lebih cocok menjadi ayah dan anak ketimbang kakak beradik. Saat aku lahir, Kakakku sudah berusia tiga puluh tahun. Saat ini usia Kakakku sudah setengah abad dan dia masih menjadi lajang karena dia belum menemukan wanita yang cocok menurutnya untuk menjadi pendampingnya. Padahal tentu saja banyak sekali wanita dari kalangan atas di Shanghai yang mendekatinya. Wanita-wanita itu bahkan ingin mencuri perhatian kakakku dengan mendekati dan berbuat baik kepadaku karena mereka tahu kalau aku adalah satu-satunya wanita yang paling dekat dan paling disayangi oleh Koko.
"Maafkan aku, Koko. Aku baru saja selesai mandi dan setelah ini aku baru akan meneleponmu, kenapa Koko tidak sabaran sekali sih? Koko kan tahu aku paling tidak bisa beristirahat kalau aku tidak mandi setelah melakukan perjalanan jauh." Bentakku kesal dan seperti biasa Koko aku yang tadinya kesal menjadi sangat takut kalau aku ngambek.
Dia sudah sangat hafal dengan sikapku yang menurutnya sangat mirip dengan sikap Mamaku. Aku pernah mendengar Koko mengatakan kalau apa yang ada dalam diriku sama persis dengan apa yang ada dalam diri Mamaku kecuali nasib baik yang lebih banyak aku dapatkan dalam kehidupan ini dibandingkan dengan Mamaku yang mengalami banyak sekali penderitaan.
"Ya sudah! Syukurlah kalau kamu sudah sampai dengan selamat. Cepat tidur dan segera telepon aku saat kamu sudah cukup beristirahat! Kamu sudah dewasa, Sayang! Plisss, jangan suka ngambek dan mengancam. Aku sangat membenci sikapmu yang menurun dari sikap Mamamu."
Ucap Koko sambil menggerutu. Meski dia menggerutu sangat pelan, tetapi aku bisa mendengar dengan jelas apa yang dia keluhkan.
"Like mother like daughter, Koko! Sudahlah, kalau diteruskan kita akan bertengkar. Aku mau tidur dulu dan aku akan menghubungimu lagi saat aku sudah bangun tidur nanti. Kěkě, bié zhāojí. Wǒ hěn hǎo, wǒ ài kěkě ... (Koko, kamu jangan khawatir. Aku baik-baik saja dan aku sayang koko...) muaachhhh ..."
Ucapku seraya memutuskan sambungan telepon dari Koko Shuo. Aku sangat lelah dan aku tahu dia sangat merindukanku, kalau tidak segera memutuskan sambungan teleponnya, sudah pasti sampai malam masih belum selesai dia menasihatiku seperti seorang ayah menasihati buah hatinya.
Baru saja aku akan meletakkan ponselku dan naik ke tempat tidur, layar ponselku kembali menyala dan saat aku lihat aku hanya bisa bernapas berat karena itu adalah chat dari Koko Shuo yang masih terus mengkhawatirkan adiknya yang manja dan menggemaskan ini. Aku kemudian membacanya dan tidak membalasnya karena kalau itu aku lakukan pasti aku tidak akan bisa tidur.
Aku kemudian mematikan ponselku dan segera naik ke tempat tidur lalu segera berbaring dan memejamkan mataku. Beberapa saat kemudian kesadaranku segera hilang dan aku sudah berpindah dari alam nyata ke alam mimpi. Aku sangat lelah dan apa yang Koko Shuo katakan benar. Aku menuruni semua sifat Mamaku, mulai dari sifat keras kepala, ngeyel, ngambekan dan tukang ngancem sampai aku yang mabuk saat naik pesawat dan naik kendaraan umum yang tentu saja banyak orang didalamnya.
Aku terbangun saat hari sudah malam. Saat aku melihat jam dinding yang menempel di dinding kamarku, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku segera bangun dan mengambil ponselku lalu segera menyalakannya kembali daaannnn ... banyak sekali panggilan tak terjawab dari Koko Shuo, Koko Ziyi dan Jiejie Meimei dan juga puluhan chat dari mereka yang menanyakan apakah aku baik-baik saja dan kenapa ponselku dimatikan.
Mereka semua memang keluarga yang sangat menyayangiku meski mereka tahu kalau aku bukan saudara kandung mereka. Aku juga sangat menyayangi mereka dan sebuah keputusan yang sangat berat yang pernah aku ambil saat aku kemudian mengatakan kepada mereka kalau aku ingin mencari Mamaku yang selama ini aku anggap sebagai Kakak.
Ya, aku dan Mamaku selalu bersama meski tidak setiap saat, aku tahu kalau Mamaku juga sangat menyayangiku meski kami tidak bisa bersama-sama. Aku sudah mengetahui semuanya tentang kisah hidup yang harus kami alami dan aku tahu tidak ada yang bersalah diantara kami karena kami hanya menjalani suratan takdir.
Aku sangat beruntung meski aku tinggal dan dibesarkan oleh sebuah keluarga yang tidak satu keyakinan denganku, tetapi mereka memberikan kebebasan kepadaku untuk memilih dan menentukan apa yang aku inginkan. Beruntung juga Koko Shuo adalah seorang muslim dan dia yang membimbingku selama ini. Aku tersenyum melihat chat saudara-saudaraku. Aku mulai membalas satu persatu pertanyaan mereka dan akhirnya aku memiliki waktu untuk mengisi perutku yang sudah berdemo sejak tadi.