Chereads / BIDADARI BERCADAR / Chapter 7 - Demam

Chapter 7 - Demam

Aku tidak tahu berapa lama aku menunggu Yudha, yang pasti saat aku terbangun aku sudah berada diats tempat tidurku dengan posisi cadarku sudah terleps. Aku juga sudah tidak memaki kerudung lagi. Aku langsung deg-degan dan aku segera duduk. Sat aku duduk, sesuatu terjatuh dari keningku. Aku melihat handuk kecil basah yang sudah mengering terjatuh di pangkuanku.

"Kamu udah bangun?"

tanya seseorang yang suaranya sangat aku kenal. Beberapa kali aku mendengar suara ini dan kami selalu bertengkar. Aku spontan menarik selimut dan langsung aku pakai untuk menutupi kepalaku. Aku tidak mau laki-laki yang baru aku kenal melihat auratku yang selama ini aku jaga dengan sangat baik. Bahkan aku menggunakan hijab sejak aku masih balita.

Aku memang besar ditengah keluarga non muslim, orangtua angkatku adalah warganegara China dan mereka tentu saja bukan muslim, tetapi rasa sayang mereka kepada Ibuku membuat aku mendapatkan kasih sayang yang sangat besar. Apalagi Kakak sulungku yang menurut Kakak keduaku sangat mencintai Ibuku, dia telah menjadi seorang mualaf demi bisa menikah dengannya. Meski sampai saat ini keinginannya tidak pernah terwujud karena Ibuku telah memutuskan dia tidak akan pernah berkomitmen dengan siapapun.

Aku menjadi semakin penasaran ingin segera bertemu dengan sosok wanita yang telah melahirkan aku. Aku juga ingin tahu apa alasannya meninggalkan aku dan menitipkan aku kepada keluarga sahabatnya. Meski begitu, aku sama sekali tidak menyimpan dendam kepadanya karena keluarga angkatku sudah menjelaskan kepadaku kalau Ibuku sangat menyayangiku dan meninggalkan aku karena sesuatu hal yang aku akan mengetahuinya saat aku bertemu dengannya suatu saat nanti.

"Yudha!"

Kataku kaget. Aku menatap tajam kearahnya yang telah berani melepaskan hijabku tanpa ijin dan itu artinya dia juga pasti sudah melihat auratku yang telah terjaga sejak kecil, bahkan keluarga ngktku pun tidak pernah melihatnya.

Yudha hanya menatapku tetapi dia tidak mengatakan apapun. Dia kemudian segera mengambil handuk kecil yang ada diatas pangkuanku dan meletakkannya di dalam baskom yang berisi air. Dia mengulurkan tangannya akan menyentuh keningku tetapi aku segera menepisnya dan memarahinya.

"Yudha! Kamu jangan kurang ajar! Kamu sudah melepaskan jilbabku dan sekarang akan menyentuh keningku. Apa maksudnya coba?"

Aku melihat dia menghela napas berat dan kini dia duduk di tepi tempat tidurku lalu menatapku sambil tersenyum. Entah kenapa aku merasa jantungku berdebar-debar saat melihat senyumannya. Dia memang tidak terlalu tampan, tetapi aku merasa sangat nyaman saat berada di dekatnya. Padahal kami selalu bertengkar saat bertemu.

"Luna, maafkan aku karena telah lancang melepaskan hijabmu juga cadarmu. Aku hanya ingin menyelamatkan kamu. Tadi saat aku tiba di apartemenmu ini aku melihat kamu tertidur diluar, saat aku akan membangunkan kamu, aku merasakan suhu tubuhmu naik. Aku kemudian membuka pintu apartemenmu dan membawamu masuk. Aku juga minta maaf karena aku memasuki kamarmu tanpa ijin."

Yudha kemudian mengambil baskom berisi air dan membwanya keluar. Dia kembali beberapa saat kemudian dengan membawa semangkuk bubur dan teh panas. Dia meletakkannya di nakas di samping tempat tidurku dan dia mengambil mangkuk berisi bubur itu dan mulai akan menyuapi aku.

"Yudha, terima kasih atas bantuanmu. Aku juga sudah memaafkan kamu, tetapi aku mohon sekarang kamu pulang saja. Aku bisa mengurus diriku sendiri."

Aku segera meminta Yudha untuk pulang, terus terang aku sedikit takut karena aku belum begitu mengenalnya. Kalau dia macam-macam bagaimana? Apalagi aku sering melihat berita kalau pelaku kejahatan kebanyakan justru berasal dari orang disekitar kita.

"Maafkan aku Luna, tetapi aku tidak akan meninggalkan kamu dalam kondisi sakit. Kalaupun aku harus pulang, aku akan memanggil Kakakku untuk menggantikan aku disini menjagamu."

Ucap Yudha tegas, aku kembali deg-degan saat dia mengatakan hal itu. Aku merasa sangat terharu dengan perhatiannya. Aku mengenalnya sebagai lelaki yang tidak tahu sopan santun dan brandalan, tetapi dia sangat perduli saat aku sakit. Padahal aku selalu bertengkar dengannya.

"Terima kasih banyak, tetapi semua itu tidak perlu Yudha. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kak Santi tidak noleh tahu kondisi aku. Aku nggak mau bikin dia khawatir."

Ucapku menolak keinginan Yudha. Aku tidak suka dikasihani, lagipula saat ini aku sudah baik-baik saja.

"Maaf Luna, aku tetap tidak bisa meninggalkan kamu sendirian selagi kamu masih demam! Aku pernah menyesal karena kehilangan seseorang dan aku tidak akan mengulangi hal itu lagi. Aku akan menjagamu sampai kamu sembuh, kamu tenang saja, aku tidak akan macam-macam!"

Yudha kekeh nggak mau pulang. Aku juga sangat risih berduaan sama laki-laki yang baru aku kenal. Namun aku memang masih sakit, kepalaku pusing dan masih demam. Aku yakin ini akibat terkena lemparan sepatu Yudha tadi, aku mendadak jadi kesel sama Yudha.

"Kamu yang bikin aku kayak gini. Kamu terlalu bar-bar melemparku dengan sepatu kulitmu yang beratnya entah berapa kilo. Apa selalu begtu kamu bersikap pada Kakakmu sendiri?"

Tanyaku pada Yudha yang kini menundukkan kepalanya. Aku tau kalau saat ini dia menyesal dengan perbuatannya tadi meski dia tidak mengatakannya.

"Aku kesal Kakakku nggak ngasih duit. Aku sudah minta kaya pengemis, tetapi dia selalu bilang gak punya duit. Padahal duit dia banyak, dia kan bekerja."

Yudha benar-benar nggak punya malu! Aku yang bukan siapa-siapanya saja ikut kesal pada Yudha. Seharusnya dia sadar kalau dia sudah waktunya mencari uang sendiri. Aku rasanya ingin maki-maki dia selagi dia ada disini.

"Kamu benar-benar nggak punya malu! Seharusnya kamu udah bisa kerja dan mendapatkan uang sendiri!"

Aku melihat Yudha menundukkan kepalanya, mungkin dia dalam hati membenarkan apa yang aku katakan. Aku kemudian segera memintanya keluar dari dalam kamarku karena aku ingin ganti baju.

"Yudha, kamu keluar dulu sekarang, tunggu aku di ruang tamu. Aku akan keluar sebentar lagi."

Yudha tersenyum dan keluar dari dalam kamarku. Aku lagi-lagi deg-degan. Entah apa yang aku pikirkan saat ini. Aku segera turun dari tempat tidur dan segera berganti pakaian. Aku segera menemui Yudha setelah selesai. Saat aku tiba di ruang tamu, aku melihat Yudha sudah kembali membuat teh hangat untuk kami. Aku sekarang bingung sebenarnya yang tuan rumah disini tuh aku apa dia sih.

"Luna, kamu ternyata cantik juga ya! Padahal saat aku belum melihat wajahmu, aku kira kamu gadis galak yang jelek."

Aku kesal mendengar komentar Yudha tentang aku selama ini. Aku segera mengambil bantal sofa dan melemparnya pada Yudha. Dia tertawa saat melihat aku marah mendengar kata-katanya.

"Kamu lelaki nggak punya malu!"

Umpatku kesal. Aku segera duduk di hadapannya dan akan meminum teh buatannya, tetapi aku mengurungkan niatku. Aku menatap Yudha sengan tatapan curiga.

"Lo nggak kasih sianida kan di dalam teh ini?"