Chereads / Cakrawala Asmaradanta / Chapter 19 - Chapter 19: Salju dan Kecupan

Chapter 19 - Chapter 19: Salju dan Kecupan

Boleh kah Ivory merasa dirinya diberkati?

Ya, kenapa tidak, pikirnya, kala impian pertama yang tertulis dalam daftar keinginannya terwujud dalam sekejap mata. Bagaimana bisa impian yang sudah ditulisnya dalam buku catatan usang 13 tahun yang lalu bisa langsung terjadi, Ivory tak tahu. Yang jelas ia menikmatinya.

Ralat, mencoba menikmatinya, kendati sebuah gangguan kecil sempat melandanya beberapa saat yang lalu.

Sesaat setelah pasangannya mematikan panggilan dari calon istrinya, Aaron lantas menarik tangan Ivory untuk keluar dari ambang tenda. Aaron Magnifico membungkam semua pertanyaan Ivory tentang panggilan itu dengan sebuah senyuman menenangkan yang diikuti dengan senyuman teduh khas si empunya. Aaron mengajak Ivory berjalan-jalan di sekitar sana dengan butiran salju tipis serupa debu yang membasahi rambut keduanya. Aaron banyak membuat lelucon dan gurauan demi melihat senyum terkembang milik gadis yang entah sejak kapan menarik atensinya.

Dalam satu atau dua hal, Aaron seperti ketagihan melihat gigi depan besar milik Ivory yang selalu menyembul keluar setiap kali ia tersenyum lebar. Entah bagaimana senyuman itu membuat pikirannya kembali fresh dan segar kembali. Seperti recharging.

Seperti kali ini saat dirinya tak henti menggelitik pinggang yang lebih muda kala sosok itu dengan bandelnya tak mau membagi caramel machiato yang dibelikannya beberapa menit yang lalu. Ivory terkikik kegelian saat tangan hangat lelakinya menggerayangi pinggang dan perutnya. Ia bahkan nyaris menendang tulang kering Aaron kala pria itu tak menghentikan kegiatan menjengkelkannya sedari tadi. Nyaris saja minuman yang mengeluarkan asap mengepul di tangannya tumpah dan membasahi jumpsuit yang dikenakannya.

"Aaron, hentikan. Ah, sial. Henti—ouch. Aaron!"

Tawa lepas yang lebih tua menggelegar melihat gadisnya meliukkan tubuhnya ke sana dan kemari menahan rangsang menggelitik yang tak henti diberikan. Ia mengerang seraya mencoba menjauhkan diri dari tangan pasangannya yang secara tak sadar sudah melingkari tubuhnya. Ivory masih terkekeh walau pun kesal karena digelitiki tanpa henti.

"Aar, berhenti bersikap menyebal—Aww, machiato-ku!"

Minuman itu tumpah dan membasahi pahanya yang terlindung kain berbahan jeans. Ivory menyentuh celananya yang basah terkena noda cokelat dari kopi yang dibawanya. Gadis itu berdecak dan menatap kesal pada Si Pembuat Onar.

"Celananya!" ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. "Kopinya tumpah dan kena celanaku!"

"Maaf, panas ya?"

Masih terkikik, Aaron mengusap-usap paha Ivory sebagai refleks. Tangannya mencoba mengeringkan jumpsuit Ivory yang lengket oleh kopi. Ia menatap pasangannya itu dengan rasa bersalah yang tercampur geli.

Gadis yang berusia enam tahun lebih muda itu menggeleng dan menunduk memandang tangan berjari-jari panjang Aaron yang kini berada di paha kanannya. "Tapi celananya jadi kotor. Kan sayang..."

"Sayang? Kau sudah berani memanggilku sayang?"

"Ish, Aaron," rengek Ivory. Ia berdecak kesal karena godaan dari Sang Pasangan membuat pipinya terasa panas. Seolah baru saja terkena hangat sinar mentari di musim panas. "Bukan itu maksudnya!" omelnya.

Aaron Magnifico tertawa lagi dan mengacak-acak rambut Ivory dengan lembut. "Bercanda, Ivy. Nanti kita beli celana baru, ya," ucapnya ringan lalu kembali menarik tangan pasangannya untuk melanjutkan jalan.

"Lagian kau ini sudah punya kopi sendiri. Kenapa masih minta punyaku, sih? 'Kan aku baru pertama kali mencoba minuman ini, dan rasanya ternyata sangat enak. Tapi kau malah mau bertukar denganku. Kau ini gimana sih, Aarooon," omel Ivory lagi dengan menggumamkan kata Aaron dengan bagian 'Ron' yang panjang.

Aaron tahu dengan pasti jika dirinya ini adalah tipe manusia yang tak tahan dengan sesuatu yang menggemaskan atau bisa ia sebut dengan cuteness overload. Dirinya biasanya akan langsung menggigit apa saja yang membuat hatinya berdesir karena gemas yang melanda. Sebagai contohnya, ia pernah menggigit teddy bear kesukaannya semasa kecil, menggigit telinga dan hidung Chopa, bahkan menggigit hidung adik kekasihnya yang masih bayi yang mana langsung dihujami gerutuan dari pacarnya yang mengatainya gila. Jika sudah gemas, ia suka lupa diri.

Maka dari itu kini Aaron harus sedikit menggeram menahan hasratnya agar tidak menerkam menusia menggemaskan di sampingnya lalu memeluknya erat-erat lalu menggigitinya.

"Maaf, Ivy. Aku tak terlalu suka kopi sebenarnya. Aku salah pesan minuman. Harusnya aku tak memesan Americano. Rasanya ternyata sangat pahit, dan aku benci pahit," gumam Aaron merasa bersalah. Walau bagaimana pun celana Ivory jadi basah dan kotor karena ulahnya, maka dari itu ia siap menerima omelan pasangannya itu.

"Kalau tidak suka kopi kenapa mampir ke café tadi?"

"Karena katamu café itu lucu."

"Tapi 'kan bisa saja menolak."

"Aku tak mau menolak keinginanmu."

"Kok gitu."

Mengabaikan Ivory yang sedang mengerucutkan bibirnya, Aaron mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan memberikan benda itu pada Ivory.

"Huh?" Ivory memandang bingung pada Aaron.

"Tempelkan ibu jarimu di layar."

Ivory mengangkat alis tebalnya bingung namun tetap mengikuti perintah lelaki itu.

"Nah, ucapkan nama lengkapmu tepat di depan layar juga."

"Ivory Kelana."

Dengan itu Aaron tersenyum lebar yang mana semakin membuat Ivory bingung.

"Aaron, apa maksudnya?"

"Aku mengaktifkan sistem keamanan double-lock."

Aaron mengambil ponselnya lagi dan menunjukkan sesuatu dari layar smartphone miliknya.

"Kau bisa membuka ponselku kapan pun kau mau. Bebas. Hanya tinggal menggunakan sidik jari lewat ibu jarimu atau ucapkan dengan jelas namamu. Ponsel ini sudah mendeteksi suaramu beberapa saat yang lalu," terangnya. Ia menyerahkan lagi benda berharga yang menyimpan banyak data itu ke tangan Ivory. "Coba lah," perintahnya.

Dengan ragu-ragu Ivory memajukan ponsel itu tepat di depan bibirnya dan menggumamkan namanya.

"Ivory Kelana."

Dan layar ponsel itu menyala. Kuncinya terbuka. Ivory membelalakkan mata bulatnya penuh kagum.

"Wow."

"Ayo foto bersama."

"Tunggu dulu," tahan Ivory. Ia mengembalikan lagi ponsel itu ke pemilik sahnya. "Aaron, kenapa kau melakukan ini? Ponsel ini 'kan barang pribadimu. Aku tak mau mengganggu privasimu."

"Privasiku, privasimu. Kita berbagi kehidupan, Ivy. Aku mau kau menggunakan ponsel ini bersama-sama denganku," ucap Aaron. "Aku baru saja memesankan 1 unit ponsel dengan tipe yang sama untukmu. Namun, karena jumlahnya yang terbatas, perlu waktu satu bulan untuk barang itu bisa sampai di tanganmu. Untuk sementara, kau bisa menggunakan ponselku juga untuk melakukan apa pun yang ingin kau lakukan. Kau bisa memakai internet sepuasnya, mengambil foto, video, apa pun yang kau mau."

"Aaron, aku tidak perlu handphone baru. Aku punya dan masih berfungsi dengan baik."

"Tapi modelnya sudah sangat kuno, Ivy. Di sini, ponsel seperti punyamu biasanya ada di kumpulan barang bekas yang siap dihancurkan. Kau perlu yang lebih canggih."

"Tapi, Aar—"

Cup.

Sebuah kecupan singkat yang tak lebih dari satu detik mendarat dengan manis di pipi kiri Ivory. Netra gadis itu membola kala mendapati Aaron tersenyum manis setelah mencium pipinya tanpa aba-aba. Ia tak memperkirakan tindakan itu sama sekali.

"Jangan berdebat lagi, Ivy. Ingat apa yang ku katakan."

Ivory menyentuh pipinya yang baru saja terkena sentuhan bibir Aaron. Ia bisa merasakan pipinya terasa hangat. Ia menunduk malu dan lebih memilih memandang jalanan yang perlahan-lahan menjadi basah terkena salju.

Salju pertama dan sebuah kecupan.

"Ayo foto denganku, Ivy."

Dan sekarang tangan pria yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang itu memeluk pinggangnya dengan santai dan menarik Ivory agar sedikit bersender di dadanya.

Ivory benar-benar terberkati.