"Selanjutnya, Victor Sakuta!"
Pria yang membawa Armatix iP1 itu melangkah keluar dari tempat persembunyiannya dan memasang senapan itu di depan dadanya. Ia bergerak menghindari serangan lawan dan mulai menarik pelatuk dari senjata api yang dibawanya. Ia mulai membidik ke arah pion pion buatan menyerupai manusia. Ia berlari ke arah barat daya dan menundukkan kepala. Pria itu menembakkan beberapa peluru secermat mungkin sehingga mengenai sasaran. Tepat di tempat yang ia mau.
Di jantung.
Ia tersenyum puas saat salah satu dari pion itu terjatuh begitu saja.
Kakinya berlari lagi dan ia berguling sekali sehingga membuat seragamnya kotor terkena lumpur dari area yang menjadi tempat bermainnya selama ini.
"Arah jam 9, tiga meter darimu berada."
Ia mendengarkan dengan hati-hati perintah yang berdengung di telinganya melalui helmet yang dikenakannya. Dirinya mengangguk singkat dan bersembunyi di balik pohon pinus. Dengan penuh perhitungan, ia menunggu dengan napas terengah dan keringat bercucuran.
"Seberapa jauh?"
"Sepuluh langkah kaki darimu."
"Up or down?"
Sosok di balik telepon itu terdengar mendengus kesal. "Up! Demi Tuhan! Kenapa masih bertanya?"
Pria bernama belakang Sakuta itu terkikik geli. Ia suka mendengar suara bernada kesal dari pujaan hatinya yang memarahinya terus menerus. Menurutnya, kekasihnya yang sedang mengomel terlihat begitu cantik dan seksi.
"Sekarang!"
Victor melakukan sebuah lompatan tinggi melewati beberapa batu besar di sampingnya. Ia melesakkan tembakan beruntun yang menjatuhkan sekitar 5 buah pion. Tak ada satu pun tembakan yang meleset. Ia tertawa senang melihat hasil kerjanya yang tepat sasaran.
"Done!" teriaknya. Ia melepas helmet yang melindungi tempurung kepalanya dan menghapus keringatnya dengan beringas.
Nora Sakuta, keluar dari sebuah kapsul yang merupakan pusat pengendali pelatihan dan melangkah menuju ke pion-pion yang terjatuh. Di belakangnya, mengekori dengan patuh seorang pemuda berusia awal dua puluhan yang membawa map dan pulpen. Pemuda itu bersiap mencatat semua hasil pelatihan seniornya itu.
"Sembilan dari sepuluh tepat mengenai jantung. Satu yang lain mengenai mata sebelah kanan," ucap Nora.
Wanita itu diikuti oleh pemuda yang lebih muda yang mencatat dengan telaten dengan cepat.
"Posisi peluru?"
"Lima menembus badan, tiga bersarang tepat di tengah, satu menyerempet mengenai tulang, dan yang satu mengoyak mata. Menyebabkan kebutaan permanen karena kerusakan syaraf dan pendarahan hebat."
Pemuda yang asyik mencatat itu mengangguk-angguk penuh semangat. Ia terlihat begitu kagum akan kemajuan pesat senior yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu. Tangannya secara otomatis bertepuk tangan pertanda salut dengan hasil yang ia lihat.
"Kak Victor, kau keren! Ini dua kali lebih baik dari minggu lalu."
"Ku rasa karena senjatanya." Nora melepas kacamata berlensa lebar bening dan menyisipkannya di antara kancing kemejanya. "Lebih besar lebih baik, bukan?"
Victor berjalan mendekati kekasihnya dan memeluk pinggulnya dengan kasual. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga wanita yang lebih tua dua tahun darinya.
"Bukan kah itu kesukaanmu?" bisiknya dengan nada menggoda. "Lebih besar, lebih baik?"
Telinga Nora mendadak berwarna semerah tomat.
Ia menyikut rusuk lelakinya dan berdehem keras.
"Jujur saja aku lebih suka Cornershot yang kau berikan kemarin. Atau FN Five-Seven. Lebih terasa pas di tanganku dibanding yang ini," ucap Victor seraya mengelus dengan penuh kasih sayang senjata di tangannya.
"Untuk masalah persediaan tanyakan saja pada Dazel. Aku hanya bertugas mengawasi dan mendata perkembanganmu, Kak Victor."
Pemuda yang sedari tadi asyik mencatat itu melepas topi di kepalanya dan tersenyum lebar ke arah junjungannya. "Suatu saat nanti aku akan jadi keren sepertimu, Kak. Tunggu saja. Aku akan belajar bertarung lebih keras dan berlatih menembak lebih giat hingga suatu saat kalian akan berkumpul dan melihatku menampilkan kebolehan yang ku punya di Vena ini."
Victor menepuk pundak juniornya dan tersenyum menenangkan. "Kau akan lebih keren dariku, Bara. Lihat saja nanti. Ku tunggu kau membuktikan janjimu itu."
Bara mengangguk dan tertawa canggung. Ia sungguh merasa luar biasa bangga bisa diberi kata-kata penyemangat dari idolanya.
"Pasti, Kak. Tunggu saja" ucapnya penuh tekad.
Nora tertawa dan merangkul tubuh kurus Bara. Ia menatap ke dalam mata cokelat sosok adiknya itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia membayangkan sosok yang berada ribuan kilometer jauh darinya. Ia membatin jika sosok jauh itu kini seumuran dengan Bara. Mereka mungkin bisa jadi teman dekat jika bertemu di sana.
Ia tersenyum menyembunyikan kesedihannya.
Berdehem sekali lagi, Nora menarik tangan Bara di tangan kanan dan tangan kekasihnya, Victor di tangan kiri.
"Ayo masuk. Paman Yoda sudah menunggu di dalam Arteri."
***
Aaron Magnifico menatap tak percaya pada layar smartphonenya yang menampilkan gambar tunangannya, Joy.
19 panggilan tak terjawab dan 20 pesan dikirimkan secara membabi buta oleh tunangannya yang cantik. Ia membacanya satu per satu dengan menahan napas. Semuanya rata-rata menanyakan tentang kabar dirinya dan keinginan Si Cantiknya untuk mengajaknya pergi di saat salju pertama turun.
Aaron menggosok dahinya dengan menggunakan buku jarinya. Ia merasa bersalah sudah mengabaikan panggilan dan pesan gadisnya itu dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan pasangan Copulationnya.
Bahkan sebentar lagi mereka akan melakukannya.
Ia menggeram dan menarik rambutnya dengan kesal. Walau pun raganya dan kekasihnya terpisah, tetapi rasa kecewa yang pasti dirasakan oleh Joy dapat dirasanya juga. Ia sudah berjanji untuk tidak mengabaikannya kendati ia memilih untuk mengikuti acara Copulation. Akan tetapi, baru mulai saja ia sudah mematahkan janjinya sendiri.
Ia merasa bersalah, sungguh. Berkali-kali ia membayangkan bagaimana reaksi tunangannya itu ketika tahu jika ia sebentar lagi akan menyetubuhi Ivory. Ia merasa seperti lelaki bajingan yang mendua dan mengabaikan pasangannya.
Tapi, saat ini ia lebih merasa tak enak pada Ivory. Ivory masih trauma, sepertinya. Gadis belia itu belum pernah disentuh siapa pun sebelumnya. Ivory belum pernah memiliki kekasih juga. Dan sekarang ia harus merelakan tubuhnya dijamah oleh lelaki yang bukan siapa-siapanya. Bukan kah itu sedikit tidak adil untuknya?
Sebegitu rumitnya jalan yang harus ditempuh, mereka tetap harus melewati dan menyelesaikannya. Tak ada jalan keluar. Ia dan Ivory memang harus melakukan pembuahan.
Netranya memandang ke arah layar teleponnya yang terpampang foto Joy yang jelita. Foto itu diambil ketika mereka berdua tengah berlibur setahun yang lalu. Joy yang mengenakan baby doll berwarna biru muda terlihat begitu cantik dan seksi secara bersamaan. Foto itu lah yang menurutnya jadi foto terbaik di antara ratusan foto lainnya. Maka dari itu, ia menjadikannya sebagai wallpaper di ponsel canggihnya.
Sedetik setelahnya, Aaron tersadar jika ponsel ini juga akan digunakan Ivory. Ponsel itu rencananya akan mereka pakai bersama untuk sementara. Mana mau Ivory memakainya jika wallpaper-nya saja wanita lain di hatinya?
Untuk itu, jari telunjuk dan ibu jari Aaron bergerak lincah. Ia memilah-milah ribuan foto yang diambilnya dan memutuskan untuk menggunakan foto lautan sebagai pengganti wajah Joy. Ia melakukannya demi membuat Ivory semakin nyaman menggunakan ponselnya.
"Maafkan aku, Joy."
Setelahnya, ia menekan tombol kunci dan terkunci lah sudah ponselnya. Aaron memutuskan untuk menutup Joy sementara waktu, dan membiarkan Ivory mengambil alih panggung utama pada kali ini.