"Kau akan ditugaskan di wilayah Aruna, Niskala, dan Sabitara. Kawal Guardian yang lain selama proses pengecekan dan pastikan semuanya berjalan dengan lancar."
Pemuda pertengahan dua puluhan yang diberi titah oleh Si Penguasa mengangguk singkat. Ia memilih menghabiskan makan malamnya dalam diam sembari menyimak apa saja yang di inginkan oleh pria paruh baya di depannya. Seperti di malam-malam yang biasa ia lalui bersama keluarganya.
"Gunakan M-16 bila perlu. Tertibkan seluruh peserta dan jangan lengah dengan rayuan para tikus got itu. Semua Kaum Sekunder itu sampah. Kau tak boleh terlihat lemah di hadapan mereka."
Pemuda bermarga Park meletakkan sumpitnya perlahan. Nafsu makannya sirna setelah Sang Ayah berkata demikian. Entah mengapa ia merasa harus membalas ucapan penguasa di hadapannya itu.
"Ayah, bukan kah M-16 terlalu berlebihan? Ini 'kan hanya Pre-Checking. Belum masuk ke tahap pengecekan seperti biasa. Ku rasa mungkin Kaum Sekunder yang mengikuti Copulation akan sedikit ... ketakutan?"
Sosok yang diajak bicara terkekeh pelan. Dengan anggun ia mengambil selembar tisu makan yang berada tak jauh dari jangkauan tangannya. Pria itu mengusap sudut bibirnya dengan hati-hati. Ia mengangkat kepala dari makan malamnya dan menatap anak lelaki satu-satunya itu dengan gemas.
"Bukan kah itu sikap yang harus kita tunjukkan pada semua orang? Kita tak bisa dianggap remeh. Ciptakan ketakutan sebesar mungkin, dan mereka akan selalu patuh pada kita, Cakara. Ku rasa kau sudah banyak belajar selama lebih dari setahun ini menjadi Kepala Guardian, bukan?"
"Dia hanya mencoba menjadi orang baik, Ayah. Bukan begitu, adikku tersayang?"
Cakara menginjak kaki kakak perempuannya dari balik meja. Ia melayangkan tatapan mengancam yang dibalas dengan juluran lidah mengejek khas Sang Kakak. Sementara Sang Ayah yang duduk tepat di hadapan mereka tak merasa terusik dengan sikap saling ejek anak-anaknya, memilih untuk bangkit dan pergi dari sana. Tanpa sepatah kata atau pun tanpa selingan tawa. Selalu seperti itu setiap saat.
"Ku rasa Ayah jadi semakin mirip dengan makhluk ciptaannya."
Cakara melirik ke sebelah kirinya di mana Kezia sedang mengunyah steak dengan malas. Ia baru menyadari jika rambut kakaknya itu sangat panjang. Rambut itu diuntai menjadi dua buah kepang di sisi kanan kiri dengan poni depan yang membuatnya terlihat lebih muda. Biasanya kakaknya yang kerap ditemuinya di tempat kerja akan menyanggul rambutnya tinggi-tinggi dan mengenakan make up tebal sebagai tuntutan profesi. Berbeda ketika di rumah di mana kakaknya terlihat begitu fresh tanpa polesan lipstick dan alas bedak seperti biasa.
"Maksudmu?" tanyanya.
Kezia berdecak kesal. Ia bangkit dari duduknya dan menatap lelah pada Sang Adik yang masih terduduk di atas kursinya.
"Maksudku, lama kelamaan Ayah terlihat seperti Guardian. Dingin dan tak berperasaan. Aku semakin tak mengenalinya saja."
Sedetik kemudian gadis itu pergi dengan bersungut-sungut. Meninggalkan Cakara sendiri dengan barisan kursi kosong yang terlihat menyedihkan tanpa ada seorang pun yang menemani. Cakara hanya menghela napas sambil memandang langit-langit ruang makan.
'Bukan kah sudah dari dulu Ayah seperti itu?'
***
Ivory menggeliat pelan.
Ia membuka kelopak matanya setengah hati dan netranya menabrak bias cahaya pagi yang masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu merenggangkan kedua tangannya ke atas, melemaskan otot-otot yang terasa mengencang, lalu bangun. Pergerakannya membuat kain tebal selimut putih yang menutupi tubuhnya merosot dan menampakkan tubuh polos dengan beberapa ruam yang menghiasi.
Ia tersentak kaget dan menarik kembali selimut itu melingkupi tubuhnya. Matanya mengerjap panik. Ia memaksa otaknya untuk mengembalikan lagi kilas balik kegiatan panas yang dilakukan beberapa jam yang lalu.
Manik Ivory membola. Tangannya refleks menutup mulutnya yang menganga lebar mengingat apa saja yang telah ia lakukan bersama Aaron. Ia mendadak kesulitan bernapas.
Dekapan.
Cumbuan.
Kecupan.
Rintihan.
Aroma tubuh prianya...
"Sial," umpatnya pelan. Penuh kehati-hatian, ia mengangkat selimutnya dan mengintip tubuhnya sedikit. Benar saja seperti dugaannya.
Ia telanjang bulat.
Sedikit ragu namun penuh rasa ingin tahu, jari telunjuk Ivory turun menyusuri perutnya dan terus ke bawah hingga menyentuh daerah sensitifnya. Ia meraba-raba tepian pintu masuk itu dan mengernyit kesakitan kala rasa perih melanda seketika. Diam-diam ia mencium aroma darah dan cairan cinta mereka yang menyatu jadi satu di kewanitaannya.
"Sshh ... Perih."
Ivory menarik lagi jari tangannya dan menegakkan duduknya. Ia menundukkan kepalanya dan menatap berbagai ruam kemerahan yang tercetak dengan jelas di sekujur tubuhnya. Mulai dari pundak, dada, perut, pinggul, hingga pahanya, semuanya mendapat jatah. Ia tak dapat melihat bagian lehernya, namun Ivory rasa bagian tubuh yang itu mendapat porsi paling banyak karena ia dapat merasakan rasa panas dan perih di seluruh lehernya.
Aaron rupanya tak main-main dalam bercinta. Pria itu benar-benar memakan setiap inchi dari tubuh Ivory tanpa terlewat satu pun. Ivory memejamkan matanya kuat-kuat. Jadi begini rasanya kehilangan keperawanan.
Ivory mendesah dan menggosok-gosok wajahnya dengan kasar. Sebenarnya ia masih merasa tak rela karena pada akhirnya keperawanannya diserahkan pada orang yang tak mencintainya. Belum lagi wajah Joy yang terbayang di ingatannya.
Akan tetapi, ia tak bisa membayangkan lelaki lain yang lebih baik selain Aaron. Lagi pula ia tak bisa mengabaikan kewajibannya sebagai peserta Copulation. Ia harus lolos tahap Pre-Checking supaya tidak menerima hukuman.
'Wanita itu pasti sakit hati padaku,' pikirnya. 'Bukan kah ini terlihat seperti aku yang merebut Aaron darinya?'
"Ya Tuhan," desahnya lagi.
"Kau sudah bangun?"
Ivory membuka matanya lebar-lebar dan mendapati Aaron berdiri di ambang pintu.
Pria itu tak mengenakan baju. Tubuhnya hanya tertutupi oleh sepotong celana piama gombrong yang entah mengapa membuatnya terlihat semakin tampan saja. Belum lagi rambutnya yang berantakan, tak disisir, dan terlihat seperti baru saja bangun. Ivory bersumpah, kesan panas semakin membara kala Aaron berpenampilan seperti itu. Membuat siapa pun seketika lupa daratan.
Termasuk dirinya.
"Uh huh," cicitnya.
Ia semakin mengeratkan genggaman selimutnya kala pasangan Copulation-nya itu melangkah perlahan-lahan mendatanginya. Kakinya terasa lemas, begitu pula tubuhnya. Jantungnya bertalu-talu ketika Aaron duduk di tepian ranjangnya dan mengusap helaian rambut Ivory yang menutupi mata.
"Pasti masih sakit."
Aaron tersenyum santai dan menarik dagu Ivory yang sedari tadi menunduk. Ia mendaratkan sebuah kecupan kecil di bibir pasangannya yang masih membengkak akibat perlakuannya semalam. Ia sedikit melumat belahan kenyal merah muda yang entah sejak semalam menjadi candunya.
Mengabaikan tubuh mungil yang kini sekaku batang kayu, ia semakin memperdalam ciumannya. Pria itu Meniupkan hawa panas yang akrab, mencari celah agar pasangannya membuka mulut dan menyerahkan lidahnya untuk dipagut. Dirinya menawarkan secercah kehangatan di pagi hari yang berusaha ia buat karena Aaron tahu, ia tak mau Ivory takut padanya dan lari lagi seperti waktu lalu.
Maka dari itu, ia harus membuat pasangannya itu merasa nyaman padanya.
"Aaron," bisik Ivory menahan desahan.
"Ivy," balas Aaron dengan bisikan yang seduktif.
Sedetik kemudian, ia melepas pagutannya. Matanya memandang benang saliva yang menyatu dari bibirnya ke bibir Sang Pasangan yang tengah mengais napas akibat ciuman panas di pagi hari.
Ada kah morning kiss yang sepanas ini?
"Aku ingin membersihkanmu semalam tapi yeah, aku juga lelah. Kau pun tertidur begitu saja. Aku tak tega mengganggu tidurmu, jadi ku pikir sekalian mandi pagi saja. Maaf, ya. Aku terlihat seperti orang brengsek karena mengabaikan kenyamananmu."
Ivory masih terdiam. Sebenarnya ia sedang meredam tubuhnya yang terasa terbakar. Ia terbakar hebat akibat Aaron dan kelihaian ciumannya. Hingga saat ini tubuhnya masih bergetar selepas tautan bibir mereka.
"Ayo sarapan dan setelahnya mandi bersama."
Sungguh, Aaron tidak membiarkan jantung Ivory bekerja senormal biasanya.