"Aku akan berbalik supaya Nona Kelana bisa dengan nyaman melepaskan celananya," ucap Cakara memecah keheningan.
"Tapi biarkan wanita itu saja yang memeriksa Ivory. Sebagai pasangannya, aku tidak—"
"Sekarang atau tidak sama sekali, Tuan Magnifico," potong Dokter Gery. "Saya tidak akan mengulangnya lagi."
Ivory memandang cemas pada dokter di hadapannya. Pada akhirnya, ia melepaskan rematannya di kemeja Aaron dan mengangguk menenangkan pada pasangannya. Ia sadar diri bahwa dirinya tak boleh banyak meminta.
"Tak apa, Aar," ujar Ivory menenangkan.
"Akan ku ambilkan selimut untuk menutupi--"
Terry menahan Aaron yang tangannya terulur hendak mengambil selimut di ujung ranjang. "Anda membuang waktu kami, Tuan Magnifico. Tak usah ditutupi dan bergegas lah menuruti perintah kami," ujarnya terlihat mulai kesal.
Gadis itu menatap celana bahan yang dikenakannya. Ia melirik ke arah Cakara sekilas yang kini telah berdiri membelakanginya. Netranya kemudian menatap lagi pada pasangannya yang nampak jelas siap mendebat wanita dingin di hadapannya. Namun, sebelum semuanya semakin rumit, Ivory memberikan gelengan pelan pada Aaron sebagai tanda bahwa ia tak apa.
Dengan berat hati, ia menurunkan celananya. Ia mengabaikan rasa malu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Walau ia tak rela orang lain melihat tubuh bagian bawahnya, tapi ia tak juga dapat menolak keinginan mereka.
Dokter Gery lalu meletakkan sebuah alat yang terlihat ganjil di atas kursi. Seperti sebuah bantal berwarna perak terang, namun di atasnya terdapat pipa kecil berukuran setidaknya 10 cm yang terlihat lentur. Ia menunjuk pada alat itu seraya menjelaskan pada Ivory.
"Silakan posisikan tubuhmu hingga tube tersebut masuk ke dalam lubang vaginamu."
Menarik napas dalam-dalam, Ivory mulai duduk dan berusaha menurunkan tubuhnya hingga pipa itu menyentuh pintu kewanitaannya. Sensasi dingin seketika menyergap dan membuat ngilu sekaligus. Apalagi kala Dokter Gery mendorong pundak Ivory agar lebih turun dan memasukkan alat itu ke dalam tubuhnya.
"Aww..."
"Dok, jangan memaksanya," tegur Aaron. Ia mengabaikan tatapan tajam dari Dokter Gery dan bergegas mendatangi pasangannya."Ivy, kau tak apa?"
"Ku peringatkan padamu Tuan Magnifico. Jangan ikut campur dengan tugas kami. Diam dan tenang lah atau akan ku panggil Guardian yang lain untuk mengamankanmu," ucap Dokter Gery sinis. "Nona Kelana, teruskan. Masukkan benda itu."
"Aku tak apa, Aaron," ucap Ivory terbata.
Ia memberikan seulas senyum yang dipaksakan dan kembali fokus akan alat yang sudah setengah masuk ke dalam tubuhnya.Gadis yang setengah ketakutan itu menurunkan tubuhnya lebih rendah lagi. Ia membiarkan tube itu memasuki kewanitaannya. Semakin menusuk lubang sempit yang masih terasa sakit akibat percintaannya tempo hari. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat kala alat itu terasa semakin menyakiti dan merobek kulitnya sedikit demi sedikit.
"Ouch ... Sshh .."
"Ivy."
"Diam di tempat, Tuan Magnifico!" tegur Dokter itu lagi.
"Sedikit lagi, Nona Kelana, dan akan selesai," ucap Cakara menenangkan walau pun pria itu masih setia memandang tembok.
Ucapan menenangkan itu dibalas dengan tatapan tajam dari Aaron.
Satu dorongan pelan hingga alat itu sukses masuk seluruhnya ke dalam lubang Ivory. Ia menahan kuat-kuat hasrat yang mulai tumbuh kala alat itu menggelitik syarafnya. Bernapas tipis-tipis dan berharap dirinya akan baik-baik saja karena sumpah Ivory akan mati saking malunya.
Dokter Gery dan Terry menyentuh tombol-tombol dari hologram yang terpancar dari jam tangan yang mereka kenakan. Mereka mengatur beberapa panel hingga tube itu mencengkeram kuat bagian terdalam dari targetnya. Tak berapa lama, sebuah jeritan lolos dari bibir tipis Ivory.
"Aww ... Sakit!"
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Aaron gusar. Ia nyaris menerjang Dokter Gery jika tidak ditahan Cakara.
"Tenang lah Tuan Magnifico. Jangan mengacaukan tesnya."
Ivory menggeleng ribut merasakan rasa sakit yang mendera bagian bawah tubuhnya. "Tidak! Hentikan! Lepaskan alat ini, ku mohon," pintanya yang mulai terisak.
"Ivory kesakitan! Hentikan tesnya!" raung Aaron.
Dokter Gery menampilkan senyum sinisnya. "Ini hanya tes. Diam saja atau kami akan membawa kalian berdua setelah ini."
Ivory menggertakkan giginya. Rasanya luar biasa sakit. Kewanitaannya terasa seperti dibakar dan ditusuk kuat-kuat dengan pisau. Panas dan perih. Ia bahkan menangis dan menggigit lidahnya agar tak mengerang lagi karena tak ingin mempersulit keadaan.
Isakan Ivory semakin kencang terdengar. Samar ia memandang Aaron yang berdiri tak jauh darinya dengan kedua tangan yang ditahan Cakara sementara Guardian itu menunduk tak memandangnya. Ivory menggeleng kuat-kuat menahan rasa sakit yang menggila hingga akhirnya rasa yang menyiksa itu hilang dalam sekejap. Sontak tabung yang semula mencengkeram lubangnya kuat-kuat terlepas. Bau anyir pun menyergap ke hidungnya dalam hitungan detik.
"Astaga, Ivy. Kau berdarah."
Aaron buru-buru menutupi tubuh bagian bawah Ivory dengan selimut. Ia langsung memeluk pasangannya itu dengan hangat. Pria itu mengusap-usap punggung telanjang Ivory yang bergetar dan sesekali melirik kewanitaan gadisnya yang ternodai darah.
"Nona Kelana berhasil. Ia lolos ke tahap selanjutnya," ucap Dokter Gery singkat. "Hasil testnya cukup. Kau melakukan tugas dengan baik, Tuan Magnifico."
Ivory masih menangis saat ia mengangkat kepalanya dari dada Aaron. Ia lega karena akhirnya bisa lolos dan tak mendapatkan hukuman. Nyawanya selamat kali ini, meski pun ia harus menerima rasa sakit dan malu secara bersamaan.
"Kalian bilang tesnya tak akan sakit? Kenapa Ivory sampai berdarah seperti ini?" tanya Aaron geram. Tanpa sadar, ia ikut menggertakkan giginya melihat pasangannya menahan luka.
"Terima kasih atas kerja samanya," ucap Terry.
Seketika mereka bertiga keluar dari kamar itu. Mereka meninggalkan Aaron yang kebingungan dan marah, serta Ivory yang masih menangis karena shock. Dengan lembut, Aaron melepaskan pelukannya dan mengecup dahi pasangannya hati-hati.
"Tunggu di sini sebentar. Aku harus berbicara dengan mereka."
Aaron berlari menyusul para tamunya dan menghentikan langkah pemuda Park dengan satu cengkeraman di bahu.
"Pergi begitu saja setelah melukai pasanganku. Tak ada rasa bersalah sedikit kah?"
Cakara berdehem dan membenarkan kerah kemejanya yang tertarik tangan Aaron.
"Itu prosedurnya, Tuan Magnifico," jawabnya tegas. Membiarkan bawahannya berjalan lebih dahulu ke dalam mobil sebelum berbisik singkat sehingga hanya Aaron yang dapat mendengarnya. "Miracetin. Beli lah di apotek terdekat dan jangan beri tahu siapa pun."
Belum sempat Aaron membalas perkataan Cakara, sebuah seruan nama dan pelukan dari arah belakang mengejutkannya.
"Sayang, Aku merindukanmu!"
Joy, calon istrinya datang dan mengecup punggung Aaron dengan kecupan ringan serta pelukan erat yang sulit dilepas.
"Kau melukaiku karena mengabaikanku dari kemarin," ucap Joy dengan nada merajuk. Wanita itu mulai melancarkan aksi rayuannya yang ia yakin tak bisa diacuhkan begitu saja oleh lelakinya. "Hari ini Mama berulang tahun. Aku tak mau tahu, pokoknya kau harus datang ke rumah malam ini. Ayo temani aku cari kado yang cantik untuk Mama!"
Dan entah mengapa Aaron menurut saja kala Joy menyeret tangannya pergi menjauhi rumah dengan antusiasme yang membuncah. Tak ada waktu untuk sekedar bilang 'tidak' untuk kekasihnya. Terlebih saat Si Cantik itu memeluk pinggang dan mengecup tangannya berkali-kali.
Tak tahu saja dari balik jendela, Ivory berdiri menatapnya dengan mata yang basah. Gadis itu meremat dadanya yang terasa nyerimelihat pemandangan menyenangkan di hadapannya. Ia tak menyangka Aaron akan meninggalkannya di saat ia membutuhkannya.
"Aaron..."