"Bagaimana bisa tidak tahu? Memang kemarin kalian kemana saja? Kalian tak memperhatikan dia pergi kemana? Kenapa tak ada satu pun yang tahu?"
Wanita berambut pendek itu menunduk, diam membeku. Tuannya itu memang jarang marah, tapi bukan berarti tak pernah. Ia hanya akan marah pada hal-hal tertentu. Terutama yang menyangkut pada "kepemilikannya".
Terakhir kali Aaron Magnifico murka yaitu pada saat kekasihnya yang cantik itu terpeleset di rumahnya karena asisten rumah tangga tersebut terlalu basah dalam mengepel lantai. Aaron yang khawatir secara refleks langsung memarahi pembantunya yang dianggap lalai. Selain kejadian itu, tuannya tak pernah menunjukkan emosi berlebihannya, kecuali berhubungan dengan "kepemilikannya" yang dalam bahaya.
Seperti hari ini.
Tuannya pulang pagi-pagi buta dan tak mendapati pasangan Copulation-nya berada di rumah. Ivory menghilang, dengan coatsdan boots-nya. Obat pereda nyerinya juga ditinggal. Padahal anjuran dokter mengatakan jika penggunaan salep itu harus berkala. Setidaknya dua jam sekali. Akan tetapi, gadis itu pergi dari rumah begitu saja tanpa ada satu pun yang tahu kemana perginya.
Aaron panik.
Terlebih terakhir kali matanya memandang bias kesakitan pasangannya itu yang menahan rasa sakit karena pemeriksaan sialan itu. Bagaimana jika Ivory pingsan di suatu tempat? Bagaimana jika tak ada yang menyelamatkannya? Bagaimana jika gadis itu tengah kesakitan sendiri saat ini?
"Sial!"
Aaron membuang ponselnya yang tak berguna dan bergegas keluar rumah. Ia menyusuri jalanan demi jalanan untuk mencari keberadaan gadis manisnya. Langkah kakinya berjalan di tiap trotoar yang ia lewati dengan pikiran berkecamuk. Saat melewati kerumunan wanita tua yang saling berbisik membicarakan berita terkini di wilayahnya, ia merasa lututnya agak lemas.
"Kau dengar huru hara semalam? Beberapa orang mengatakan pasangan Copulation Darrel tertangkap oleh Guardian."
"Kenapa ia tertangkap?"
"Dia berkeliaran di malam hari. Sendirian. Pantas saja ditangkap. Dasar wanita bodoh."
"Ada juga pasangan Gilbert. Gadis berwajah dingin bernama..."
"Ah ya! Orang itu! Dia juga dibawa karena melanggar jam malam..."
Pikiran Aaron semakin kacau. Ia berlari dengan frustasi. Ia menanyai beberapa orang dengan wajah pucat pasi. Dirinya sungguh khawatir pasangannya juga terciduk seperti orang-orang yang digumamkan oleh wanita-wanita tua itu. Ia merasa begitu bodoh karena tak langsung memberikan pasangannya telepon genggam untuk mempermudah komunikasi.
Rasanya bak mencari jarum di tumpukan jerami.
Ia kemudian berlari kembali ke rumahnya. Tanpa mengunggu lebih lama lagi, ia bergegas menaiki mobilnya untuk menyusuri lokasi di sekitar sana. Ia melewati jalanan demi jalanan dengan mata yang terbuka lebar. Ia awas dan mencoba memindai setiap sudut tanpa terlewati sedikit pun. Sekali pun harus berkali-kali menerima klakson dari mobil di belakangnya, Aaron sama sekali tak peduli.
Beberapa jam ia mencari, masih juga wajah Ivory tak terlihat. Kali ini ia sedang dalam perjalanan kembali ke rumah dan bersiap untuk mendatangi Kantor Pusat Guardian dengan meminta bantuan kawannya yang merupakan seorang pengacara. Ia berencana mengajak pengacara untuk membela diri karena berjaga-jaga jika Ivory benar tertangkap oleh Guardian. Walau ia tak yakin seorang pengacara bisa membantu, setidaknya ia akan mencoba.
Aaron mengerang frustasi sebelum wajah Guardian yang tak asing baginya terpeta di hadapannya. Yang lebih mengejutkan lagi, pria itu datang dengan sosok yang dicari-carinya berjam-jam belakangan. Ivory datang bersama Guardian tersebut. Aaron buru-buru menepikan kendaraan, dan keluar dari mobilnya.
Ia bisa melihat pasangannya berjalan mengekori pemuda yang tingginya tak lebih dari dirinya. Saat melihat Aaron keluar dari mobil, Cakara langsung menghentikan langkahnya. Gadisnya yang semula berjalan dengan langkah lunglai juga kemudian mendongakkan kepalanya. Ketika pandangan mereka bertemu, seketika itu pula Ivory menundukkan kepalanya lagi.
"Selamat siang Tuan Magnifico, saya ber—"
"Kau bawa kemana Ivoryku?" Aaron langsung menarik pergelangan tangan Ivory hingga gadis itu tersentak dan berdiri dengan limbung tepat di belakangnya. Ia lalu memandang tajam ke arah Guardian yang sepatutnya ia segani itu.
"Saya hanya mengantarkan pasangan Anda pula—"
"Jangan buat ia dalam masalah," potong Aaron tegas. Matanya melirik sekilas ke arah gadis yang sedari tadi terdiam. "Dia milikku. Tanggung jawabku. Kalau kau ikut campur, maka aku bisa saja menuntutmu!"
Detik itu juga ia menarik pasangannya hingga masuk ke dalam mobil. Ia sedikit menyentak tangan kurus itu dan membanting pintu mobil lalu duduk di balik kemudi. Dengan cekatan, Aaron memutar balik arah setirnya dalam hitungan detik. Meninggalkan Guardian itu secara tak sopan.
"Kau kemana saja? Kau pikir apa yang kau lakukan? Berkeliaran sendiri di malam hari? Bersikap sok pemberani? Tak tahu kah kau bisa membahayakan dirimu sendiri?"
Ivory kaget. Terkejut setengah tak percaya. Pemuda tampan yang dikenalnya tak pernah membentaknya seperti ini. Atau setidaknya belum.
Aaron yang ia tahu akan berbicara lembut padanya, bukannya memarahinya tanpa alasan.
"Kau membuatku panik! Kemana saja kau pergi? Kenapa tidak pulang semalaman?"
"Aku hanya—"
"Kenapa tak memberitahu asisten rumah tangga untuk menemanimu kalau mau keluar?"
"Aku tidak—"
"Kau itu milikku! Tanggung jawabku! Berhenti lah bertindak semaumu!"
"Aku bukan barang!" teriak Ivory menahan emosi. Matanya memanas seketika. Ia merasa tak enak karena telah membentak orang yang harusnya ia hormati, namun dirinya tak bisa pula mengabaikan nyeri di dadanya. "Kau selalu bilang jika aku milikmu. Aku bukan barang! Bukan milik siapa pun!"
Aaron terdiam sejenak. "Ivory, maksudku—"
"Lagi pula apa pedulimu? Kau sudah selesai melaksanakan tugasmu, bukan? Kau sudah meniduriku. Tak perlu lagi menyakiti perasaanku dengan nada tinggimu."
Ivory mengusap air mata yang entah sejak kapan turun. Bayangan akan orang disampingnya yang memeluknya dengan hangat, mengecup bibirnya lembut, penyatuan tubuh mereka, dan desahan saat mereka berbagi kenikmatan tiba-tiba berkelebat di pikirannya. Bayangan yang kemudian terhapuskan dengan senyum merekah dari calon istri pasangannya, dan sentuhan-sentuhan tulus mereka. Ia merasa begitu merana.
Praktisnya, Ivory memang berfungsi hanya sebagai barang, tapi ia tak bisa menerima kenyataan jika Aaron memang memperlakukannya layaknya benda yang tak memiliki perasaan.
"Ivory, aku hanya khawatir padamu. Kau menghilang sejak semalam, dan tak ada orang rumah yang tahu kau pergi." Aaron menurunkan nadanya agar pasangan bermainnya tak lagi tersinggung. Ia menjelaskan lagi. "Dan juga kau datang bersama dengan orang yang harusnya kau jauhi. Aku hanya takut dia melukaimu. Dia jahat, Ivory. Kau harus menjaga jarak darinya."
'Kau yang jahat, Aaron,' batin Ivory. 'Kau lah yang seharusnya ku beri jarak. Aku tak mau jatuh terlalu dalam.'
"Jangan mengasihiku hanya karena kau melihatku terluka kemarin. Aku tak apa. Guardian itu justru malah menolong dan menyembuhkanku. Cakara bukan orang jahat."
"Kau memanggilnya dengan nama depan? Sudah seakrab apa kalian?"
"Bagaimana jalan-jalannya dengan Joy? Pasti menyenangkan bukan hingga kau tak pulang ke rumah?"
"Ivy, berhenti menangis. Aku minta maaf."
Ivory menghapus air matanya dengan kasar. Menghadapi pemuda di sampingnya ini sungguh menguras emosi. Ia ingin marah. Sangat ingin marah. Ingin mengumpat dan menyumpahi Aaron dan gadis berdada besar itu.
Namun, seberapa keras ia kesal pada pasangannya, ia tahu ia tak boleh egois. Ia tak berhak marah pada Aaron dan Joy. Ia bukan siapa-siapa. Ia harus tahu diri.
Terlebih lagi, ia akan mudah luluh dengan permintaan maaf dari sosok dominan itu.
"Maaf sudah meninggalkanmu saat kesakitan. Maaf membuatmu merasa tak nyaman. Maaf jika aku menyakitimu dengan kata-kataku."
Tekankan sekali lagi; Ivory sangat luluh akan ucapan maaf dari pasangannya. Terlebih jika pria itu sudah meraih jemarinya dan menggenggamnya erat. Apalagi saat pria itu membawa tautan jemari itu ke bibirnya dan mengecupnya hangat.
Ivory bisa apa selain memaafkannya?
"Aku memaafkanmu, Aar."
Detik itu pula Ivory tahu dengan pasti bahwa menjaga perasaannya tetap pada tempatnya hanya lah bualan belaka.