"Apakah masih sakit?"
Aaron menuangkan teh panas mengepul ke dalam dua cangkir kecil yang tertata rapih di atas meja. Teh hijau itu menguarkan aroma pahit khas yang menenangkan. Membuat rileks siapa pun yang menghirupnya. Tak terkecuali gadis berusia 20 tahun bernama Ivory Kelana.
Ia duduk di sana, canggung, dengan perasaan tak beraturan dan pikiran yang tak juga jernih. Hatinya masih bergejolak semenjak kejadian bentak-membentak dua jam yang lalu. Air matanya telah mengering tentu saja dan ia mencoba tersenyum dengan tulus di hadapan pasangannya.
Ivory sebisa mungkin menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Ia berkata jika baik-baik saja padahal hatinya terluka. Ia melatih emosi di dada yang terasa menggila. Jika ia kelewat batas, maka perasaannya akan semakin tercabik.
Berbicara kembali soal teh hijau, nyatanya minuman sederhana itu ampuh membuat deru napasnya kembali teratur. Teh tersebut membantunya untuk menata rangakaian emosinya supaya kembali ke tempat semula. Setelah beberapa menit berlalu, Ivory mulai tenang.
Aaron tak mengajaknya pulang ke rumah sesaat setelah mereka bertengkar. Pria itu malah berbalik mengemudikan mobilnya dengan kecepatan kencang menuju ke sebuah kedai minuman kecil namun terasa hangat. Bukan hanya penghangat ruangan disana yang membantu mengenyahkan hawa dingin, namun suasana tempat itu juga berpengaruh besar bagi pengunjungnya.
Sedetik ketika Aaron merangkul pinggang Ivory dan sedikit menarik tubuhnya agar menempel padanya, Ivory merasa jika Aaron membawanya ke tempat yang tepat. Buktinya hingga saat ini kegelisahannya perlahan memudar dan tergantikan oleh rasa kantuk yang teramat sangat. Entah kenapa ia tiba-tiba jadi ingin merebahkan kepalanya ke sofa empuk dari kedai teh itu.
"Tidak," jawab Ivory pelan. Ia mengambil cangkir teh dan menyesapnya perlahan. Membasahi bibir keringnya dengan hangatnya minuman tradisional itu.
Aaron masih memandangnya intens tanpa berkedip. Ia meneliti pasangannya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia merasa tak ada yang berubah dari Ivory selain mata indahnya yang terlihat memerah. Hidung mancung pasangannya juga memerah.
Ia menghela napas dan bangkit dari duduknya.
"Kau mau kemana?"
"Duduk di sebelahmu."
Ivory sedikit menggeser tubuhnya agar Aaron mendapat lebih banyak space, namun langsung digagalkan oleh remasan di bahunya. Aaron menahannya untuk bergerak sedikit pun. Pria itu bahkan memberikan gelengan singkat pada Ivory.
"Jangan geser. Jangan jauh-jauh dariku."
Ivory terkesiap. Ia masih merasa canggung dengan rangkulan akrab di bahu kanannya. Terlebih Aaron saat ini masih memandanginya, membuat Ivory mau tak mau memalingkan wajah dan asyik menatap cairan mengepul di cangkirnya.
"Aku tak suka kau dekat-dekat dengan Guardian itu."
"Aku tak suka kau meninggalkanku demi Joy."
Ivory menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sial mulut lancangnya. Kenapa pula ia harus membalas ucapan Aaron?
Ia menggeleng kuat-kuat. Menyadari kesalahannya saat itu juga. "Maafkan aku." ucapnya lirih. "Bukan itu maksudku. Aku hanya—"
"Kau benar-benar tak suka melihatku pergi bersama Joy?"
Ivory mengangkat kepalanya. Ia memaksa dirinya untuk memandang mata amber Aaron yang tengah menatapnya dengan pandangan merasa bersalah. Kilat mata Aaron juga seolah memaksanya untuk berbicara jujur tanpa ada kebohongan. Ivory tahu, Aaron serius dengan pertanyaannya.
"Jawab aku, Ivory."
'Apa pedulimu? Kau hanya pasangan semuku.' Ingin rasanya Ivory mengutarakan kalimat yang menari-nari di kepalanya.
"Ivory?"
"Benar. Aku tak suka melihatmu pergi menemuinya," jawab Ivory dengan suara yang teramat pelan. Kalimat itu benar, namun terasa salah. Ia takut membuat kesalahan dengan mulut lancangnya, namun ia sendiri tak bisa membohongi perasaannya."Setidaknya, boleh kah aku cemburu padanya? Walau hanya sementara?"
Ivory kembali menundukkan pandangannya. Ia meletakkan cangkir tehnya yang baru ia sesap sedikit. Gadis itu merasa lebih merana dari sebelumnya. Ia tak tahu apa yang dipikirkan Aaron. Mungkin dirinya harus menyiapkan konsekuensi terburuk kala perasaannya turut andil dalam permainan konyol ini.
Sementara itu pemuda yang enam tahun lebih tua darinya tersebut mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Ia memang ingin Ivory untuk jujur padanya, namun dirinya cukup terkejut mengetahui jika gadis itu cemburu. Aaron tak memperkirakan hal itu sebelumnya.
Ia diam saja memandangi salju yang turun. Terlalu banyak hal yang ia pikirkan. Keningnya berkedut menahan rasa pening. Cukup lama ia terdiam sebelum sebuah pemikiran terlintas di benaknya.
Ia meragu. Sedikit tak percaya diri akan apa yang ia ingin utarakan, namun ia tak bisa menemukan ide lain selain yang ini. Meskipun tak tahu apa kah hal yang ingin ia tawarkan pada Ivory ini benar, namun ia ingin mencobanya.
"Mari kita buat perjanjian."
Aaron menyentuh lembut dagu pasangannya dan memaksa pasangan Copulation-nya untuk menatapnya lagi. Dirinya menyelami violet eyes indah yang kembali berair. Ia tak bosan memandang wajah ayu Ivory yang saat ini terlihat kacau. Dadanya terasa sesakmengetahui bahwa gadis itu menangis karenanya.
"Perjanjian apa?" tanya Ivory dengan suara parau.
Aaron menarik napas dalam-dalam dan mengenyahkan keraguan dan bayangan sang tunangan yang tak jua pergi dari pikirannya.
"Katakan apa yang kau mau dari hubungan kita selama Copulation ini berlangsung. Aku ingin tahu apa saja hal yang tak kau sukai, dan akan ku katakan yang sebaliknya pula."
Ia tak mengerti, apakah dalam hubungan normal antara pria dan wanita diperlukan perjanjian? Tapi kemudian ia sadar bahwa hubungan mereka berdua saja tidak bisa dikategorikan sebagai "normal". Tentu, ia tak berani mempertanyakan itu pada Aaron.
Ivory tak bergeming. Ia terlihat ragu akan tawaran menjanjikan itu. Terdengar menarik, walau ia tahu penawaran itu tak akan benar-benar melegakan hatinya. Perasaannya tak enak, tapi ia tak bisa menolak.
"Kau mau?" tawar Aaron lagi.
Ivory memundurkan wajahnya sehingga tangan Aaron terlepas dari dagunya. "Apa yang kita dapat dari perjanjian ini?" tanyanya.
Aaron memandang ke sudut ruangan selama beberapa detik sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Rasa nyaman."
Nyaman...
Terdengar menggiurkan.
Bukankah rasa nyaman juga tak kalah penting?
"Baik lah," jawabnya pada akhirnya. "Kau duluan."
Aaron merogoh kantung celana jins yang ia kenakan dan tersenyum manis pada Ivory. "Ku rasa kita butuh smartphone untuk mencatatnya," ucapnya sebelum mengeluarkan ponselnya.
"Jangan," tahan Ivory. Ia memandang kikuk ke arah pasangannya itu dan menjawab dengan nada berbisik. "Ku rasa sesuatu yang konvensional akan lebih autentik."
"Konvensional?"
"Maksudku, jika kau menuliskannya di ponsel, itu bisa saja terhapus dan hilang. Tapi jika kita menuliskannya di atas kertas misalnya, ku rasa akan lebih awet," ujar Ivory seraya memandang ke arah meja, mencari kertas kosong. Entah bagaimana otaknya bisa kembali bekerja di saat seperti ini.
Aaron tertawa pelan dan memajukan wajahnya hingga sebuah kecupan mendarat di pipi Ivory.
"Kau kreatif, Ivy."
'Apa yang kau lakukan, Aar?'
"Aar..." rengek Ivory. Ia menyentuh pelan pipi kanan bekas kecupan singkat itu dan menggigit bibir bawahnya menahan senyuman. "Apa-apaan sih kau ini? Di sini ada banyak orang. Aku malu."
"Maafkan aku," kekeh Si Pria.
Mengabaikan wajah Ivory yang kini semerah tomat rebus, Aaron bangkit dari duduknya dan memanggil seorang pelayan. Ia meminta sebuah kertas dan pulpen. Kurang dari semenit kemudian, kedua benda "konvensional" itu telah tersedia di atas meja.
"Baik, kertas ada, pulpen ada. Kau dulu yang mulai."
Ivory menggeleng dan mengibas-kibaskan tangannya di udara. "Kau dulu, Aar. Baru aku."
"Tak mau. Kau dulu."
"Aar..."
"Kau dulu."
"Aaron..."
"Kau dulu."
"Ish, dasar!"
Ivory menerima pulpen itu dan mengetuk-ketukkannya selama beberapa saat. Ia menatap kesal pada kertas putih bersih di hadapannya dengan pandangan menuduh. Seolah-olah kertas itu adalah penyebab rasa kesalnya pada Aaron.
"Kau yang menuliskannya ya? Tulisanku tidak terlalu bagus," pinta Ivory pada akhirnya.
"Oke." Aaron mengacak-acak rambut Ivory sebelum mengambil pulpen darinya dan mengabaikan aduhan pasangannya. "Apa yang tak kau sukai dari hubungan ini?"
Butuh semenit penuh sebelum Ivory menjawab pertanyaan itu.
"Aku tak suka jika kau masih menemui Joy dan menghabiskan waktu dengannya."
Aaron menganggukkan kepalanya lambat-lambat. "Kau tak suka itu? Jadi apa yang kau mau?"
'Jangan egois, Ivory... Jangan egois... Jangan... Egois...' Ia merapal mantera itu di kepalanya.
Bagaimana jika ia menjadi orang egois untuk kali ini saja?
"Jika aku mengatakannya kau pasti akan menurutinya?"
"Harus," jawabnya. Kemudian Aaron menambahkan lagi. "Ini 'kan perjanjian."
Ivory mengingat-ingat apa saja yang mengganjal di perasaannya, dan semuanya berpusat pada seorang gadis yang melunturkan kepercayaan diri yang coba ia pupuk.
"Berhenti menemuinya kecuali dalam keadaan darurat."
Ivory kira akan membutuhkan waktu lama bagi Aaron untuk memikirkan permintaannya yang berlebihan, namun ternyata salah. Pria itu langsung menuliskannya tanpa ragu-ragu di sana dengan tulisan tangan yang rapih dan indah dilihat. Tak ada keraguan sedikit pun untuk menuruti keinginan Ivory.
Tidak menemui Joy kecuali dalam keadaan darurat.
Kalimat itu yang tertulis di atas kertas.
"Dengan persetujuanmu?"
Ivory mengangguk pelan. "Dengan persetujuanku."
... dan dengan sepersetujuan Ivory.
Aaron menambahkan empat kata itu dalam poin nomor satu yang tengah mereka susun.
"Apa lagi?"
"Aar, kau yakin dengan permintaanku?" tanya Ivory merasa tak enak hati.
"Aku yakin."
"Tapi kau tidak akan benar-benar melupakannya, bukan?"
"Ivy, kau tahu aku tak bisa melakukan hal itu," jawab Aaron. Ia menarik napas dan membalas dengan nada yang lebih rendah. Nada yang lebih terdengar seperti meminta pengertian untuknya. "Kau tahu bagaimana situasinya."
Ivory mengangguk selambat mungkin. Masih terasa sesak mendengar jawaban diterimanya. Ia mengerjap beberapa kali dan mencoba bersyukur banyak-banyak. Tak semua Kaum Sekunder mendapatkan kesempatan bertemu dengan orang sebaik Aaron. Ia harus menanamkan pengertian itu di kepala besarnya.
Gadis itu lalu mencari-cari lagi hal yang ingin ia rubah dari hubungan mereka. Ia menatap ke arah kertas yang mulai tertulis satu poin dengan tinta merah. Merah adalah simbol dari gairah dan energi yang kuat. Bisa pula melambangkan kegembiraan dan semangat akan dimulainya hal baru dalam lembar kehidupan. Warna merah dari tinta perjanjian itu semakin mempertegas akan ikrar yang tertulis di sana.
Ivory mempunyai perasaan kalau lembar yang diukir pasangannya itu akan menjadi pedoman penting dalam permainan yang mereka mainkan. Lembar itu akan menjadi patokan bagi mereka supaya tidak melewati batas yang telah ditetapkan bersama. Setidaknya itu yang ia pikirkan hingga detik ini.
Ivory harap begitu.