Chereads / Cakrawala Asmaradanta / Chapter 39 - Chapter 39: Bagai Makan Buah Simalakama

Chapter 39 - Chapter 39: Bagai Makan Buah Simalakama

Waktu berjalan begitu cepat menurut Ivory.

Sudah hampir beberapa waktu berlalu setelah tahap Pre-Checking diadakan. Ia masih saja belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Memang ia belum mendapatkan haidnya di bulan ini. Mereka juga belum melakukan kopulasi lagi setelah pertengkaran dan perjanjian yang tercipta di antara keduanya. Aaron sendiri belum memintanya untuk melayaninya lagi. Maka,jadi lah hari-hari berlalu dengan Ivory dengan berdiam diri di dalam rumah dan menunggu pasangannya kembali dari bekerja.

Namun, berbeda dengan hari ini.

Pagi tadi pasangannya dengan penuh semangat mengajaknya untuk berangkat ke tempatnya bekerja. Aaron meminta Ivory untuk ikut bersamanya untuk sekadar singgah dan melihat-lihat kantornya. Ia bilang, dirinya tak tega melihat Ivory harus sendirian selama sembilan jam nyaris setiap hari. Bahkan di weekend saja Aaron terkadang masih lembur mengerjakan pekerjaannya. Itu sebabnya, ia mengajak Ivory untuk mengunjungi kantornya.

Dan disini lah ia berada.

Ivory berdiri dengan kikuk di depan sebuah bangunan kaca berpuluh lantai dengan pasangannya yang menariknya masuk. Aaron membuyarkan lamunan Ivory kala tangan pria itu disematkan di pinggulnya, sementara tangan ringkih Ivory dibimbingnya untuk bertautan dengan miliknya. Aaron menyunggingkan senyum lebar guna menghapus keresahan yang dirasakan pasangannya.

"Aku pernah berjanji untuk mengajakmu melihat-lihat tempatku bekerja, bukan begitu Ivy?"

Ivory mengangguk lambat-lambat. Sedikit tak percaya Aaron masih mengingat janjinya saat itu. Padahal ia sendiri nyaris lupa jika tidak diingatkan Aaron.

Ia memperhatikan lingkungannya dengan pandangan ragu. Beberapa orang berdiri menyambutnya dengan bungkukkan dan senyum tipis. Semuanya terlihat begitu berbeda. Sebuah kelas yang berbeda dari apa yang biasa menghujani pandangannya.

Di kantor ini, tak ada debu seperti di tempat tinggalnya. Tak ada noda di pakaian yang orang-orang kenakan. Tak ada sepatu bekas lusuh seperti yang ia simpan di rumah. Semuanya menampilkan kesan kesempurnaan yang menyilaukan matanya. Ivory tak terbiasa.

Mereka berdua melangkah masuk dengan puluhan tatap mata menuju ke arahnya. Sekali lagi, ia merasa risih akan perhatianorang-orang itu. Ivory kemudian menarik tangannya menjauh dari Aaron dan menggelengkan kepalanya.

Aaron memandang pasangannya yang menundukkan kepala. "Ivy?"

"Kau jalan duluan saja, Aar. Aku berjalan di belakangmu," bisik Ivory. Ia mundur beberapa langkah dan semakin menyembunyikan wajahnya di balik tangannya yang menutupi dahinya. Ia merasa begitu kecil. Nyalinya untuk menemani pasangannya bekerja menciut dan buyar diterpa angin. Ia ingin pulang saat ini juga.

"Memangnya kenapa?"

Ivory sedikit mengangkat kepalanya saat menjawab pertanyaan lembut Aaron. "Nanti mereka semua tahu kalau aku pasanganCopulation-mu. Bagaimana dengan tunanganmu?"

Aaron tersenyum simpul. Ia berjalan mendekati pasangan Copulation-nya dan menarik dagunya. Pria tampan itu mengabaikan netra bulat Ivory yang membola kala ia tanpa keraguan mengecup bibir manis gadisnya di hadapan puluhan pasang mata orang.Aaron membuat jantung Ivory berhenti berdetak.

Refleks Ivory menarik tubuhnya mundur dari Aaron. Akan tetapi, tangan yang bertengger di pinggulnya semakin menekan tubuhnya untuk menempel di dada pasangannya. Bersamaan dengan kecupan yang semakin intim, Aaron membuat gadisnya kelimpungan mengais oksigen.

Kaum Primer itu menyesap bibir bawah Ivory tanpa ragu-ragu dan mengembuskan hangat napasnya ke depan wajah Ivory. Ia begitu lihai meruntuhkan pertahanan gadisnya. Aaron mengabaikan banyak orang yang mulai berkasak-kusuk membahas perbuatan intim kedua insan itu. Hingga saat Ivory menepuk dadanya sebanyak tiga kali, Aaron baru melepaskan tautan bibirnya dari bibir pasangannya.

"Aaron—"

"Aku harus sering-sering mengajakmu kemari agar kau terbiasa," bisik Aaron setelah melepas pagutannya. Ia mengusap bibir yang berkilat basah itu dengan ibu jarinya dan mengecup ujung hidung mancung gadis manisnya sekilas. "Kau pasanganku saat ini, jadi biasakan lah menerapkan hal itu di kepala mungilmu agar kau tak merasa canggung lagi, Ivy."

Ivory mengerjapkan matanya beberapa kali. Silau akan wajah bercahaya Aaron dan ucapannya yang sedikit memabukkan. Ia memandang ke arah belakang kepala Aaron dimana orang-orang masih memperhatikan adegan tak senonoh itu dengan raut wajah penasaran.

"Tapi—"

"Aku akan memperkenalkanmu pada semua orang bila perlu, supaya mereka tahu siapa pemilikmu saat ini," tegas Aaron. Ia menelusuri tangan Ivory yang berjejer kaku di sisi kanan-kirinya. Tangan itu bergulir, kembali menautkan jemarinya pada jemarin Ivory dan menarik gadisnya untuk berjalan lagi.

"Ayo masuk."

Mereka berdua berjalan bersisian dengan Aaron yang menggenggam erat tangan kirinya. Ivory mencoba sekuat tenaga agar tidak tersandung kala menghindari tatapan dari beberapa orang di sana. Ia menelan ludahnya yang tercekat di tenggorokan. Tubuhnya panas dingin. Ia tak terbiasa menjadi pusat perhatian.

Akan tetapi, respon yang berbeda terpeta pada sosok pasangannya. Aaron berjalan dengan langkah ringan namun mantap. Ia menyapa beberapa rekan kerjanya sembari mereka memasuki elevator. Ia bahkan menyunggingkan senyum lebar pada salah satu rekannya yang menanyakan apa kah gadis di sebelahnya itu istrinya atau bukan. Dengan jumawa Aaron menyebut Ivory sebagai pasangannya.

Tak ada istilah Copulation di belakangnya.

Jawaban itu membuat ribuan kupu-kupu beterbangan di perut Ivory.

Setelah mendengar jawaban itu, Ivory bisa sedikit lebih menegakkan berdirinya walau di bawah sana kakinya masih bergetar tremor. Ivory tak mampu berhenti memandang tautan kedua tangan mereka. Ia menggigit bibir bawahnya menahan senyuman yang serasa tak bisa dihentikan. Hingga saat sebuah bisikan lembut mengalun di telinganya, Ivory buru-buru memasang wajah datar sambil berharap Aaron tak mendengar debaran jantungnya.

"Kita ke ruanganku dulu baru ku ajak keliling, oke?"

Ivory mengangguk antusias. "Ruanganmu ada di lantai berapa?"

Tanpa disangka, Aaron membawa tautan jemari itu ke tepi bibirnya dan mengecup jemari Ivory singkat. Perlakuan itu sukses membuat Ivory meleleh. Tubuhnya seperti menjelma menjadi liquid karena ia tak bisa merasakan pijakan kakinya lagi. Aaron begitu lihai membuatnya tersipu tanpa ragu.

"Lantai dua puluh lima. Di sana sudah ada beberapa orang yang perlu ku temui untuk rapat hari ini. Sebelum itu, aku akan mengajakmu berkeliling dulu."

"Nanti kau terlambat rapat?"

"Masih ada waktu," sahut Aaron kala pintu elevator berhenti di lantai sepuluh. Ia menggeser badannya lebih menempel pada Ivory saat tiga orang masuk dan melesakkan tubuh mereka di space sempit itu. "Setelah berkeliling, baru aku rapat. Kau nanti tunggu di ruanganku saja."

"Oke," jawab Ivory singkat sambil menyunggingkan senyuman.

Sayup-sayup ia mendengar bisik-bisik dari tiga orang yang baru saja berdiri di belakangnya. Ia mendengar nama Joy terselip terlewat pelan dari bibir salah satu penggosip itu. Secara otomatis senyum yang semula menghiasi wajahnya sirna seketika.

Apakah Aaron mendengar kasak-kusuk di belakangnya?

Sebelum ia mendengar lebih jauh pembicaraan di belakangnya, elevator kembali berdenting. Mereka tiba di lantai dua puluh lima. Aaron, dengan genggaman tangannya, mengajak Ivory keluar. Sebelum pintu tertutup sempurna, Ivory sempat mendengar kalimat yang mengusik rasa bahagianya hari ini.

"Jangan-jangan dia perebut pasangan orang? Padahal tunangan Tuan Magnifico jauh lebih cantik."

Dua kalimat itu membuatnya seketika melepaskan genggaman tangannya dari Aaron. Aaron yang memperhatikan hal itu seketika mengernyitkan keningnya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada yang terlampau lembut.

"Kenapa, Vy?"

Ivory menggeleng pelan. "Tak apa," jawabnya mencoba ceria. "Yang mana ruanganmu?"

Aaron tak tinggal diam. Ia kembali meraih pinggul Ivory seraya keduanya berjalan menuju ke ruang kerjanya. Sembari berjalan, ia bercerita mengenai pekerjaan yang ia geluti di sana.

"CFO itu apa?" tanya Ivory penasaran.

Ia tak memiliki banyak pengetahuan tentang istilah-istilah yang umum di Kaum Primer. Seorang Kaum Sekunder sepertinya hanya mengerti mengenai jual beli dan beberapa pekerjaan umum lainnya yang digeluti kaumnya. Istilah tersebut begitu asing di telinganya.

"CFO itu Chief Financial Officer. CFO adalah pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab akan segala hal di bidang keuangan perusahaan. Singkatnya, CFO adalah direktur keuangan. Tugasku sebagai CFO itu melacak arus kas dan perencanaan keuangan. Aku juga diharuskan mampu menganalisis kekuatan dan kelemahan keuangan perusahaan, juga mengusulkan tindakan korektif," terang Aaron.

Ivory menggeleng lambat-lambat. "Rumit juga ya. Aku tak terlalu paham," akunya.

Dengan sabar Aaron menjelaskan lagi dengan istilah yang lebih sederhana.

"Secara gampangnya, CFO ini berperan sebagai bendahara atau pengontrol keuangan. Soalnya CFO akan bertanggung jawab mengelola divisi keuangan dan akuntansi. Aku harus mampu memastikan bahwa laporan keuangan perusahaan akurat dan selesai tepat waktu," jelasnya.

"Pantas saja uangmu banyak," celetuk Ivory.

"Ah, tidak juga. Aku tak seberapa," jawab Aaron rendah hati.

Ketika keduanya membuka pintu ruang kerja Aaron, di sana terdapat seorang pria paruh baya yang tengah duduk bersama dengan seorang gadis muda. Mereka berdua sontak berdiri untuk menyapa Aaron. Saat itu, Ivory refleks hendak membungkukkan badannya sebelum ditahan oleh Aaron.

"Aaron! Sudah ku tunggu dari tadi. Aku sekalian membawa proposal wedding organizing yang telah ku kumpulkan. Kau bisa memilih tema mana yang sesuai untuk pernikahanmu dengan Joy. Tunanganmu bisa langsung—"

"Warner, kita bahas nanti."

Mendapati ucapannya dipotong, pria paruh baya itu lalu mengalihkan pandangannya ke arah Ivory yang menunduk. Begitu netra pria itu memindai wajah Ivory, ia segera mengernyitkan keningnya dalam-dalam. Ia baru sadar jika wanita yang berjalan bersisian dengan Aaron bukan lah Joy.

"Aar, siapa dia? Dimana Joy?"

"Dia pasanganku. Kita bahas tentang Joy nanti saja—"

"Jangan bilang kalau kau ikut Copulation! Yang benar saja, Aar. Kau ini mau menikah! Kemarin saja Joy dan calon ibu mertuamu sudah datang untuk melihat kateringnya."

"Warner, kita bahas nanti. Aku sudah—"

"Astaga, Aar. Kau ikut Copulation untuk apa sih? Kenapa sampai perlu membawa gadis kampung ini ke kantormu? Mengotori ruangan Kaum Primer saja."

Ivory bersumpah jantungnya nyaris jatuh ke permukaan tanah mendengar ucapan dari rekan kerja Aaron itu.