Chereads / Cakrawala Asmaradanta / Chapter 41 - Chapter 41: Guilty Pleasure

Chapter 41 - Chapter 41: Guilty Pleasure

Ivory dan Aaron kembali ke rumah pada pukul lima sore.

Di sepanjang perjalanan pulang hingga tiba di rumah, hanya Aaron yang aktif mengajak bicara Ivory. Gadis itu akan menyahuti namun tak akan menanyakan balik pembahasan yang tengah mereka perbincangkan. Benak Ivory masih dipenuhi akan bayangan luka di tangan Camelia.

Ia begitu penasaran, kenapa Camelia bisa terluka seperti itu. Siapa yang melukainya? Apa kah Camelia melukai dirinya sendiri? Mengapa?

Ivory sungguh ingin tahu itu semua.

"Ivory, kau jadi pendiam sejak pulang dari kantor. Ada apa? Apa kau tidak enak badan?"

Gadis yang ditanyai hanya menggeleng ringan. "Tidak. Aku sehat-sehat saja," jawabnya.

"Terus kenapa? Bad mood? Capek? Mau makan lagi?"

Ivory tersenyum canggung mendengar perhatian yang ditunjukkan Aaron. "Tidak. Tak usah," sahutnya.

Aaron merebahkan punggungnya pada ranjang. Ia memejamkan mata dan mulai merasa mengantuk. Sebelum kantuk mengambil alih kesadarannya, ia menyadari sepatunya dilepas oleh Ivory. Aaron membuka mata dan melihat pemandangan Ivory yang tengah melucuti kaus kakinya.

"Mau ku ambilkan air hangat? Kalau sedang lelah, merendamkan kaki di air hangat bisa membuat kita lebih rileks," tawar Ivory.

Aaron tak bisa menahan senyumannya. Sudah hampir sebulan ini Ivory melayaninya. Gadis itu selalu dengan sabar menanti kepulangannya dari bekerja. Menyiapkan makan malam bersama asisten rumah tangga. Menyiapkan pakaian yang hendak dikenakannya hingga merapihkan ranjang tempat mereka berdua tidur bersama.

Ia tertegun akan sikap sigap Ivory yang melayani segala keperluannya. Padahal jika Ivory mau, ia tinggal meminta para asisten rumah tangga Aaron untuk memenuhi segala keperluan mereka. Tak jarang Aaron meminta Ivory untuk bersantai saja, namun gadis itu selalu menolaknya. Ia bilang, sudah menjadi kewajibannya untuk melayani segala kebutuhan Aaron dari bangun hingga tidur lagi.

Hal itu yang tak ia temukan pada Joy.

Jika dengan Joy, gadis itu mengandalkan asisten rumah tangga untuk hampir segala kebutuhan. Gadis itu hanya lihai memasak, namun kepayahan untuk mengurus rumah … bahkan mengurus Aaron. Oleh karena itu, rasanya begitu asing mengetahui ia diperhatikan sedemikian rupa oleh gadis yang baru ditemuinya dalam waktu singkat ini.

"Harusnya aku yang tanya begitu. Wajahmu tegang sejak dari kantor tadi. Aku saja ya yang ambilkan air hangat untukmu?"

Ivory buru-buru menggeleng ribut. "Tidak! Kenapa jadi aku? Aku 'kan ingin melayanimu."

"Aku juga mau melayanimu."

"Eh, jangan begitu! Kau 'kan Kaum Primer. Mana boleh begitu." Ivory buru-buru bangkit dari posisi jongkoknya. "Aku ambilkan sekarang, ya."

Sebelum Ivory benar-benar melangkah pergi, Aaron telah lebih dulu mencekal lengan gadis itu. Akibat cekalan di tangan, tubuh Ivory tertarik ke belakang dan jatuh menimpa tubuh Aaron. Jidat mereka bertabrakan dan keduanya mengaduh bersamaan.

"Ouch!"

"Duh!"

Aaron dan Ivory sama-sama mengusap dahi mereka masing-masing. Aaron langsung menyentuh lembut dahi Ivory dan melemparkan tatapan bersalah sambil menahan geli. Di detik berikutnya, tawa Aaron pecah seketika.

"Maafkan aku. Apa dahimu sakit?"

"Sedikit," jawab Ivory. "Kenapa menarik tanganku, sih? 'Kan jadi jatuh."

Aaron terkekeh. "Niatnya biar romantis. Agar tubuhmu jatuh ke ranjang dan ku peluk. Malah jadinya tabrakan begini. Maaf, ya," aku Aaron polos.

Ivory ikut tertawa mendengar penuturan pasangannya.

Aaron masih mengusap-usap dahi Ivory yang menindih tubuhnya. Keduanya terkikik geli karena merasa konyol satu sama lain. Setelahnya, Aaron menggeser tubuh Ivory agar rebahan di sebelahnya.

"Aar, aku harus mengambilkanmu air hangat—"

"Nanti saja. Aku tak butuh air hangat. Butuhnya kau."

Dasar perayu ulung.

Rayuan itu namun mampu membuat Ivoy tersenyum lebar.

"Aku di sini kalau kau perlu sesuatu."

"Tidur lagi denganku ya malam ini?"

Kendati Ivory telah mempunyai kamar pribadi, namun Aaron kerap meminta gadis itu untuk tidur bersamanya. Hampir setiap malam mereka berbagi satu ranjang yang sama. Selalu saja Aaron meminta agar Ivory menemaninya.

Walau Aaron harus menahan mati-matian hormonnya yang bergejolak kala melihat pakaian tidur Ivory yang tersingkap, namun pria itu tak melakukan hal lebih selain memeluk dan sesekali mencium pasangannya saat gadis itu terlelap. Ia masih terbayang-bayang wajah kesakitan Ivory saat ia gauli dan saat gadis itu menjalani proses Pre-Checking. Terlebih setelahnya Aaron malah memarahi gadis itu dengan nada tinggi. Jujur saja, ia masih merasa bersalah.

Kendati hasratnya tersendat, namun Aaron tak mau terburu bercinta dengan Ivory. Ia tak mau menjadi brengsek yang mau enaknya saja. Ia akan memastikan gadis itu siap dan dalam keadaan yang baik sebelum meminta gadis itu untuk berbagi kehangatan dengannya.

Mungkin saat itu adalah malam ini.

***

Malam itu ia kembali lagi ke tempat persembunyiannya.

Tak ada jadwal bertugas. Pekerjaan untuk hari itu pun telah selesai dikerjakan. Ia memiliki waktu enam jam untuk beristirahat sebelum bekerja lagi keesokan harinya. Ia punya waktu untuk mengistirahatkan pikirannya dan datang kembali ke pulau tidur yang sejatinya telah melambai-lambai mengundangnya.

Pemuda Park tahu betul, tubuhnya perlu diistirahatkan sejenak dengan tidur. Akan tetapi, ia memilih menundanya dan bergelung dengan rasa yang sedikit membuatnya kesal. Pilihannya kali ini lagi lagi membuatnya kelimpungan sendiri.

Ia tak pernah, sekali pun tak pernah merasa begini.

Biasanya ia selalu bersikap profesional dalam menghadapi pekerjaannya. Ia tak pernah melibatkan perasaannya. Dirinya selalu bermain dengan akal sehat.

Namun, untuk kali ini perasaannya sedikit mengambil alih. Perasaan itu mengontrolnya perlahan-lahan untuk berubah haluan. Ia kembali memikirkan kemungkinan-kemungkinan di waktu yang akan datang bersama "sosok itu".

Cakara menggeleng kuat-kuat. Berpikir jika dirinya mulai gila karena memikirkan gadis manis itu lagi yang aromanya masih tertinggal di bantalnya. Ia tak tahu pasti bagaimana bisa aroma seorang gadis awal dua puluhan bisa membuatnya ketagihan.

Sungguh ia harus berhenti bersikap seperti ini lagi, atau ia akan celaka. Dimana-mana mengandalkan perasaan pasti tak akan berbuah manis. Ia akan selalu terluka. Pasti.

Maka dari itu, ia harus berhenti memikirkan gadis yang malam itu tangannya ia genggam dengan erat saat berlari bersama memebus pepohonan hutan, sebelum semuanya terlambat.

Tapi apa daya, setiap kali ia kembali ke Bowl-nya, bayangan akan Ivory yang menggeliat dalam tidurnya selalu menggelitik pikirannya untuk kembali memikirkan orang itu. Dan Cakara semakin kesal pada dirinya sendiri karena tak bisa mengontrol hasratnya akan memandang wajah ayu gadis yang diam-diam diincarnya setiap kali ada kesempatan untuk melihatnya dari balik layar.

"Sial! Kenapa sih!" umpatnya seraya meninju meja yang tak berdosa di depannya.

Ia mematikan layar hologram yang sedari tadi menampilkan wajah manis Ivory yang sedang bersenda gurau bersama Aaron di dalam kamar mereka. Cakara menarik rambutnya dengan kesal. Merasa dirinya begitu lemah karena hanya bisa melihat pemuda itu dari kejauhan.

Sudah satu jam belakangan ia memantau pergerakan Ivory dari balik layar.

Guilty pleasure.

Ia merasa sedikit berdosa, namun tak jua dapat berhenti melakukannya. Setidaknya satu jam dari tiap hari yang ia miliki dihabiskannya dengan memantau Ivory dalam diam. Detector yang ditanamkan di lengan gadis itu nyatanya sangat membantunya. Meski pun itu berarti ia melanggar wewenang yang disematkan ayahnya padanya.

Seperti malam ini.

Jika bukan karena Aaron yang terlihat mulai membuka pakaian Ivory, ia tak akan berhenti memandang wajah manis dara cantik itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menonton "kegiatan" yang akan mereka lakukan malam hari ini. Cakara tidak senista itu untuk melihat gadis incarannya digagahi pasangannya. Tidak. Ia tak mau melihatnya.

"Berhenti melakukannya, atau aku akan terjebak dalam perasaan konyol ini."

Melemparkan kepalanya ke atas bantal kuat-kuat, Cakara mulai memejamkan netranya. Bayangan akan Ivory yang mulai mendesah saat pasangannya mengecup tengkuknya membuat matanya terbuka lebar lagi. Awas dan waspada. Ia menggeram kesal dan meninju tembok hingga buku jarinya terasa begitu nyeri.

Ia berguling ke arah kiri dan menghela napas dengan susah payah. Bayangan akan berbagai kemungkinan di masa depan berkecamuk di benaknya. Pikirannya menggila. Ia lalu berbalik ke arah kanan, memandangi retak di dinding yang terlihat dingin dengan tatapan kosong.

'Jadi kau percaya padaku?'

'Kenapa aku bisa jadi salah satunya?'

"Aku juga tak tahu kenapa bisa mempercayakan tentang tempat ini kepadamu," ungkapnya pada diri sendiri saat teringat pertanyaan Ivory kala itu. Dan ia memang tak tahu jawabannya. Ia hanya merasa jika Ivory bisa menjaga kepercayaannya. Itu saja.

"Ivory, apakah aku bisa mendapatkanmu?"